Pengantar: dalam artikel ini, Thomas McElwain—seorang filosof, asketis, dan pakar Alkitab—berupaya menelusuri jejak kata al-Ghadir (atau GDUr dalam bahasa Ibraninya) di seluruh Alkitab Perjanjian Lama. Menarik bahwa McElwain menemukan bahwa kata tersebut merujuk kepada figur tertentu di masa depan (dalam konteks periode nabi-nabi Ibrani) yang akan berfungsi sebagai pusat keterjagaan otoritas Tuhan.
Kata ghadîr (dalam bahasa Ibrani: GDUr) di dalam Alkitab muncul sebagai kata Ibrani yang bermakna ‘wall’(dinding) atau ‘fence’(pagar). Dengan makna seperti itu, terjemahan kata tersebut secara umum sudah tepat. Bagaimanapun, kata dinding atau pagar sering digunakan karena paling bermakna dan bahkan secara jelas menjadi cara simbolik—dengan hanya tiga atau empat pengecualian—yang terlihat sangat signifikan dengan peristiwa yang dikenal sebagai al-Ghadir[1] dalam sejarah Islam.
Kemunculan pertama dari kata tersebut terdapat pada kisah Bileam, nabi Persia kuno di dalam Bilangan 22. Nabi tersebut diminta untuk mengutuk hamba-hamba Tuhan. Bukannya menolak, dia malah bertanya kepada Tuhan apakah dia boleh melakukan hal itu ataukah tidak, seraya berharap bahwa Tuhan akan memberinya izin untuk mengambil upah yang ditawarkan kepadanya bagi perbuatan tersebut. Dia telah menentang perintah Tuhan. Inilah subjek yang ditunjukkan Bilangan 22:24[2]:
“But the angel of the LORD stood in a path of the vineyards, a wall (ghadîr) being on this side, and a wall (ghadîr) on that side.”
[“Kemudian pergilah Malaikat TUHAN berdiri pada jalan yang sempit di antara kebun-kebun anggur dengan tembok (ghadîr) sebelah-menyebelah.”]
Bileam tidak melihat malaikat itu tetapi keledainya, yang tengah berusaha memutar arah, menabrakan kakinya ke dinding. Sejak kejadian itu, ghadîr (GDUr) menjadi simbol dari dinding tempat Tuhan menyingkapkan jalan kebenaran, dan juga dinding tempat mereka yang sesat akan melukai pergelangan kaki mereka karena menabraknya. Teks lain yang menggunakan kata tersebut dalam makna pagar atau dinding untuk menunjukkan jalan yang benar terdapat di dalam Ayub 19:8[3].
Kata tersebut juga digunakan sebagai rujukan kepada keturunan Simeon yang menghancurkan sisa-sisa orang Amalek atas perintah Tuhan. Hal ini dikatakan di dalam 1 Tawarikh 4:39-40[4]:
“And they went to the entrance of Gedor, even unto the east side of the valley, to seek pasture for their flocks.”
“And they found fat pasture and good, and the land was wide, and quiet, and peaceable; for they of Ham had dwelt there of old.”
[“39 Oleh sebab itu mereka pindah ke arah Gedor sampai ke sebelah timur lembah untuk mencari padang rumput bagi kambing domba mereka.”]
[“40 Mereka menemui padang rumput yang gemuk dan baik; negeri itu luas, aman dan sentosa; orang-orang yang diam di sana sebelum mereka berasal dari Ham.”]
Para penulis teks Masoretik secara arbitrer telah memvokalisasi kata tersebut menjadi Ghedor tetapi kata tersebut di dalam teks aslinya persis seperti yang terdapat di dalam Bilangan 22. Bagian ini mengisyaratkan adanya simbolisme tahap lanjut bagi kata Ghadîr. Inilah sumber yang tidak diperkirakan mengenai kesempurnaan dan kebahagiaan. Simbolisasi padang rumput bagi hewan ternak telah dikenal lama di dalam teks-teks suci Ibrani dalam hubungannya dengan bimbingan Tuhan, seperti yang terlihat di dalam Mazmur 23 yang terkenal.
Kata Ghadîr tersebut divokalisasikan lagi seperti itu di dalam Ezra 9:9[5].
“For we were bondmen; yet our God hath not forsaken us in our bondage, but hath extended mercy unto us in the sight of the kings of Persia, to give us a reviving, to set up the house of our God, and to repair the desolations thereof, and to give us a wall in Judah and in Jerusalem.”
[“Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem.”]
Pendirian tembok di dalam teks tersebut memiliki makna literalnya tetapi ekspresinya, secara khusus di sini, penuh dengan muatan-muatan simbolik. Hal ini diisyaratkan melalui ungkapan to give (‘memberi’). Dinding lahiriah di Yerusalem dibangun melalui tangan manusia tetapi Ghadîr itu sendiri adalah sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan. Apa yang dianugerahkan adalah penegakan kembali pusat keimanan dan otoritas. Harus diperhatikan bahwa ghadîr dalam situasi tersebut telah ditentang oleh orang-orang Samaria. Dari sudut pandang Islam—meskipun dalam beberapa aspek Islam mempunyai banyak kesamaan dengan Samaritanisme ketimbang Yudaisme—ghadîr di sini muncul sebagai hal yang benar dan sah. Orang-orang Samaria tidak mengakui beberapa nabi yang disebutkan al-Quran sedangkan Yahudi pada masa itu mengakui nabi-nabi tersebut. Maka, ghadîr di Yerusalem dan Yehuda inilah yang membedakan antara otoritas yang diakui Tuhan dengan otoritas kaum Samaria yang tidak diakui (Tuhan). Dengan demikian, terdapat suatu keserupaan yang paripurna antara ghadîr-nya Ezra dan ghadîr yang dikenal dalam sejarah Islam. Teks tersebut juga menyebutkan perihal hubungan dengan orang-orang Persia, yang juga disebutkan di dalam Bilangan 22.
Terdapat dua nubuat lainnya yang bernilai signifikan dalam hubungannya dengan kata ghadîr. Yang pertama ialah Yesaya 58:12[6] yang konteksnya berbicara tentang puasa. Ungkapan relevan yang terdapat di dalamnya ialah “repairer of the breach” (‘yang memperbaiki tembok yang tembus’). Kata tersebut diindikasikan sebagai godeer, sebuah participle (kata kerja yang berposisi sebagai ajektiva atau nomina—peny.) sehingga berarti ‘the one who is fencing up the breach’ (orang yang memagari tembok yang tembus’). Mungkin kata tersebut merupakan bentukan dari kata ghadîr yang berarti ‘the fencing up of the breach’ (‘pemagaran tembok yang tembus’). Apa pun maknanya, kata tersebut merujuk kepada seorang figur manusia. Di dalam ayat 5, kata-kata sang nabi ditujukan kepada kaum yang gagal melaksanakan perintah Tuhan secara benar. Kegagalan itu tampak dari perilaku mereka yang tetap zalim meskipun mereka kerap melaksanakan berbagai bentuk (ibadah) puasa. Kata ganti ye (‘kalian’) berubah menjadi bentuk tunggal[7] (thou ‘kamu’) di dalam ayat 7, dan berawal pada ayat inilah seorang figur manusia dari ghadîr tersebut dijelaskan. Kata-kata yang ada sejak ayat ke 7 tersebut, secara khusus, sangat bermakna apabila diterapkan kepada Imam Ali as, yang diangkat (Nabi saw) di al-Ghadîr[8].
Yesaya 58:7: “Is it not to deal thy bread to the hungry, and that thou bring the poor that are cast out to thy house? when thou seest the naked, that thou cover him; and that thou hide not thyself from thine own flesh?
8 Then shall thy light break forth as the morning, and thine health shall spring forth speedily: and thy righteousness shall go before thee; the glory of the LORD shall be thy rereward.
9 Then shalt thou call, and the LORD shall answer; thou shalt cry, and he shall say, Here I am. If thou take away from the midst of thee the yoke, the putting forth of the finger, and speaking vanity;
10 And if thou draw out thy soul to the hungry, and satisfy the afflicted soul; then shall thy light rise in obscurity, and thy darkness be as the noonday:
11 And the LORD shall guide thee continually, and satisfy thy soul in drought, and make fat thy bones: and thou shalt be like a watered garden, and like a spring of water, whose waters fail not.
12 And they that shall be of thee shall build the old waste places: thou shalt raise up the foundations of many generations; and thou shalt be called, The repairer of the breach, The restorer of paths to dwell in.”
[“7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
8 Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.
9 Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,
10 apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.
11 TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.
12 Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan ‘yang memperbaiki tembok yang tembus’, ‘yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni.”]
Semua ungkapan pada kutipan ayat-ayat di atas dengan sangat baik merepresentasikan karakter dan tindakan-tindakan Imam Ali as. Terdapat banyak riwayat yang mengungkapkan tindakan Imam Ali as memberi makan orang yang kelaparan. Dia juga mengabdikan dirinya untuk ikut mengangkat beban kesulitan manusia dan menghilangkan fitnah serta kepalsuan. Teks tersebut juga menggarisbawahi adanya bimbingan langsung Tuhan yang dianugerahkan kepada sang Imam.
Kemudian, dua bagian di dalam Yehezkiel menyampaikan pesan yang agak berbeda. Keduanya terutama berbicara tentang kegagalan bangsa Israel dalam melaksanakan peran kepemimpinan yang telah dianugerahkan Tuhan untuk menyebarkan monoteisme kepada dunia.
Yehezkiel 13:5[9]: “Ye have not gone up into the gaps, neither made up the hedge for the house of Israel to stand in the battle in the day of the LORD.”
[“Kamu tidak mempertahankan lobang-lobang pada tembokmu dan tidak mendirikan tembok sekeliling rumah Israel, supaya mereka dapat tetap berdiri di dalam peperangan pada hari TUHAN.”]
Ayat ini memunculkan konteks pentingnya proklamasi al-Ghadîr. Baik Yahudi maupun Kristen, keduanya sama-sama gagal dalam menunaikan mandat Tuhan. Oleh karena itu, kegagalan mereka perlu diperbaiki melalui pewahyuan al-Quran, dan penegakan “pagar/tembok” atau ghadîr untuk memelihara tegaknya hukum Tuhan di muka bumi. Teks tersebut juga menyebutkan bahwa bangsa Israel nantinya harus mempertanggungjawabkan kegagalan mereka pada Hari Pengadilan.
Kegagalan yang dimaksud bahkan lebih jelas ditunjukkan di dalam Yehezkiel 22:30[10];
“And I sought for a man among them, that should make up the hedge, and stand in the gap before me for the land, that I should not destroy it: but I found none.”
[“Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.”]
Dengan demikian, prinsip Imamah secara khusus mendapatkan keabsahannya bersama Imam Ali as pada peristiwa al-Ghadîr.
Mazmur 62, yang terdiri dari dua belas ayat, merupakan salah satu Mazmur-mazmur yang bernuansa Imamah. Kata ghadîr muncul di dalam ayat 3, salah satu dari rangkaian dua belas yang biasanya mengisyaratkan peristiwa yang dialami Imam Husain as. Keseluruhan Mazmur 62 berkaitan erat dengan topik otoritas Ilahiah. Namun ayat 3 menyentuh persoalan tentang penerimaan atau—dalam hal ini—penolakan terhadap seseorang yang telah ditetapkan Tuhan untuk merepresentasikan otoritas-Nya di muka bumi.
Mazmur 62:3(4)[11]: “How long will ye imagine mischief against a man? ye shall be slain all of you: as a bowing wall shall ye be, and as a tottering fence.”
[“(62-4) Berapa lamakah kamu hendak menyerbu seseorang, hendak meremukkan dia, hai kamu sekalian, seperti terhadap dinding yang miring, terhadap tembok yang hendak roboh?”
Di sini, ghadîr diterjemahkan sebagai ‘fence’(pagar atau tembok dalam terjemahan Alkitab versi LAI). Kata YSh atau ‘a man’ (seseorang) sebagaimana sering digunakan di dalam Mazmur-mazmur memiliki implikasi Imamah, sebagaimana terlihat jelas di dalam Mazmur 1:1[12]. Maknanya ialah bahwa siapa pun yang berniat untuk berbuat jahat terhadap “a man” atau sang imam dan hendak membunuhnya, maka dengan sendirinya ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Di sini, sang imam dianalogikan secara langsung dengan ghadîr atau ‘pagar’tembok’ yang membimbing ke jalan yang benar.
Peringatan yang ditujukan kepada mereka yang melanggar kesepakatan al-Ghadîr diulang kembali di dalam Pengkhotbah 10:8[13]:
“He that diggeth a pit shall fall into it; and whoso breaketh an hedge, a serpent shall bite him.”
[“Barangsiapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular.”]
Sang nabi (dalam ayat di atas) berjanji bahwa barangsiapa yang menistakan kesepakatan al-Ghadîr akan disengat ular. Referensi sebelumnya mengenai lubang (pit) tentu saja bermakna ‘merencanakan makar’ terhadap orang lain. Bagaimanapun, keseluruhan ayat tersebut memiliki sebuah nuansa makna eskatologis, baik yang mengisyaratkan hukuman di alam kubur karena kegagalan mengenal sang imam ataupun hukuman pada Hari Kebangkitan.
[1] Al-Ghadir adalah sebuah peristiwa dalam sejarah Islam, terjadi pada 18 Zulhijjah, ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya. Dalam sebuah riwayat yang mutawatir, di antara bagian terpenting dari khotbah itu adalah, “Wahai manusia! Allah adalah Maula-ku (maula: tuan) dan aku adalah Maula orang yang beriman dan aku memiliki hak yang lebih atas hidup mereka. Dan inilah Ali Maula bagi mereka yang menjadikanku Maula. Ya Allah! Cintailah orang yang mencitainya dan bencilah orang yang membencinya.”
[2] VY'yMD ML'aK YHVH BMSh'yVL HKUrMYM GDUr MZH VGDUr MZH. (Bilangan 22:24 dalam transliterasi dari Ibrani)
[3] Ayub 19:8 :'aUrChY GDUr VL'a 'a'yBVUr V'yL NThYBVThY ChShK YShYM. (transliterasi dari Ibrani); “He hath fenced up my way that I cannot pass, and he hath set darkness in my paths.” (KJV); Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. (LAI)
[4] VYLKV LMBV'a GDUr 'yD LMZUrCh HGY'a LBQSh MUr'yH LTSh'aNM. (1 Tawarikh 4:39 dalam transliterasi dari Ibrani)
[5] KY-'yBDYM 'aNChNV VB'yBDThNV L'a 'yZBNV 'aLHYNV VYT-'yLYNV ChSD LPhNY MLKY PhUrS LThTh-LNV MChYH LUrVMM 'aTh-BYTh 'aLHYNV VLH'yMYD 'aTh-ChUrBThYV VLThTh-LNV GDUr BYHVDH VBYUrVShLM. (Ezra 9:9 dalam transliterasi dari Ibrani)
[6] VBNV MMK ChUrBVTh 'yVLM MVSDY DVUr-VDVUr ThQVMM VQUr'a LK GDUr PhUrTSh MShBB NThYBVTh LShBTh. (Yesaya 58:12 dalam transliterasi dari Ibrani)
[7] Dalam bahasa Inggris klasik kata ganti ye dapat diaplikasikan, baik kepada orang kedua tunggal maupun jamak. Sebaliknya, kata ganti thou hanya dapat diaplikasikan kepada ‘orang kedua tunggal’—peny.)
[8] Kata al-Ghadîr di sini merujuk kepada sebuah danau yang berjarak 3 mil dari al-Juhfa. Di tempat inilah Muhammad saw dan para sahabatnya diriwayatkan berhenti dalam perjalanan pulang mereka dari Mekkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini pulalah, Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya.
[9] L'a 'yLYThM BPhUrTShVTh VThGDUrV GDUr 'yL-BYTh YShUr'aL L'yMD BMLChMH BYVM YHVH. (Yehezkiel 13:5 dalam transliterasi dari Ibrani)
[10] V'aBQSh MHM 'aYSh GDUr-GDUr V'yMD BPhUrTSh LPhNY B'yD H'aUrTSh LBLThY ShChThH VL'a MTSh'aThY. (Yehezkiel 22:30 dalam transliterasi dari Ibrani)
[11] 'yD-'aNH ThHVThThV 'yL 'aYSh ThUrTShChV KLKM KQYUr NTVY GDUr HDChVYH. (Mazmur 62:3 dalam transliterasi dari Ibrani)
[12] 'aShUrY-H'aYSh 'aShUr L'a HLK B'yTShTh UrSh'yYM VBDUrK ChT'aYM L'a 'yMD VBMVShB LTShYM L'a YShB. (Mazmur 1:1 dalam transliterasi dari Ibrani); [“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.”] (Mazmur 1:1 dalam terjemahan Alkitab versi LAI)
[13] ChPhUr GVMTSh BV YPhVL VPhUrTSh GDUr YShKNV NChSh. (Pengkhotbah 10:8 dalam transliterasi dari Ibrani)
* Dikutip dari Thomas McElwain, 2006, The London Lectures, Penerbit Citra: Jakarta