Kamis, 30 Juli 2009

Adakah ulama yang benar???

Merindukan Figur Ulama Teladan dan Istiqamah
(Memperingati Haul Tuan Guru Sapat, Mufti Kerajaan Indragiri )



Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, dalam catatan historis terjadi migrasi antarpulau dan daerah di Nusantara.

Oleh: Nasrullah AS


Seperti fakta sejarah telah bermigrasinya komunitas Suku Banjar dari Pulau Kalimantan ke Pulau Sumatera, salah satunya ke wilayah Indragiri, Riau.

Menurut pengamatan sejarawan, faktor dominan terjadinya migrasi itu didasarkan pada keterdesakan kehidupan baik yang disebabkan oleh aspek politik kewilayahan akibat pembubaran Kesultanan Banjar oleh Kolonial Belanda. Dengan demikian, wilayah Banjar sebagai kawasan politik kesultanan dikooptasi oleh kolonial. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa faktor migrasi itu didasarkan pada aspek kesulitan ekonomi.

Daerah Indragiri terutama bagian hilir yang merupakan daerah Onderafdeeling, menjadi salah satu tujuan perantauan (madam). Daerah itu dekat dengan pantai timur yang berbatasan dengan lalu lintas Pelabuhan Singapura, dan kala itu menjadi sentral lalu lintas maritim bagian barat Nusantara.

Di samping faktor tersebut, tidak kalah penting adalah kesamaan struktur lingkungan dan kondisi alam yang bertekstur rawa dan bertanah gambut antara Kalimantan dan Indragiri Hilir. Bagi migran, daerah rantau seolah tidak ada bedanya dengan kampung (banua) asalnya di Kalimantan. Harus dicatat, bahwa komunitas Banjar juga ada yang merantau ke sebagian daerah Sumatera lainnya seperti Tungkal, Bengkalis, dan Deli, sebagaimana bisa disaksikan keberadaan mereka sampai saat ini.

Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari atau lazim dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Tuan Guru Sapat --keturunan ulama besar Nusantara dari Banjar, pengarang kitab fiqih terkenal Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari-- adalah salah seorang dari migran tersebut yang datang ke Indragiri. Tepatnya ke daerah Sapat, Kuala Indragiri, pada 1908. Walaupun, beliau terlebih dahulu beberapa tahun tinggal di Pulau Bangka dalam rangka melaksanakan tugas pengabdian mengajar dan berdakwah.

Namun, migrasi Tuan Guru Sapat itu terasa mempunyai diferensiasi yang lain dengan misi migran lainnya dalam tujuan merantau. Tuan Guru Sapat, dalam masa adaptasinya antara 1908-1909 merupakan seorang pedagang biasa (tukang mas). Tapi, belakangan ketokohan Tuan Guru Sapat dengan kedalaman ilmu agama dan kearifan budinya diketahui masyarakat. Faktor itu menjadikannya sebagai figur publik pada rentang waktu 1909-1939.

Di tengah masyarakat, Tuan Guru Sapat tampil secara kultural sebagai guru dan ulama dengan membuka khalaqah ilmu dan transformasi spritualitas serta memelopori berwirasawasta bagi muridnya dan masyarakat dalam hal bertani kelapa.

Di samping itu, karena permintaan sultan pada masa kepimpinan Sultan Mahmud, beliau secara struktural-politik diangkat sebagai mufti di Kerajaan/Kesultanan Melayu Indragiri yang berkedudukan di Rengat. Mufti, bisa disebut suatu posisi yang sangat terpandang dan penuh pengakuan terhadap tokoh yang dipilih untuk menjabatnya. Walaupun semula keberatan atas amanah untuk jabatan itu, namun akhirnya beliau menyanggupinya selama 27 tahun. Asal dengan syarat, beliau tidak diberi gaji/imbalan.

Artinya beliau bersedia mengemban amanah itu secara tulus ikhlas, beramal tanpa ambisi mengejar kedudukan dan usaha mendapat pamrih. Suatu sikap yang sangat pantas diteladani sekarang, di mana sebagian anggota masyarakat terdapat adanya fenomena penuh ambisi. Berlomba demi mengejar jabatan, kedudukan, dan kekuasaan sekaligus berupaya mengumpulkan kekayaan dari posisi itu. Walaupun, terkadang ditempuh dengan siasat menghalalkan segala cara.

Dari fakta kehadiran dan peran Tuan Guru Sapat di dalam masyarakat Indragiri, kita bisa melihat dan belajar bahwa orang rantau atau pendatang bukanlah merupakan suatu ‘ancaman’ bagi penduduk setempat. Antara satu suku dan suku lainnya adalah sama, dan yang dilihat adalah peran dan fungsinya di masyarakat. Bukan pada status suku tempatan atau suku pendatang.

Dalam pengertian luas, masyarakat Indragiri waktu itu sudah menerapkan suatu sikap pandang ‘terbuka’ dan melebur terhadap kehidupan multikulturalisme dan multietnisisme. Mereka tidak mengutamakan suku pribumi/tempatan, dibanding suku pendatang. Yang dilihat adalah sejauh mana orang itu punya kemampuan dan integritas, dalam memajukan daerah dan masyarakat secara umum.

Menilik dalam konteks figur Tuan Guru Sapat ketika masih hidup yang dijadikan sebagai teladan karena ilmu dan amalnya, justru beliau menjadi motor penggerak (agent of change) masyarakat yang multietnis dan multikultural tersebut dalam hal transformasi ilmu keagamaan dan transformasi sosial-budaya. Padahal, beliau adalah seorang etnis migran dari negeri seberang. Tapi secara sadar, masyarakat yang terdiri atas berbagai suku dan budaya itu takzim dan menghormati beliau.

Bahkan setelah Tuan Guru Sapat wafat sekalipun, masyarakat masih bisa merasakan arti penting terhadap eksistensi beliau melalui jejak yang ditinggalkan. Selain meninggalkan beberapa karya tulis yang dipelajari hingga kini, beliau menciptakan suatu kesinambungan (continuity) kaderisasi dan masa generasi keulamaan (baca: murid beliau) yang kelak menjadi guru dan ulama sebagai pengganti Tuan Guru Sapat setelah wafat beliau pada 1939 (4 Syakban 1430 H) sampai 1980-an.

Ala kulli hal, Tuan Guru Sapat secara jasadiyah (fisik) memang sudah lama meninggalkan kita; sekitar 70 tahun. Namun, spirit perjuangan dan inspirasi yang diwariskan dari sosok dan figur ulama istiqamah dengan khittahnya dalam menjalankan fungsi keulamaan ini tetap masih hidup di tengah kita dan semua itu sangat penting untuk dapat direfleksikan agar kemudian diteladani.

Tugas yang telah beliau laksanakan secara total dengan mewakafkan jiwa raga dan amal usahanya dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial budaya secara ikhlas hanya untuk kemaslahatan masyarakat dan umat, harus terus diperjuangkan dan dilanjutkan oleh kita semua. Semoga!

Pendidik pada STAI Auliaurrasyidin Tembilahan

Kado Sya’ban: Mengapa al-Mahdi Harus Gaib?



ALMAHDI_by_SAEED_ART

Eksistensi memancar pada segala sesuatu dalam dua sisi: yang tak-tampak dan yang tampak. Eksistensi tak-tampak seperti ruh, jiwa, akal, perasaan, dan sebagainya adalah dimensi yang tak-terbatasi; sedangkan perwujudan lahiriah seperti lembaran yang sedang Anda baca ini, tubuh Anda yang sedang menggigil kedinginan atau berkeringat kegerahan…adalah sisi yang terbatas dan terukur. Jadi, semua yang terlihat atau terindra adalah sisi terbatas, terukur dan terkecil dari eksistensi.

Ketika sampai pada dua sisi eksistensi ini, sebagian orang tak mampu memahami apa yang di luar alam yang terbatas dan terindra ini. Orang itu lalu sesumbar bahwa materialitas identik dengan keseluruhan eksistensi. Tapi klaim semacam ini di ranah ilmu pengetahuan dianggap tak lebih dari kebodohan dan kesombongan. Satu-satunya “alasan” di balik klaim semacam itu adalah ketiadaan bukti akan adanya sesuatu di luar yang mereka bisa indrai. Padahal, secara logika, ketiadaan-bukti bukanlah suatu bukti, melainkan keadaan negatif yang hanya menyatakan ketidaktahuan atau kebodohan dan tidak bisa menghasilkan kesimpulan apa-apa.

Prinsip ilmu menandaskan “premis negatif tidak bisa memberikan kesimpulan afirmatif”. Yakni, orang yang tidak mengetahui X tidak bisa secara afirmatif menafikan X. Sialnya, dengan kesombongannya, manusia sering beranggapan bahwa apa yang diketahuinya sama dengan apa yang ada dan apa yang tidak diketahuinya sama dengan ketiadaan. Kerancuan berpikir ini sering kita temukan dalam banyak bidang kemanusiaan dan keagamaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebetulnya kita selalu mengalami efek dari sisi gaib eksistensi. Gravitasi, gelombang, virus, molekul, sel, atom, sumber-sumber energi, dan lain2 adalah dimensi “gaib” yang senantiasa mempengaruhi kita. Jadi, ada banyak hal gaib yang sungguh-sungguh mempengaruhi kita. Tiap saat, di tiap tempat.

Lebih dari itu, dalam struktur realitas, alam fisik material ini justru menempati posisi paling rendah (ad-dunyâ). Energinya paling redup; ruang dan waktunya juga paling terbatas. Dibanding dengan “ruang dan waktu” yang terdapat dalam imajinasi kita saja alam material ini sudah kalah hebat. Sebaliknya, alam non-material adalah energi murni yang tidak “terpenjara” dalam suatu bentuk dan berada dalam samudera lepas.

Para ahli fisika kuantum menyebut alam non-material itu dengan chaos, para filosof menyebutnya dengan Wujud Abstrak, kaum empiris menyebutnya dengan ketiadaan, dan agama menyebutnya dengan kegaiban sebagai lawan dari ketampakan atau alam batin sebagai lawan dari alam lahiriah. Sebutlah sesuka Anda, karena sisi gaib itu memang pasti ada dan selalu mempengaruhi.

Alam Gaib itu adalah kampung asal dan tempat kembali manusia. Kehidupan fisik sesungguhnya berarti pemenjeraan dan pembatasan ruh. Di alam fisik ini, ruh terkurung dalam terali tubuh yang tidak dapat dilanggarnya. Pada saat ruh terlepas dari alam fisik ini, ia akan kembali bebas dan tidak lagi terbebani. Kata rûh dalam bahasa Arab mempunyai akar kata yang sama dengan râhah, yakni keadaan lapang atau bebas dari beban (relief).

Allah mengutus para nabi, rasul dan imam untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan keterjeratan ini. Mereka berjuang keras untuk menyampaikan pesan-pesan Allah agar manusia ingat pada hampung halamannya yang sejati. Mereka mengajak manusia untuk berpikir akan kehidupan selanjutnya, kehidupan setelah kehancuran tubuhnya dan kemusnahan dunia. Tidak hanya itu, mereka secara langsung mencontohkan perilaku dan sikap yang harus diambil oleh seseorang dalam rangka mengarungi perjalanan menuju kehidupan abadi.

Satu demi satu nabi, rasul dan imam dipilih dan diutus untuk umat manusia. Baginda Nabi al-Musthafa saw telah menyempurnakan tugas semua nabi dan rasul untuk menyampaikan wahyu Allah kepada semua manusia. Ajaran dan pesan Allah telah sempurna bagi semua manusia. Rasulullah saw juga telah menyebutkan imam-imam yang ditunjuk oleh Allah untuk membimbing manusia mengarungi jalan menuju kampung yang abadi.

Namun manusia tetap tak sadar diri, bergeming dalam kekafiran dan pengingkaran. Tidak segan-segan mereka memanipulasi agama suci ini demi kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah untuk mencapai hasrat-hasrat egoistik-materialistik. Imam-imam yang telah dipilih oleh Allah untuk memimpin manusia diingkari, ditindas dan dibantai satu demi satu. Kegelapan dan kelaliman pun puncaknya benar-benar memenuhi dunia.

Segala benda yang ada di dunia inikini menjerit kesakitan. Perusakan manusia sudah berlangsung melampaui batas. Jika saja Allah bolehkan, dunia mungkin akan meledakkan dirinya sendiri dalam erangan amarah. Matahari pun sudah tak lagi memancarkan cahaya yang menyehatkan, cuaca tidak lagi beraturan, langit menurunkan hujan2 tangisan yang penuh asam, tanah penuh racun, hutan mengering dan terbakar, laut tercemar polusi, udara pengap dan terkontaminasi, binatang-binatang punah, burung-burung tidak lagi bernyanyi, makhluk-makhluk tidak terlihat berubah menjadi virus-virus mematikan. Orang-orang bijak yg berjalan di garis kebenaran pun perlahan dipinggirkan. Mereka diolok-olok layaknya tikus-tikus di got.

Sungguh…dunia ini sudah benar-benar tidak layak untuk ditinggali oleh seorang imam yang suci.

Karena itulah Allah yang Maha Bijak menyembunyikan Imam al-Mahdi, imam terakhir dan pembebas pamungkas umat manusia dalam pelukan-Nya di alam gaib. Beliau didekap-Nya dalam balutan cahaya rahmat, pengetahuan, kekeramatan dan kemampuan gaib. Inilah Imam yang kelak bangkit untuk menindak dan membalas, memenuhi bumi manusia dengan keadilan dan kebenaran setelah dipenuhi dengan kelaliman dan kebejatan.

Dalam banyak riwayat beliau diberi gelar al-Qâim, yakni seseorang yang bangkit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Tugas beliau bukan lagi untuk mengajar atau menyampaikan kebenaran, melainkan menghakimi dan menindak tegas semua bentuk pelanggaran.

Saat menafsir firman Allah: “Orang-orang yang berdosa dikenali melalui tanda-tanda mereka, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki-kaki mereka (untuk ditindak)” (QS 55:41), Imam Ja’far ash-Shadiq as. berkata: “Allah mengenali para durja itu dan memberitahu al-Qaim dan sahabat-sahabatnya tanda-tanda mereka untuk menindak mereka.”

Di saat itulah terbentang keadilan, kemakmuran, kedamaian, kemerdekaan dalam arti yang hakiki, tanpa penindasan dan perbudakan dalam segala dimensinya. Dan inilah janji Allah seperti termaktub dalam QS surah ke-21 ayat 105; QS ke-24 ayat 55; QS ke-28 ayat ke-5. Mungkin hanya kebetulan saja bahwa ayat-ayat ini semuanya berangka 5, tapi mungkin juga tidak.

Wallahu a’lam

Jumat, 24 Juli 2009

Al-Qur’an Berjalan

Al-Qur’an Berjalan

Masih ingatkah akan sejarah hidup pembantu putri Rasulullah saww Sy. Fathimah Zahra as? Mungkin anda jarang sekali menemukan buku sejarah tentangnya. Ia seorang pembantu, namun bukan sembarang pembantu. Ia menjadi pembantu di rumah wanita termulia dan teragung. Siapakah dia, dan apa kelebihannya sehingga kita layak untuk mengenalnya?

Dialah Fidhah Hindi. Ia berasal dari Negara India. Ia datang ke kota Madinah pada zaman Rasulullah saww masih hidup. Dimana statusnya pada saat itu ialah sebagai budak perempuan. Adapun mengenai sebab kedatangannya ke Madinah terdapat perbedaan pendapat dalam berbagai sumber sejarah. Sebagian mengatakan bahwa Fidhah merupakan putri raja India. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui secara jelas mengenai kedatangannya ke Madinah. Karena, pasukan Islam pada saat itu belum pernah memasuki wilayah India. Karena wilayah tersebut baru ditaklukan pada zaman Abdul Malik bin Marwan. [Biharul-Anwar jilid 41 halaman 272 dinukil dari Cesyme dar Bastar halaman 314]

Sementara dalam sumber lain dijelaskan tentang beberapa kemungkinan, di antaranya; Kemungkinan pertama, Raja Najasyi berperang dengan kerajaan India dan akhirnya Fidhah Hindi ditawan, lalu raja Najasyi menghadiahkannya kepada Rasulullah saww. Kemungkinan kedua, Raja Romawi telah memberikan berbagai hadiah kepada Rasulullah, di antaranya ialah menghadiahkan Fidhah Hindi.

Kemungkinan ketiga, karena cahaya Islam telah terpancar dalam hatinya akhirnya ia membiarkan dirinya tertawan agar dapat sampai ke Negara pusatnya Islam…hanya Allahlah yang mengetahui yang sebenarnya. [Riyahanu asy-Syari’ah jilid 2 halaman 320 dinukil dari Cesyme dar Bastar halaman 314] itulah kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan Fidhah Hindi sampai di kota Madinah.

Sempat terbesit dalam hati Fidhah mengharapkan kematian, karena seringnya mendengar berbagai cerita kekejaman para majikan kepada para budak. Fidhah Hindi akan pergi menuju rumah majikan barunya yaitu Sy. Fathimah Zahra as. Dalam perjalanan menuju rumah majikannya, Fidhah menangis karena teringat akan kasih sayang, kelembutan, belaian dan pelukan hangat ibunya. Namun akhirnya, ia pun pasrah atas nasib yang telah menimpanya. Fidhah terus larut dalam lamunannya, sampai akhirnya tiba-tiba ia mendengar seseorang memberikan salam kepadanya. Tidak salah mendengarkah saya? Apaka ada orang yang memberikan salam kepada seorang budak. Ternyata ia tidak salah mendengar, kembali ia mendengar sambutan hangat yang telah memberikan salam kepadanya, seraya berkata: “Assalamualaikum, saya adalah Fathimah. Selamat datang di rumah barumu!”.

Kemudian Sy. Fatimah Zahra membawa masuk ke dalam rumah dan mempersilahkannya duduk. Setelah itu, lantas beliau menyuguhi ia dengan segala hidangan yang terdapat di dalam rumah. Seusai menyaksikan sambutan hangat majikan barunya, pikiran buruk yang telah terbesit dalam pikiran Fidhah pun hilang dari ingatannya. Ia telah datang di rumah wanita termulia dan penghulu para wanita sebagaimana yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat, yang telah memperlakukan pembantu dengan sebaik-baiknya.

Fidhah Hindi sangat terkesima sewaktu menyaksikan wajah suci dan menarik Fathimah Zahra. Ia kembali larut dalam lamunannya: “Betapa bercahaya perempuan ini. Betapa berkharisma perempuan ini. Walaupun ia calon majikanku, namun ia pun sangat baik dan hangat dalam menyambutku… sepertinya aku telah mengenalnya”. Tiba-tiba Fidhah merasakan tangan majikannya telah memegang tanggannya dengan lembut, seraya berkata: “Janganlah sungkan di rumah barumu! Anggaplah aku sebagai saudarimu! Engkau pasti lelah. Oleh karena itu, istirahatlah dulu untuk beberapa hari. Setelah itu, baru kita bergantian dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika giliran saya yang mengerjakan pekerjaan rumah, engkau harus beristirahat. Dan sebaliknya, ketika giliranmu tiba, engkau yang bekerja dan saya akan beribadah”.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Fidhah melihat seorang majikan yang membagi pekerjaan dengan seorang pembantu secara adil. Memberi makan pembantu sama dengan makanannya sendiri . Setiap malam, ia mendengar munajat doa dan tangisan Fathimah Zahra a, yang sedang bermunajat dengan Tuhannya. Menyaksikan pemandangan seperti itu, lalu ia pun bangun mengambil air wudhu dan beribadah. Di rumah majikannya ia telah mendapatkan berbagai ilmu. Ia telah belajar tentang keutamaan, pengorbanan, kedermawanan dan kemanusiaan dari majikannya, Fathimah Zahra as. Fidhah telah menyaksikan majikannya ketika sedang bekerja dan menumbuk gandum selalu terlantun dari bibir sucinya ayat-ayat suci al-Qur’an. Oleh karenanya, ia telah belajar untuk selalu dekat dan bersama al-Qur’an dari Fathimah Zahra as. Bahkan ia tidak pernah berbicara melainkan dengan ayat-ayat al-Qur’an sampai akhir hayatnya. Ketika ia ingin mengatakan atau menanyakan sesuatu maka akan menggunakan ayat-ayat suci al-Qur’an.

Disebutkan dalam sejarah, pada suatu hari di padangan pasir Hijaz seorang laki-laki tertinggal dari rombongannya dan ia telah bertemu dengan Fidhah Hindi.

- Laki-laki tersebut bertanya kepadanya: “Siapakah anda?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Wa qul salaamun fa saufa ya’lamun”; “Dan katakanlah: “Salam kelak mereka akan mengetahui”. [Az-Zuhruf: 89]

- Dari ayat itu, laki-laki telah memahami bahwa ia harus mengucapkan salam terlebih dahulu. Oleh Karena itu, ia mengucapkan salam kepada Fidhah Hindi. Lalu ia bertanya kembali: “Apa yang anda lakukan di tempat ini sendirian? Apakah anda tersesat?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Man yahdillahu fa ma lahu min mudhilin”; “Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya”. [az-Zumar:37]

- Laki-laki bertanya; “Apakah anda jin atau manusia?”

- Fidhah Hindi menjawab: “Ya bani Adam khuzduu zinatakum”; “ Hai anak Adam, pakailah pakainmu yang indah”. [al-A’raf: 31] Maksudnya, ia adalah manusia.

- Laki-laki bertanya; “Anda berasal dari mana?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Yunaduuna min makanin b’aiidin”; “mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh“. [Fushilat:44] Maksudnya, ia berasal dari tempat jauh.

- Laki-laki bertanya: “Anda mau pergi kemana?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Walillahi ‘alannasi hijjul baeti”; “ Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali-Imron: 97] Maksudnya, ia hendak pergi ke kota suci Mekkah.

- Laki-laki bertanya: “Sudah berapa lama anda di perjalanan?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Wa laqad kholaqna as-samawaati walardhi fi sitati ayyaami “; “Dan Sesungguhnya Telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa”. [Qaaf: 38] Maksudnya, telah 6 hari lamanya ia berada dalam perjalanan.

- Laki-laki bertanya: “Apakah anda sudah makan?”.

Fidhah Hindi menjawab: “Wa ma ja’alna hum jasadan la ya’kuluun at-tha’ami”; “Dan tidaklah kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan”. [al-Anbiyaa: 8] Maksudnya, ialah belum makan.

- Lalu laki-laki tersebut memberi makan kepadanya, seraya bertanya: “Kenapa anda tidak berjalan cepat sehingga tidak tertinggal?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “La yukalifullahu nafsan illa wus’ahaa”; “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. [al-Baqarah: 286] Maksudnya, ia tidak mampu berjalan dengan cepat karena usianya yang telah lanjut.

- Lalu laki-laki bertanya: “Apakah anda berkenan menaiki tungganganku -unta-?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Lau kaan fiihima aalihatun illallah lafasadata”; “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa”. [al-Anbiya: 22] Maksudnya, tidak mungkin menunggangi tunggangan (onta) secara bersamaan.

- Lalu laki-laki turun dari tunggangannya dan mempersilahkan Fidhah menaikinya, lalu bergerak untuk melanjutkan perjalanannya.

- Setelah menaiki tunggangan, lantas Fidhah berkata: “Subhana alladzi sakhkhaara lanaa hadza”; “Maha Suci Tuhan yang Telah menundukkan semua Ini bagi kami”. [az-Zuhruf: 13] Maksudnya, ia memohon kepada laki-laki tersebut untuk menghantarkan ke rombongannya.

- Lalu laki-laki mengantarkan Fidhah sampai bertemu dengan rombongannya, dan bertanya kepadanya; “Apakah di antara rombongan ini ada yang anda kenal?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Ya Daud innaa ja’alnaaka khalifatan filardhi”; “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi”. [Shaad: 26] “Wa ma Muhamadun illa rasulun”; “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul”. [Ali Imron: 144]

“Ya Yahya khudi alkitaba”; “Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat)…”. [Maryam:12] ”Ya Musa innii anaa Rabbuka …”; “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu”. [Thaha: 11-12]

- Laki-laki pun memahami maksud Fidhah bahwa nama-nama yang telah disebutkannya (Daud, Muhamad, Musa dan Yahya) ialah orang-orang yang dikenalnya. Lantas laki-laki memanggil keempat orang tersebut. Tidak lama datanglah empat orang laki-laki muda. Laki-laki itu kembali menengok ke arah Fidhah seraya bertanya: “Apakah hubungan mereka denganmu?”.

- Fidhah Hindi menjawab: “Almaalu wa albanuunu zinatul hayaati dunya”; “Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia”. [Kahfi: 46] Maksudnya, keempat anak muda tersebut ialah anak-anaknya.

- Ketika anak-anak Fidhah menghampirinya, lantas ia berkata kepada mereka: “Ya abati ista’jirhu inna khaira man ista’jarta alqawiyu alamiinu” “Wahai ayahku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”. [Qashas: 26] Maksudnya, karena laki-laki tersebut telah susah payah dalam menghantarkannya ke rombongan, sebagai gantinya ia harus diberi upah. Lantas para anaknya memberikan upah kepada laki-laki tersebut.

- Namun Fidhah kembali berkata; “Wallahu yudhaifu liman yasya’u”; “Dan Allah akan melipat gandakan (diberi lebih) bagi yang dikehendakinya”. [al-Baqarah; 263] Para anak Fidhah memahami maksud ibunya, yaitu agar memberikan uang lebih dari bayaran yang seharusnya. Lantas mereka pun melipat gandakan bayaran laki-laki tadi.

Sewaktu laki-laki menyaksikan Fidhah sangat menguasai al-Qur’an, dengan penuh rasa takjub ia bertanya: “Siapakah sebenarnya perempuan ini?”. Mereka menjawab: “Dia adalah ibu kami Fidhah, mantan pembantu Fathimah Zahra as. Dua puluh (20) tahun lamanya tidak pernah berbicara melainkan dengan al-Qur’an. [Biharul-Anwar jilid 43 halaman 46 dinukil dari Cesyme dar Bastar halaman 310-312] Laki-laki tadi masih tertegun setelah menyaksikan kelihaian Fidhah dalam menguasai al-Qur’an. Dalam hati ia bertanya: “Sebenarnya bagaimana Fathimah Zahra as memperlakukan pembantunya, sehingga pembantunya menjadi seperti ini? Andaikan aku memiliki anak seperti ini”.

[ED, sumber buku Cesyme dar Bastar; analisa tentang berbagai sisi kehidupan Fathimah Zahra as, karya Pur Sayyid Oghoi]

Bagaimana dan Bersama Siapa Al Qur’an

Bagaimana dan Bersama Siapa Al Qur’an

by http://syiar.net/?p=79

Al Qur’an berasal dari Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah SAAW sebagai Undang-undang dalam agama Islam dan petunjuk bagi kaum mukminin. Oleh karenanya amatlah penting bagi umat Islam untuk mempelajari Al Qur’an. Perintah Allah SWT untuk mempelajari Al Qur’an jelas disebutkan dalam Al Qur’an misalnya pada ayat-ayat sebagai berikut ini :

An Nisa (4) : 82

“Apakah mereka tidak mempelajari (tadabbur) Al Qur’an, kalau sekiranya (Al Qur’an) itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya”

Muhammad (47): 24

“Maka apakah mereka tidak mempelajari (tadabbur) Al Qur’an ? Ataukah hati mereka terkunci ?”

Hadits dari Rasulullah SAAW mengenai pentingnya mempelajari Al Qur’an diantaranya sbb :
“Apabila kalian ingin hidupnya orang-orang bahagia, matinya orang-orang syahid, keselamatan di hari kebangkitan, naungan di hari kepanasan, petunjuk di hari kesesatan; pelajari Al Qur’an karena sesungguhnya ia adalah kalamurrahman, penjaga dari syaitan dan beratnya timbangan (mizan)”

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa mempelajari Al Qur’an adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam.

Ali Imran (3): 7

“Dialah yang menurunkan Al Qur’an kepadamu. Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok Kitab dan yang lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepadanya (Al Qur’an) semuanya dari sisi Tuhan kami” Tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal”

Dalam mempelajari Al Qur’an, kita mengenal ilmu tafsir, dimana dalam ilmu tafsir, ayat Al Qur’an dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maknanya, misalnya “Hai orang-orang beriman dirikanlah shalat.” Ayat ini jelas mengandung arti bahwa shalat adalah wajib bagi orang-orang beriman, walaupun nantinya tata cara pelaksanaannya diatur dalam ilmu Fiqh. Kelompok ayat yang kedua adalah ayat mutasyabihat yang berarti ayat yang memiliki makna samar dan tidak dapat diartikan langsung. Ayat Ali Imran :7 di atas mengimplikasikan bahwa orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan mencoba mencari-cari takwil Al Qur’an, padahal yang mengetahui takwilnya hanyalah Allah SWT.

Apabila kita pelajari Al Qur’an, akan kita temukan banyak terdapat ayat mutasyabihat, misalnya surat-surat berikut ini :

Al Qasas (28): 88

“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan”

Apabila kita lihat dari istilah yang digunakan dalam ayat tersebut tanpa pentakwilan maka arti ayat tersebut adalah “semua akan binasa kecuali wajah (wajhahu) Allah”. Artinya tangan Allah, kaki Allah dan semua yang lainnya akan binasa, kecuali wajah Allah. Tentunya terjemahan ini tidak dapat diterima oleh logika kita sebagai manusia yang berakal. Bila kita lihat lebih lanjut terjemahan Al Qur’an, terjemahan tersebut menyebutkan “semua akan binasa kecuali Allah”, bukan kecuali wajah Allah! Jadi penterjemah disini sudah mentakwilkan ayat ini. Hal ini menunjukkan inkonsistensi, dimana di satu ayat disebutkan hanya Allah yang tahu maknanya (tidak boleh mentakwilkan) dan di ayat lain dilakukan pentakwilan atas ayat (bila hanya Allah yang tahu maknanya, darimana penterjemah bisa mengetahui talwil ayat tersebut?!).

QS Al Isra’ (17): 72

“Dan barangsiapa buta (hati) di dunia ini maka di akhirat dia akan buta dan tersesat”

Apabila kita lihat arti langsung dari ayat tersebut tanpa pentakwilan tentunya kita akan berfikir kasihan sekali orang buta, salah apa mereka? di dunia sudah buta dan di akhirat juga akan buta. Sekali lagi, akal sehat kita tentunya tidak dapat menerima pemahaman ini. Apabila kita melihat terjemahan Al Qur’an, sekali lagi kita lihat bahwa penterjemah melakukan pentakwilan dimana arti ayat tersebut menyebutkan “siapa yang buta (hati) di dunia..”. Padahal apabila kita lihat tata bahasa Arab yang digunakan dalam ayat ini, kata yang digunakan adalah a’ma, yang menunjukkan buta secara fisik, sementara untuk buta hati yang digunakan seharusnya adalah a’mal basyir. Jadi darimana penterjemah bisa mengetahui takwil ayat ini bila hanya Allah yang mengetahui takwilnya?

Apakah boleh penterjemah melakukan pentakwilan atas ayat Al Qur’an sementara bila melihat terjemahan ayat Ali Imran : 7 diebutkan bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Apabila dipikirkan secara logika, Al Qur’an adalah pelajaran bagi manusia, yang diturunkan bagi manusia, lalu mengapa Allah menurunkan ayat Mustasyabihat bila hanya Allah yang tahu maknanya? Kita sepakat dan kita percaya bahwa tidak ada perbuatan Allah yang sia sia. Jadi mengatakan bahwa ayat Mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah maknanya berarti kita telah menuduh Allah berbuat yang sia-sia!

Lalu bagaimana dengan terjemahan Ali Imran : 7 sebagaimana disebutkan di atas? Kita lihat kembali ayat Ali Imran : 7 yang menyebutkan bahwa :

“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepadanya (Al Qur’an) semuanya dari sisi Tuhan kami” Tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal”.

Apabila ayat tersebut kita lihat secara tata bahasa, kita lihat bahwa dalam ayat tersebut kata “Dan” digunakan untuk mengawali kalimat. Secara tata bahasa Indonesia, “dan” adalah kata sambung sehingga tidak dapat digunakan sebagai awal suatu kalimat. Sama halnya dengan tata bahasa Arab, apabila kita lihat kembali ayat ini, kata “waa” (yang berarti “dan” dalam bahasa Indonesia) merupakan kata sambung. Jadi apabila terjemahan di atas kita sambungkan, akan berbunyi “padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya…”. Jadi ada orang-orang yang mampu untuk mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat Al Qur’an, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya.

Lalu siapakah orang-orang yang mendalam ilmunya tersebut? Dalam Al Qur’an terdapat kisah yang menyebutkan Allah mengajarkan takwil kepada manusia, misalnya dalam surat Yusuf (QS12): 6 yang berbunyi :

“Dan demikianlah Tuhan memilih engkau dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Di dalam ayat tersebut Allah mengajarkan takwil kepada Nabi Yusuf a.s. Jadi kita simpulkan bahwa Nabi Yusuf a.s adalah termasuk dalam orang-orang yang mendalam ilmunya dan diajarkan takwil oleh Allah SWT.

Lalu bagaimana dengan takwil Al Qur’an? Tentunya kita dapat simpulkan bahwa yang mengetahui takwil Al Qur’an haruslah orang-orang yang kedudukannya paling tidak sejajar dengan Nabi Yusuf a.s. atau di atas Nabi Yusuf a.s. Maka siapa orang-orang yang mendalam ilmunya yang mampu mentakwilkan Al Qur’an ini?

QS Waqiah (56): 77-79



“Sesungguhnya dia adalah Al Qur’an yang mulia, dalam kitab yang terpelihara baik, tidak ada yang menyentuhnya (Al Qur’an) selain hamba-hamba yang disucikan”

Apa yang dimaksud dengan “selain hamba-hamba yang disucikan” dalam ayat di atas? Apabila kita lihat terjemahan yang ada pada saat ini, beberapa mengartikan ayat ini “selain hamba-hamba yang berwudhu.”. Kembali pada tata bahasa Arab “La” dalam Qur’an mempunyai dua makna, yaitu menafikkan (meniadakan) dan larangan. La yang digunakan ayat ini bukan berarti larangan, melainkan meniadakan. Jadi makna ayat ini “tidak ada yang menyentuh Al Qur’an, kecuali…” , apakah tepat bila kita katakana tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali orang-orang yang berwudhu? Logika saja, apakah benar semua orang yang menyentuh Al Qur’an dalam keadaan berwudhu, padahal kita tahu bahwa banyak yang menyentuh fisik Al Qur’an tanpa berwudhu. Jadi apakah ayat Allah tersebut meleset dalam menetapkan sesuatu? Tidak mungkin!

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kata “menyentuh” dalam ayat ini bukan berarti menyentuh secara fisik, melainkan secara non fisik, yaitu mengerti kandungan Al Qur’an.

Untuk memperjelas pemahaman, kita lihat kata “menyentuh” yang sama, yang digunakan dalam QS Al A’Raaf (7) :201 yang berbunyi :

“Sesungguhya orang-orang yang bertakwa apabila disentuh(1) (diganggu) setan, mereka ingat kepada Allah, ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)”

Apabila diartikan secara fisik akan berarti “orang yang bertakwa apabila disentuh setan” Tentunya arti ayat tersebut bukanlah disentuh setan secara fisik, melainkan dirasuki setan atau merupakan non-fisik.

Kembali kepada pembahasan surat Al Waaqiah “…kecuali hamba-hamba yang disucikan”. Apabila ayat ini diterjemahkan “kecuali hamba-hamba yang berwudhu” tentunya tidak tepat, karena orang yang memiliki wudhu dalam bahasa Arab adalah Thohir, yaitu mensucikan diri. Sementara ayat ini mengatakan bahwa hamba-hamba yang disucikan, bukan mensucikan. Jadi yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba-hamba yang telah disucikan oleh Allah.

Lalu siapakah hamba-hamba yang disucikan tersebut? Yang mampu mentakwilkan Al Qur’an untuk kita, umat Islam, jadikan pelajaran dan pedoman hidup?

QS Al Ahzab (33) : 33

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak mencegah dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Ayat di atas menyebutkan bahwa Ahlul bayt lah orang-orang yang disucikan oleh Allah. Lalu siapakah yang dimaksud dengan Ahlul Bayt? Pendapat umum mengenai ahlul bayt adalah istri-istri Nabi. Untuk menjawab apakah benar ahlul bayt adalah istri istri Nabi kita akan meninjau dari tiga sisi, yaitu Al Qur’an, sejarah dan tata bahasa.

1. Ditinjau dari sisi Qur’an
Dalam QS Al Ahzab (33):30 istri-istri Nabi diperingatkan oleh Allah untuk tidak melakukan perbuatan yang keji. Kembali pada pernyataan sebelumnya, Allah tidak melakukan perbuatan sia-sia, jadi apabila tidak ada istri Nabi yang melakukan perbuatan keji untuk apa Allah memberikan peringatan? Apakah Allah tidak mengetahui bahwa istri-istri Nabi tidak melakukan perbuatan yang keji? Ini membuktikan bahwa ada istri-istri nabi yang berbuat keji sehingga diperingatkan oleh Allah SWT, dan ini juga menunjukkan bahwa ahlul bayt pada ayat 33 (yang disucikan oleh Allah) bukanlah mengacu pada istri Nabi.

2. Ditinjau dari sisi sejarah
Bagian awal dari QS Al Ahzab (33):33 menyebutkan perintah kepada istri-istri nabi yaitu “ …tetaplah kamu di rumahmu”. Hal ini berarti istri Nabi tidak diperbolehkan untuk keluar rumah sesuai perintah Allah. Dari sejarah, kita ketahui bahwa ada istri Nabi yang keluar rumah, bahkan memimpin perang Jamal sepeninggal Nabi SAAW. Jadi apakah mungkin ahlul bayt tersebut berarti istri-istri nabi, sementara ada dari istri nabi yang melanggar perintah Allah?

3. Ditinjau dari sisi tata bahasa Arab
Kata sesungguhnya (Innama) yang digunakan dalam QS Al Ahzab (33) : 33 disebut dalam tata bahasa Arab sebagai kalimatul hasyr (kalimat pembatas). Jadi fungsi kata Innama adalah pembatasan atas suatu pembahasan, jadi bukan merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya. Contoh ayat lain yang menggunakan Innama yaitu QS5:55, “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul dan orang beriman …” Allah menggunakan kata “Innama” dalam ayat ini, yang merupakan pembatas, jadi selain ketiga yang disebutkan tadi tidak boleh dijadikan pemimpin, tidak boleh ditaati.

Setelah itu kata kalian (“ankum”) dalam kalimat “mensucikan kalian” adalah kata ganti untuk laki-laki, jadi kalau kita anggap bahwa ahlul bayt adalah istri-istri Nabi maka kata yang digunakan adalah “ankunna”. Kata ganti yang digunakan dalam QS 33:33 semuanya menggunakan kata “kum”, bukan “kunna”, jadi bukan mengacu pada perempuan, sehingga bukan istri-istri Nabi yang dimaksud dalam ayat ini. Apabila kita lihat awal ayat QS 33:33 yang memang secara jelas menyebutkan istri-istri Nabi, kata yang digunakan adalah “buyutikunna” yang mengacu pada rumah istri-istri nabi, dan bukan menggunakan buyutikum.

Berdasarkan tinjauan Al Qur’an, sejarah dan tata bahasa Arab, jelaslah bahwa istri-istri Nabi bukanlah ahlul bayt yang dimaksud dalam QS33:33.

Lalu siapakah ahlul bayt yang dimaksud dalam ayat QS 33:33 sebenarnya?

Dalam Shahih Muslim dalam kitab 44 “Keutamaan-Keutamaan para Sahabat, Bab 9 “Keutamaan-keutamaan keluarga Nabi SAAW(2)” diriwayatkan sebagai berikut :

“Bersumber dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata; “Aisyah mengatakan” “Pagi-pagi nabi SAW keluar dengan mengenakan “kisa”(3) yang terbuat dari bahan bulu berwarna hitam. Tiba-tiba datang Hasan bin Ali. Beliau lalu mengajaknya masuk. Lalu datang Husain dan dia masuk bersama beliau. Sebentar kemudian datang Fatimah. Beliau mengajaknya masuk. Kemudian datang Ali. Dan beliaupun mengajaknya masuk. Kemudian beliau membaca firman Allah : “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”

=====
(1) Terjemahan bahasa Indonesia menyebutkan “dibayang-bayangi” atau “diganggu”, akan tetapi kata yang digunakan dalam ayat ini adalah ‘disentuh”
(2) diambil dari Tarjamah Shahih Muslim oleh KH Adib Bisri Musthofa, penerbit Asy-Syifa, Semarang 1993 halaman 312
(3) Dalam bahasa Arab, “kisa” berarti kain

Kamis, 16 Juli 2009

Al-Kindi dan kontradiksi Al Qur 'an



Al-Kindi adalah seorang filosof dan ilmuwan Islam yang sangat terkenal.

Berbagai karyanya hinggi kini masih menjadi referensi menarik dalam khazanah pemikiran Islam.

Di masa hidup Al-Kindi, Islam menghadapi banyak kritik dari berbagai kalangan pemikir aliran dan agama lain. Tak sedikit di antara kritik itu yang menyebabkan umat Islam terguncang dan bingung.

Salah satu tema kontroversial yang kerap ditulis pada periode itu adalah soal kontradiksi-kontradiksi dalam al-Qur’an. Berbagai pemikir ateis, Yahudi, Kristen dan aliran2 lain kerap menelurkan karya berkenaan dengan kontradiksi2 dalam al-Qur’an. Akibatnya, murid2 Al-Kindi kebingungan. Sedikit demi sedikit Al-Kindi mencoba menjawab berbagai keberatan dan kritik yang dilontarkan berkenaan dengan kontradiksi2 al-Qur’an.

Tapi kemudian, tibalah saatnya Al-Kindi merasa kelelahan. Dia mengutus salah seroang murid dekatnya berkelana mencari alim ulama yang bisa memberikan jawaban singkat padat dan tuntas soal kontradiksi2 al-Qur’an. Setelah berkeliling kesana kemari, orang2 di Samarra, Irak, akhirnya menyuruhnya untuk mendatangi majlis taklim Imam Hasan Al-Askari.

Mendengar pertanyaan murid Al-Kindi itu, Imam Hasan Al-Askari menawarkan ini: “Bagaimana kalau saya beri kau kunci masalah keilmuan.” “Sangat menyenangkan,” jawab murid Al-Kindi.

Lalu Imam Hasan Al-Askari melontarkan pertanyaan sederhana ini: “Bukankah kau tahu selalu ada kemungkinan bahwa maksud Sang Pembicara (Allah) selalu bisa berbeda dengan pengertian yang ditangkap oleh si pembaca?!” (Bahkan, dalam komunikasi antar manusia saja selalu ada kemungkinan salah paham antara pembicara dan lawannya. Akibatnya, kehati-hatian lawan bicara jauh lebih logis ketimbang tuduhan si lawan bicara bahwa pembicara telah terjebak dalam kontradiksi. Apalagi dalam konteks ini pembicara adalah Tuhan yang Maha Mengetahui.

“Betul, memang selalu ada kemungkinan seperti itu,” jawab murid Al-Kindi.

“Padahal, kontradiksi mengasumsikan persamaan antara maksud Sang Pembicara dengan pemahaman si pembaca.” Jelasnya, tak ada kontradiksi antara dua objek yang memang sejak awal berbeda.

Mendengar jawaban singkat ini, murid itu segera meminta diri dan bergegas menemui Al-Kindi. Di hadapan Al-Kindi, dia bilang bahwa dia punya gagasan untuk menjawab tuntas semua isu berkenaan dengan kontradiksi dalam al-Qur’an. Lalu dia mulai bercerita. Mendengar gagasan muridnya ini, Al-Kindi berkomentar, “Beritahu aku dari mana kau dapat gagasan ini?”

“Ini gagasanku sendiri,” jawabnya.

Al-Kindi menggelengkan kepala dan menimpali, “Tak mungkin gagasan seperti ini datang dari dirimu, karena di sini terletak argumen yang pasti datang dari ilmu yang tinggi.”

Setelah didesak, muridnya itu lantas mengakui bahwa dia memperolehnya dari Imam Hasan Al-Askari. Mendengar nama Hasan Al-Askari, Al-Kindi langsung berkomentar, “Memang hanya dia yang punya kapasitas untuk memberi jawaban sekelas ini. Dia mewarisi ilmu Nabi dan memperoleh ilmu langsung dari Tuhan.”

Senin, 13 Juli 2009

Metodologi dan Argumen Mengenal Tuhan

1. Metodologi yang dipergunakan oleh manusia untuk membuktikan wujud Tuhan ada tiga:

a. Metode kalbu atau fitrah,

b. Metode sensibel (material) atau metode tabi’at,

c. Metode akal atau metode argumen dan hikmat.

2. Apa yang selama ini dikenal sebagai teori fitrah, pada hakikatnya bukan merupakan teori dalam istilah logika, melainkan salah satu dari metodologi theology yaitu metode kalbu, bukan metode akal. Atas dasar ini dalam bab theology, antara metode dan dalil dalam makna khas logika, terdapat korelasi umum dan khusus mutlak, yaitu setiap dalil merupakan metode. Tetapi setiap metode belum tentu merupakan dalil.

3. Dalam kitab-kitab filsafat, tolok ukur yang dipergunakan untuk mengaffirmasikan wujud Tuhan diletakkan pada metode-metode akal. Sedangkan metode-metode sensibility dan tabi’at juga ikut menjadi bahan pembahasan dari sisi bahwa minor akan membentuk mayor-nya akal. Seperti teori keteraturan serta teori hidayah dan petunjuk.

4. Sandaran para ahli kalam dalam affirmasi dan pembuktian wujud Tuhan adalah pada kejadian alam. Dan sebagiannya seperti Thusy (ra) selain bersandar pada kejadian alam juga bersandar pada possibility (kemungkinan). Dan dengan memperhatikan bahwa eksistensi-eksistensi alam bisa merupakan eksistensi essensial atau aksidensial, maka wujud Tuhan bisa diargumentasikan dalam empat keadaan: “Telah diketahui bahwa alam bisa muncul dalam bentuk esensi maupun aksidensi. Dan wujud Tuhan bisa diargumentasikan dengan setiap dari keduanya, baik melalui metode possibility ataupun metode hudust. Dengan demikian keseluruhannya menjadi empat cara”.

5. Jumlah ikhtilaf dan kemajemukan teori, equivalen dengan jumlah kemajemukan dan ikhtilaf yang terdapat dalam hadd-wusta (middle-term) mereka. Oleh karena itu meskipun imkan, ma’luliyyat (ke-akibata-an) dan hudust saling melazimkan. Tetapi karena secara persepsi mereka berbeda antara satu dengan lainnya, maka teori-teori wujud dan imkan, ilah (sebab) dan ma’lul (akibat), masing-masing merupakan teori yang terpisah.

6. Literatur-literatur statement dan metodologi affirmasi wujud Tuhan terdapat dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang diantaranya adalah:

a. Argumen fitrah,

b. Argumen keteraturan,

c. Argumen hidayah dan petunjuk,

d. Argumen gerak

e. Argumen hudust nafs,

f. Argumen wujub dan imkan,

g. Argumen sebab dan akibat,

h. Argumen atau burhan shiddiqin.

Tentu saja sebagian dari teori-teori tersebut di atas telah dibahas dalam berbagai wacana dan penjelasan. Seperti misalnya teori fitrah yang telah dipaparkan dengan cara-cara yang varian. Dimana sebagiannya berdasarkan pada asas intuisi dan ilmu hudhuri. Dan sepenggalnya lagi berasaskan pada ilmu husuli, yang hal ini akan dijelaskan lebih detail pada pembahasan fitrah. Sedangkan teori hudust, imkan dan siddiqin, juga telah disajikan dengan ulasan yang beragam. Misalnya -sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada makalah-makalah sebelumnya- teori siddiqin telah dijelaskan dalam 19 ulasan. Yang keseluruhannya telah diungkapkan oleh marhum hakim rabbany Mirza Mahdi Mudarris Ashtiyany –Qudsallahu ruhuhul-‘alaa- dalam catatan kecilnya atas Sharh Mandzumah Hakim Sabzewary (ra).

7. Dengan memperhatikan berbagai uraian dari sebagian dalil-dalil affirmasi wujud Tuhan, bisa dikatakan bahwa telah ditemukan sekitar 34 penjelasan di dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang berkaitan dengan pembuktian wajibul wujud. Dimana pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menelisik dan menganalisa sebagian dari dalil-dalil tersebut yang seiring dengan itu kami juga akan mengungkapkan berbagai ulasan yang berkaitan dengannya.

“Argumen fitrah” yang diletakkan berdampingan dengan empirik dan rasio/akal, bukanlah fitrah aqliah, melainkan fitrah nurani. Maka dalam argumen ini, kita tidak akan menjumpai pembahasan tentang premis minor (sughra), premis mayor (kubra) dan relasi antara minor-mayor (hadd-e wasath). Apa yang dijadikan sebagai landasan argumentasi di sini adalah inner vision (pengamatan internal) dan refleksi batin. Dengan demikian, pada pembagian di atas, tolok ukur pengklasifikasian terletak pada alat dan perangkat teologi. Artinya dalam argumen fitrah ini, kita akan menemukan ilmu sadar kita terhadap Tuhan melalui hati, perhatian dan refleksi internal, menjadi makrifat yang sadar dan aktual.

Pada teori empirik, kita akan mengargumentasikan wujud Tuhan melalui penyaksian bias-bias fisikal dan materi (melalui proses penginderaan), juga dengan observasi dan mencermati keteraturan alam seperti pada teori keteraturan dan petunjuk (hidayah umum). Adapun pada argumen rasional, kita sama sekali tidak mempergunakan premis-premis eksperimental untuk mengaffirmasikan dan menegaskan eksistensi mutlak (wajibul wujud), melainkan hanya dengan bantuan akal yang dikolaborasikan dengan penerimaan terhadap prinsip keberadaan, seperti pada argumen wujub dan imkan (possibility), argumen illah (cause, sebab) dan ma’lul (effect, akibat) serta burhan shiddiqien.

Pembagian argumen berdasarkan asas kemanunggalan antara sâlik, maslak dan maqshad.

Pada peristiwa terjadinya “sebuah gerak”, ada tiga asas yang menjadi poin perhatian yang perlu digaris bawahi, yaitu “mutaharrik (yang bergerak), masiir (jalan) dan hadaf (tujuan)”. Yang dimaksud dengan mutaharrik adalah pemikir yang berfikir dalam sebuah persoalan. Masir adalah metodologi atau wahana tafakkur dan kontemplasi. Sedangkan makshad adalah tujuan, yaitu konklusi dari pemikiran. Dari perspektif dan paradigma ini, dalil-dalil teologi dipilah menjadi beberapa bagian. Pada salah satu pembagiannya disepakati bahwa ketiga asas di atas saling terpisah satu dari yang lainnya. Pada bagian lainnya dikatakan bahwa mutaharrik dan masir adalah satu. Tetapi maksad terpisah dari keduanya. Dan pada bagian ketiga disepakati bahwa, masir dan maksad satu. Tetapi mutaharrik terpisah dari keduanya.

Teori-teori semacam teori imkan, huduts (coming to be), gerak dan teori keteraturan, digolongkan dalam bagian pertama dimana pada tataran ini sâlik (pesalik), maslak (jalan suluk) dan makshad masing-masing terpisah satu dari yang lainnya.

Salah satu metode argumentasi atas wâjib al-wujud adalah ma’rifat nafs (pengenalan jiwa). Artinya bahwa manusia dapat menyadari keberadaan wâjib al-wujud melalui metode mutala’ah (pembelajaran) di dalam dirinya dan dalam perjalanan jiwanya. Lalu berargumentasi atas wâjib al-wujud dengan kontemplasi diri. Dalam argumentasi semacam ini, pada hakikatnya metode dan cara yang dipergunakan adalah sama. Hanya saja tujuan terpisah dari keduanya.

Mulla Sadra memasukkan teori siddiqin pada bagian ketiga. Dikatakan bahwa maslak dan makshad adalah satu dan hanya para pesaliknyalah yang terpisah dari keduanya. Karena hal inilah sehingga dikatakan bahwa teori semacam ini merupakan teori yang paling mencakupi dan paling kuat di antara teori-teori lainnya.

Dalam kitab Asfar, ia mengatakan: “Teori yang paling kuat dan paling luas yang membahas tentang Tuhan adalah teori yang hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan premis mayor) mengakui ketiadaan sesuatu selain diri-Nya dimana pada akhirnya, metode identik dengan tujuan. Dan hal ini sebagaimana metodologi yang dpergunakan oleh para sadiqin, yaitu orang-orang yang berargumen dan bersaksi atas wajibul wujud dengan wajibul wujud”.

Klasifikasi

Pada bagian ini, telah diulas tentang beberapa kategori, yang secara ringkas akan kami isyaratkan kembali dengan klasifikasi sebagai berikut, bahwa:

1. Selama masih ada keinginan bertuhan dalam diri manusia, maka wacana tentang Tuhan akan senantiasa ada dan senantiasa hidup. Dalam katagori ini tidak ada jalan untuk lapuk dan letih.

2. Makrifat dan theology, bukan hanya merupakan pondasi religi, melainkan juga merupakan pondasi makrifat yakini. Hal ini karena oleh apa yang disepakati oleh para filosof bahwa ”Yakin terhadap adanya ma’lul (akibat) tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengenalan terhadap ilal (sebab)”.

3. Yang dimaksud dengan “dalil” –dalam pembahasan kita- adalah metode mutlak, argumentasi yang hampir setara dengan makna hujjah. Atas dasar inilah teori-teori fitrah, sadiqin dan sebagainya semuanya berada dalam deskripsi ini.

4. Irfan mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah badihi (jelas dan aksiomatis). Dan semua alam merupakan manifestasi, tajalli serta saksi yang haq dan benar. Dan setiap sesuatu –meskipun sangat kecil- merupakan penampakkan dan dalil atas Nya. Sehingga dari sini bisa dikatakan: banyaknya argumentasi dan metode pembuktian wujud Tuhan dalam pandangan irfan, equivalen dengan banyaknya jumlah makhluk Tuhan.

5. Dalam filsafat dan kalam, interpretasi “Tuhan ada” disepakati merupakan sebuah intepretasi teoritis yang memerlukan argumen dan teori. Argumen-argumen akal dalam kitab-kitab filsafat dan kalam tentang pembuktian wajib mempunyai tiga ragam pembahasan dalam formula yang berbeda:

a. Filosofi

b. Kalam

c. Alami.

Jumat, 10 Juli 2009

Abu Hurairah Belajar Ayatul Kursi Dari Setan, Bukan Dari Rasululah saw.


Ada sebuah riwayat yang telah dishahihkan para ulama Ahlusunnah dan tidak seorang pun dari mereka meragukannya, karena ia telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab tersuci setelah Al Qur’an… riwayat tersebut mengatakan bahwa Abu Hurairah –sahabat yang paling diandalkan dalam meriwayatkan sunnah Nabi saw.- telah mendapat keistimewaan dengan dipilih sebagai murid khusus SETAN untuk diajarkan ayat Kursi, dan SETAN menasehatinya agar membacanya sebelum tidur….

Kisah itu demikian, Abu Buhairah bercerita bahwa pada suatu saat Nabi saw. mengamanatinya untuk menjaga zakat fitrah yang telah dikumpulkan, lalu ditengah malam ia dikejutkan dengan masukknya seorang penyusup yang mencuri beberapa genggam gandum zakat itu… untuk Abu Hurairah cekatan, ia langsung mengkap sang pencuri itu.. ia mengancam akan melaporkannya kepada Rasulullah saw…. Si pencuri tak henti-hentinya merayu Abu Hurairah agar tidak melaporkannya karena ia benar-benar sedang dihimpit kebutuhan yang sangat mendesak… memdengar keluhannya itu, Abu Hurairah pun iba… ia tidak jadi melaporkannya..

Keesokan harinya menegur Abu Hurairah, ‘Hai Abu Hurairah, bagaimana kabar tawananmu tadi malam? Abu Hurairah menyampaikan uzurnya mengapa ia melepaskannya… ia mengeluh benar-benar sedang kepepet! Nabi saw. mengingatkan Abu Hurairah bahwa ia dusta dalam alasan yang ia sampaikan, dan –kata Nabi- ia akan kembli lagi nanti malam… Abu Hurairah pun yakin, pencuri akan datang lagi… persis seperti yang dikabarkan Nabi saw. ia datang lagi dan kembali mencuri… dan untuk kedua kali Abu Hurairah menangkapnya dan mengancam akan melaporkannya kepada Rasulullah saw. dan sang pencuri pun menyampaikan permohonannya seperti malam pertama dan Abu HHurairah pun iba dan kasihan sehingga merahasiakan kejadian itu… keesokan harinya, Nabi kembali menegur Abu Hurairah… Malam ketiga juga terjadi lagi aksi pencurian itu…. Kali ini Abu Hurairah agak serius hendak melaporkannya… sehingga setan malakukan negoisasi dan memberikan kompensasi asal Abu Hurairah tidak melaporkannya kepada Nabi… Abu Hurairah setuju… dan SETAn pun mulai mengajarkan doa mujarrab untuk keselamatan dari gangguan setan… Abu Hurairah bertanya, ‘Doa apa yang Engkau maksud?” SETAN berkata mengajari Abu Hurairah, “Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi… pasti kamu sentiasa dalam penjagaan Allha dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi.”

Keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan peristiwa itu, dan Nabi pun memberitahukan kepadanya bahwa yang datang mengajarimu tadi malam adalah SETAN!

Ini Teks Riwayat Abu Hurairah di atas:

عن ‏ ‏محمد بن سيرين ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏رضي الله عنه ‏ ‏قال وكلني رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏بحفظ زكاة رمضان فأتاني آت فجعل ‏ ‏يحثو ‏ ‏من الطعام فأخذته وقلت والله لأرفعنك إلى رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال إني محتاج وعلي عيال ولي حاجة شديدة قال فخليت عنه فأصبحت فقال النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يا ‏ ‏أبا هريرة ‏ ‏ما فعل أسيرك البارحة قال قلت يا رسول الله شكا حاجة شديدة وعيالا فرحمته فخليت سبيله قال أما إنه قد كذبك وسيعود فعرفت أنه سيعود لقول رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إنه سيعود ‏ ‏فرصدته ‏ ‏فجاء ‏ ‏يحثو ‏ ‏من الطعام فأخذته فقلت لأرفعنك إلى رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال دعني فإني محتاج وعلي عيال لا أعود فرحمته فخليت سبيله فأصبحت فقال لي رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يا ‏ ‏أبا هريرة ‏ ‏ما فعل أسيرك قلت يا رسول الله شكا حاجة شديدة وعيالا فرحمته فخليت سبيله قال أما إنه قد كذبك وسيعود ‏ ‏فرصدته ‏ ‏الثالثة فجاء ‏ ‏يحثو ‏ ‏من الطعام فأخذته فقلت لأرفعنك إلى رسول الله وهذا آخر ثلاث مرات أنك تزعم لا تعود ثم تعود قال دعني أعلمك كلمات ينفعك الله بها قلت ما هو قال إذا أويت إلى فراشك فاقرأ آية الكرسي ‏

الله لا إله إلا هو الحي القيوم ‏

‏حتى تختم الآية فإنك لن يزال عليك من الله حافظ ولا يقربنك شيطان حتى تصبح فخليت سبيله فأصبحت فقال لي رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏ما فعل أسيرك البارحة قلت يا رسول الله زعم أنه يعلمني كلمات ينفعني الله بها فخليت سبيله قال ما هي قلت قال لي إذا أويت إلى فراشك فاقرأ آية الكرسي من أولها حتى تختم الآية ‏

‏الله لا إله إلا هو الحي القيوم ‏

‏وقال لي لن يزال عليك من الله حافظ ولا يقربك شيطان حتى تصبح وكانوا أحرص شيء على الخير فقال النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏أما إنه قد صدقك وهو كذوب تعلم من تخاطب منذ ثلاث ليال يا ‏ ‏أبا هريرة ‏ ‏قال لا قال ذاك شيطان ‏

(Lebih jelasnya baca langsung Shahih Bukhari, pada Kitab “al-Wakalah” Bab “Idza Wakkala Rajulan…”, Baca juga tafsir Ibnu Katsir,1/306 dan ia berkata hadis ini dari Riwayat Bukhari, an Nasa’i dalam Kitab al Yaum wa al Lailah) Hadis diatas kami ambil dari situs “Kementerian Urusan Agama dan Waqaf Saudi Arabia” silahkan anda merujuknya disini


Karena Abu Hurairah adalah seorang sahabat terpandang dan jujur tutur katanya, maka saya yakin Anda pasti percaya bahwa beliau belajar paling afdhalnya ayat Al Qur’an; Ayatul Kursi dari mulut setan yang berbaik hati dengan mengajarinya senjata yang akan menyemalatkannya dari gangguan setan yang terkutuk, tidak seperti para sahabat lainnya yang belajar langsung Ayatul Kursi dari mulut suci Rasulullah saw.

Dan kita sekarang mungkin lebih beruntung sebab SETAN sekarang tidak lagi gemar menjarah KUD atau KIOS-KIOS PEDAGANG BERAS DAN SEMBAKO! Kalau SETAN terus menjarah KUD kita pastilah persiapan PANGAN kita akan terancam!

sunber : http://jakfari.wordpress.com/2009/06/22/356/#comments