Bagaimana dan Bersama Siapa Al Qur’an
Al Qur’an berasal dari Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah SAAW sebagai Undang-undang dalam agama Islam dan petunjuk bagi kaum mukminin. Oleh karenanya amatlah penting bagi umat Islam untuk mempelajari Al Qur’an. Perintah Allah SWT untuk mempelajari Al Qur’an jelas disebutkan dalam Al Qur’an misalnya pada ayat-ayat sebagai berikut ini :
An Nisa (4) : 82
“Apakah mereka tidak mempelajari (tadabbur) Al Qur’an, kalau sekiranya (Al Qur’an) itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya”
Muhammad (47): 24
“Maka apakah mereka tidak mempelajari (tadabbur) Al Qur’an ? Ataukah hati mereka terkunci ?”
Hadits dari Rasulullah SAAW mengenai pentingnya mempelajari Al Qur’an diantaranya sbb :
“Apabila kalian ingin hidupnya orang-orang bahagia, matinya orang-orang syahid, keselamatan di hari kebangkitan, naungan di hari kepanasan, petunjuk di hari kesesatan; pelajari Al Qur’an karena sesungguhnya ia adalah kalamurrahman, penjaga dari syaitan dan beratnya timbangan (mizan)”
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa mempelajari Al Qur’an adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam.
Ali Imran (3): 7
“Dialah yang menurunkan Al Qur’an kepadamu. Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok Kitab dan yang lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepadanya (Al Qur’an) semuanya dari sisi Tuhan kami” Tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal”
Dalam mempelajari Al Qur’an, kita mengenal ilmu tafsir, dimana dalam ilmu tafsir, ayat Al Qur’an dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maknanya, misalnya “Hai orang-orang beriman dirikanlah shalat.” Ayat ini jelas mengandung arti bahwa shalat adalah wajib bagi orang-orang beriman, walaupun nantinya tata cara pelaksanaannya diatur dalam ilmu Fiqh. Kelompok ayat yang kedua adalah ayat mutasyabihat yang berarti ayat yang memiliki makna samar dan tidak dapat diartikan langsung. Ayat Ali Imran :7 di atas mengimplikasikan bahwa orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan mencoba mencari-cari takwil Al Qur’an, padahal yang mengetahui takwilnya hanyalah Allah SWT.
Apabila kita pelajari Al Qur’an, akan kita temukan banyak terdapat ayat mutasyabihat, misalnya surat-surat berikut ini :
Al Qasas (28): 88
“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan”
Apabila kita lihat dari istilah yang digunakan dalam ayat tersebut tanpa pentakwilan maka arti ayat tersebut adalah “semua akan binasa kecuali wajah (wajhahu) Allah”. Artinya tangan Allah, kaki Allah dan semua yang lainnya akan binasa, kecuali wajah Allah. Tentunya terjemahan ini tidak dapat diterima oleh logika kita sebagai manusia yang berakal. Bila kita lihat lebih lanjut terjemahan Al Qur’an, terjemahan tersebut menyebutkan “semua akan binasa kecuali Allah”, bukan kecuali wajah Allah! Jadi penterjemah disini sudah mentakwilkan ayat ini. Hal ini menunjukkan inkonsistensi, dimana di satu ayat disebutkan hanya Allah yang tahu maknanya (tidak boleh mentakwilkan) dan di ayat lain dilakukan pentakwilan atas ayat (bila hanya Allah yang tahu maknanya, darimana penterjemah bisa mengetahui talwil ayat tersebut?!).
QS Al Isra’ (17): 72
“Dan barangsiapa buta (hati) di dunia ini maka di akhirat dia akan buta dan tersesat”
Apabila kita lihat arti langsung dari ayat tersebut tanpa pentakwilan tentunya kita akan berfikir kasihan sekali orang buta, salah apa mereka? di dunia sudah buta dan di akhirat juga akan buta. Sekali lagi, akal sehat kita tentunya tidak dapat menerima pemahaman ini. Apabila kita melihat terjemahan Al Qur’an, sekali lagi kita lihat bahwa penterjemah melakukan pentakwilan dimana arti ayat tersebut menyebutkan “siapa yang buta (hati) di dunia..”. Padahal apabila kita lihat tata bahasa Arab yang digunakan dalam ayat ini, kata yang digunakan adalah a’ma, yang menunjukkan buta secara fisik, sementara untuk buta hati yang digunakan seharusnya adalah a’mal basyir. Jadi darimana penterjemah bisa mengetahui takwil ayat ini bila hanya Allah yang mengetahui takwilnya?
Apakah boleh penterjemah melakukan pentakwilan atas ayat Al Qur’an sementara bila melihat terjemahan ayat Ali Imran : 7 diebutkan bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Apabila dipikirkan secara logika, Al Qur’an adalah pelajaran bagi manusia, yang diturunkan bagi manusia, lalu mengapa Allah menurunkan ayat Mustasyabihat bila hanya Allah yang tahu maknanya? Kita sepakat dan kita percaya bahwa tidak ada perbuatan Allah yang sia sia. Jadi mengatakan bahwa ayat Mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah maknanya berarti kita telah menuduh Allah berbuat yang sia-sia!
Lalu bagaimana dengan terjemahan Ali Imran : 7 sebagaimana disebutkan di atas? Kita lihat kembali ayat Ali Imran : 7 yang menyebutkan bahwa :
“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepadanya (Al Qur’an) semuanya dari sisi Tuhan kami” Tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal”.
Apabila ayat tersebut kita lihat secara tata bahasa, kita lihat bahwa dalam ayat tersebut kata “Dan” digunakan untuk mengawali kalimat. Secara tata bahasa Indonesia, “dan” adalah kata sambung sehingga tidak dapat digunakan sebagai awal suatu kalimat. Sama halnya dengan tata bahasa Arab, apabila kita lihat kembali ayat ini, kata “waa” (yang berarti “dan” dalam bahasa Indonesia) merupakan kata sambung. Jadi apabila terjemahan di atas kita sambungkan, akan berbunyi “padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya…”. Jadi ada orang-orang yang mampu untuk mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat Al Qur’an, yaitu orang-orang yang mendalam ilmunya.
Lalu siapakah orang-orang yang mendalam ilmunya tersebut? Dalam Al Qur’an terdapat kisah yang menyebutkan Allah mengajarkan takwil kepada manusia, misalnya dalam surat Yusuf (QS12): 6 yang berbunyi :
“Dan demikianlah Tuhan memilih engkau dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Di dalam ayat tersebut Allah mengajarkan takwil kepada Nabi Yusuf a.s. Jadi kita simpulkan bahwa Nabi Yusuf a.s adalah termasuk dalam orang-orang yang mendalam ilmunya dan diajarkan takwil oleh Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan takwil Al Qur’an? Tentunya kita dapat simpulkan bahwa yang mengetahui takwil Al Qur’an haruslah orang-orang yang kedudukannya paling tidak sejajar dengan Nabi Yusuf a.s. atau di atas Nabi Yusuf a.s. Maka siapa orang-orang yang mendalam ilmunya yang mampu mentakwilkan Al Qur’an ini?
QS Waqiah (56): 77-79
“Sesungguhnya dia adalah Al Qur’an yang mulia, dalam kitab yang terpelihara baik, tidak ada yang menyentuhnya (Al Qur’an) selain hamba-hamba yang disucikan”
Apa yang dimaksud dengan “selain hamba-hamba yang disucikan” dalam ayat di atas? Apabila kita lihat terjemahan yang ada pada saat ini, beberapa mengartikan ayat ini “selain hamba-hamba yang berwudhu.”. Kembali pada tata bahasa Arab “La” dalam Qur’an mempunyai dua makna, yaitu menafikkan (meniadakan) dan larangan. La yang digunakan ayat ini bukan berarti larangan, melainkan meniadakan. Jadi makna ayat ini “tidak ada yang menyentuh Al Qur’an, kecuali…” , apakah tepat bila kita katakana tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali orang-orang yang berwudhu? Logika saja, apakah benar semua orang yang menyentuh Al Qur’an dalam keadaan berwudhu, padahal kita tahu bahwa banyak yang menyentuh fisik Al Qur’an tanpa berwudhu. Jadi apakah ayat Allah tersebut meleset dalam menetapkan sesuatu? Tidak mungkin!
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kata “menyentuh” dalam ayat ini bukan berarti menyentuh secara fisik, melainkan secara non fisik, yaitu mengerti kandungan Al Qur’an.
Untuk memperjelas pemahaman, kita lihat kata “menyentuh” yang sama, yang digunakan dalam QS Al A’Raaf (7) :201 yang berbunyi :
“Sesungguhya orang-orang yang bertakwa apabila disentuh(1) (diganggu) setan, mereka ingat kepada Allah, ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)”
Apabila diartikan secara fisik akan berarti “orang yang bertakwa apabila disentuh setan” Tentunya arti ayat tersebut bukanlah disentuh setan secara fisik, melainkan dirasuki setan atau merupakan non-fisik.
Kembali kepada pembahasan surat Al Waaqiah “…kecuali hamba-hamba yang disucikan”. Apabila ayat ini diterjemahkan “kecuali hamba-hamba yang berwudhu” tentunya tidak tepat, karena orang yang memiliki wudhu dalam bahasa Arab adalah Thohir, yaitu mensucikan diri. Sementara ayat ini mengatakan bahwa hamba-hamba yang disucikan, bukan mensucikan. Jadi yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba-hamba yang telah disucikan oleh Allah.
Lalu siapakah hamba-hamba yang disucikan tersebut? Yang mampu mentakwilkan Al Qur’an untuk kita, umat Islam, jadikan pelajaran dan pedoman hidup?
QS Al Ahzab (33) : 33
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak mencegah dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Ayat di atas menyebutkan bahwa Ahlul bayt lah orang-orang yang disucikan oleh Allah. Lalu siapakah yang dimaksud dengan Ahlul Bayt? Pendapat umum mengenai ahlul bayt adalah istri-istri Nabi. Untuk menjawab apakah benar ahlul bayt adalah istri istri Nabi kita akan meninjau dari tiga sisi, yaitu Al Qur’an, sejarah dan tata bahasa.
1. Ditinjau dari sisi Qur’an
Dalam QS Al Ahzab (33):30 istri-istri Nabi diperingatkan oleh Allah untuk tidak melakukan perbuatan yang keji. Kembali pada pernyataan sebelumnya, Allah tidak melakukan perbuatan sia-sia, jadi apabila tidak ada istri Nabi yang melakukan perbuatan keji untuk apa Allah memberikan peringatan? Apakah Allah tidak mengetahui bahwa istri-istri Nabi tidak melakukan perbuatan yang keji? Ini membuktikan bahwa ada istri-istri nabi yang berbuat keji sehingga diperingatkan oleh Allah SWT, dan ini juga menunjukkan bahwa ahlul bayt pada ayat 33 (yang disucikan oleh Allah) bukanlah mengacu pada istri Nabi.
2. Ditinjau dari sisi sejarah
Bagian awal dari QS Al Ahzab (33):33 menyebutkan perintah kepada istri-istri nabi yaitu “ …tetaplah kamu di rumahmu”. Hal ini berarti istri Nabi tidak diperbolehkan untuk keluar rumah sesuai perintah Allah. Dari sejarah, kita ketahui bahwa ada istri Nabi yang keluar rumah, bahkan memimpin perang Jamal sepeninggal Nabi SAAW. Jadi apakah mungkin ahlul bayt tersebut berarti istri-istri nabi, sementara ada dari istri nabi yang melanggar perintah Allah?
3. Ditinjau dari sisi tata bahasa Arab
Kata sesungguhnya (Innama) yang digunakan dalam QS Al Ahzab (33) : 33 disebut dalam tata bahasa Arab sebagai kalimatul hasyr (kalimat pembatas). Jadi fungsi kata Innama adalah pembatasan atas suatu pembahasan, jadi bukan merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya. Contoh ayat lain yang menggunakan Innama yaitu QS5:55, “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul dan orang beriman …” Allah menggunakan kata “Innama” dalam ayat ini, yang merupakan pembatas, jadi selain ketiga yang disebutkan tadi tidak boleh dijadikan pemimpin, tidak boleh ditaati.
Setelah itu kata kalian (“ankum”) dalam kalimat “mensucikan kalian” adalah kata ganti untuk laki-laki, jadi kalau kita anggap bahwa ahlul bayt adalah istri-istri Nabi maka kata yang digunakan adalah “ankunna”. Kata ganti yang digunakan dalam QS 33:33 semuanya menggunakan kata “kum”, bukan “kunna”, jadi bukan mengacu pada perempuan, sehingga bukan istri-istri Nabi yang dimaksud dalam ayat ini. Apabila kita lihat awal ayat QS 33:33 yang memang secara jelas menyebutkan istri-istri Nabi, kata yang digunakan adalah “buyutikunna” yang mengacu pada rumah istri-istri nabi, dan bukan menggunakan buyutikum.
Berdasarkan tinjauan Al Qur’an, sejarah dan tata bahasa Arab, jelaslah bahwa istri-istri Nabi bukanlah ahlul bayt yang dimaksud dalam QS33:33.
Lalu siapakah ahlul bayt yang dimaksud dalam ayat QS 33:33 sebenarnya?
Dalam Shahih Muslim dalam kitab 44 “Keutamaan-Keutamaan para Sahabat, Bab 9 “Keutamaan-keutamaan keluarga Nabi SAAW(2)” diriwayatkan sebagai berikut :
“Bersumber dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata; “Aisyah mengatakan” “Pagi-pagi nabi SAW keluar dengan mengenakan “kisa”(3) yang terbuat dari bahan bulu berwarna hitam. Tiba-tiba datang Hasan bin Ali. Beliau lalu mengajaknya masuk. Lalu datang Husain dan dia masuk bersama beliau. Sebentar kemudian datang Fatimah. Beliau mengajaknya masuk. Kemudian datang Ali. Dan beliaupun mengajaknya masuk. Kemudian beliau membaca firman Allah : “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”
=====
(1) Terjemahan bahasa Indonesia menyebutkan “dibayang-bayangi” atau “diganggu”, akan tetapi kata yang digunakan dalam ayat ini adalah ‘disentuh”
(2) diambil dari Tarjamah Shahih Muslim oleh KH Adib Bisri Musthofa, penerbit Asy-Syifa, Semarang 1993 halaman 312
(3) Dalam bahasa Arab, “kisa” berarti kain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar