Senin, 29 Desember 2008

Pesan Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei




Bismillahirrahmanirrahim
Innalillahi wa Inna ilahi raji'un.

Kejahatan besar yang dilakukan Rezim Zionis Israel di Gaza dan pembantaian ratusan warga; laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tertindas, sekali lagi menunjukkan wajah bengis serigala-serigala zionis yang haus darah dan membuka kedoknya yang selama bertahun-tahun tersembunyi di balik tabir kedustaan. Kejahatan ini sekaligus menjadi peringatan bagi mereka yang lalai dan para pencari ‘damai', akan bahaya besar dari kehadiran kelompok kafir harbi ini di jantung negeri umat Islam. Duka yang ditimbulkan oleh pembantaian sadis ini sangat memukul hati setiap insan Muslim, bahkan menyentak siapa saja yang memiliki hati nurani dan kehormatan, di manapun dia berada. Akan tetapi duka yang lebih besar dari itu adalah sikap bungkam bernuansa dorongan yang ditunjukkan oleh sejumlah rezim Arab dan yang mengaku menjadi bagian dari dunia Islam. Bukankah para penguasa negeri-negeri Muslim sepatutnya membela warga Gaza yang tertindas dan berhadap-hadapan dengan rezim perampas, kafir dan agresor, bukan malah menunjukkan sikap yang membuat para pejabat zionis menyebut mereka sebagai pihak yang setuju dengan kejahatan besar itu. Adakah petaka yang lebih besar dari ini?

Jawaban apa yang bakal diberikan kelak oleh para penguasa negara-negara itu ketika mereka berhadapan dengan Rasulullah SAW? Jawaban apakah yang bisa mereka berikan kepada rakyat mereka sendiri yang sudah pasti tengah berkabung atas terjadinya tragedi ini? Sudah pasti hati rakyat Mesir, Jordania dan negara-negara Islam tengah terpanggang menyaksikan pembantaian besar terhadap warga
Gaza yang sebelum ini telah mengalami blokade berkepanjangan tanpa adanya suplai makanan dan obat-obatan.

Pemerintahan Bush yang telah melakukan banyak kejahatan, di hari-hari akhir kekuasaannya yang penuh cela kian menenggelamkan rezim Amerika Serikat ke dalam nista dengan keterlibatannya dalam pembantaian ini. Peristiwa Gaza semakin mempertebal berkas kejahatan perang pemerintahan Bush. Rezim-rezim Eropa kembali membuktikan kebohongan klaim-klaim mereka tentang Hak Asasi Manusia dengan sikapnya yang tak peduli bahkan mendukung terjadinya pembantaian besar ini. Sekali lagi mereka membuktikan bahwa mereka berada di barisan front yang memusuhi Islam dan umat Muslim.

Kini pertanyaan yang saya ajukan kepada para ulama dan para rohaniawan di dunia Arab, juga kepada para pemimpin di negeri manapun, bukankah kini telah tiba saatnya bagi Islam dan umat Muslim untuk merasakan adanya ancaman? Bukankah kini telah tiba saatnya bagi kalian untuk melaksanakan kewajiban mencegah kemungkaran dan menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim?

Adakah medan peristiwa lain yang lebih nampak jelas di depan mata ketimbang Gaza dan Palestina yang memperlihatkan kerjasama kaum kafir harbi dengan para munafik di tengah umat dalam aksi menumpas kaum muslimin, sehingga kalian baru merasa adanya kewajiban di pundak kalian?

Pertanyaan saya kepada media
massa dan para cendekiawan di dunia Islam, khususnya di dunia Arab, kapan kalian akan mengakhiri sikap tak peduli terhadap kewajiban yang kalian pikul sebagai insan media dan kalangan cendekia? Adakah cela yang lebih besar bagi lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia di Barat dan lembaga yang disebut Dewan Keamanan PBB dari apa yang ada saat ini?

Semua mujahid Palestina dan semua insan mukmin di dunia Islam wajib melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membela perempuan, anak-anak dan warga yang lemah di
Gaza. Siapa saja yang terbunuh dalam menjalankan tugas mulia dan suci ini berarti dia mati syahid, dan semoga dia dibangkitkan kelak bersama para syuhada Badr dan Uhud yang berjuang bersama Rasulullah SAW.

Organisasi Konferensi Islam (OKI) harus melaksanakan tugas dan kewajibannya pada situasi yang genting dan bersejarah ini. Organisasi ini hendaknya membentuk satu barisan bersama yang tegas dan tak reaktif dalam menghadapi rezim zionis
Israel. Rezim Zionis harus dihukum oleh negara-negara Islam. Para pemimpin rezim pendudukan itu harus diseret ke pengadilan untuk diadili dan dihukum karena kejahatan ini dan karena aksi blokade berkepanjangan yang mereka lakukan.

Bangsa-bangsa Muslim bisa mewujudkan harapan itu dengan tekad mereka yang kuat. Tugas yang diemban oleh para politisi, ulama dan kaum cendekiawan pada masa yang genting ini lebih besar.

Saya mengumumkan hari Senin sebagai hari berkabung umum untuk mengenang pembantaian sadis di
Gaza dan menyeru kepada para pejabat negara untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing terkait peristiwa yang menyayat hati ini.

وَ سَیعلَمُ ‌الذین ظَلَموا اَیّ مُنقلبٍ یَنقلبون

Dan kelak orang-orang zalim akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Q.S Al-Syu'araa': 227)

Sayyid Ali Khamenei
8 Dey 1387 HS (28 Desember 2008)
29 Dzulhijjah 1429 H
(Sumber: IRIB)

Jumat, 26 Desember 2008

Petemuan Mesir, Iran, Suriah dan Indonesia untuk Gaza

Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani dan Ketua Parlemen Mesir, Ahmad Fathi Surur melakukan pembicaran via telepon dan bersepakat mengadakan pertemuan empat negara, yaitu Iran, Mesir, Suriah dan Indoneia, guna membahas mobilisasi bantuan untuk warga Gaza yang diblokade Israel. IRNA melaporkan bahwa guna mempersiapkan pertemuan tesebut, Ketua Kerjasama antar Parlemen se-Asia, Muhammad Hadi Nejad Hoseinian akan mengunjungi Kairo.

Mesir terus mendapatkan tekanan dari Iran dan negara-negara Islam agar membuka lintasan penyeberangan Rafah demi menyelematkan 1 setengah juta warga Gaza yang terancam kelaparan. Sebagaiamana diketahui hampir seluruh negara Arab secara diam-diam mendukung blokade atas Gaza demi melemahkan dan menggulingkan pemerintah Hamas yang didukung oleh Iran.

Senin, 15 Desember 2008

Hamas Peringati Milad ke 21 dengan Petisi Kekecewaan thdp Dunia Arab dan Islam




Senin, 15 Desember 2008

Ismail Haniah hari ini Ahad di hadapan ratusan ribu warga Gaza menyampaikan pidato penuh gelora selama 45 menit.

Sebagaimana ditayangkan secara live oleh telivisi internasiomal Al-Alam, pidato Perdana Menteri Pemerintah Palestina yang sah secara demokratis itu didominasi oleh ungkapan kecewa terhadap sikap negara-negara Arab dan Islam terutama Mesir yang turut menutup jalur perbatasan sehingga menyebabkan derita warga Gaza bertambah.

Haniah juga menyampaikan ajakan terbuka kepada umat Islam dan para pejuang kebebasan dan kemanusiaan dari seluruh agama untuk menunjukkan solidaritas dengan melakukan aksi terobos blokade yang diberlakukan Israel atas Gaza sejak 7 bulan lalu.

"Rakyat Gaza akan tetap bertahan dengan tekad dan semangat memperjuangkan haknya seraya meneladani ketabahan Nabi Muhammad dan keluarganya saat mengalami blokade kaum musyrik Quraisy di Syi’b Abu Thalib," pekiknya disambu suara takbir membahana.

Kamis, 04 Desember 2008

Al-Ghadîr di dalam Alkitab Perjanjian Lama*

Pengantar: dalam artikel ini, Thomas McElwain—seorang filosof, asketis, dan pakar Alkitab—berupaya menelusuri jejak kata al-Ghadir (atau GDUr dalam bahasa Ibraninya) di seluruh Alkitab Perjanjian Lama. Menarik bahwa McElwain menemukan bahwa kata tersebut merujuk kepada figur tertentu di masa depan (dalam konteks periode nabi-nabi Ibrani) yang akan berfungsi sebagai pusat keterjagaan otoritas Tuhan.

Kata ghadîr (dalam bahasa Ibrani: GDUr) di dalam Alkitab muncul sebagai kata Ibrani yang bermakna ‘wall’(dinding) atau ‘fence’(pagar). Dengan makna seperti itu, terjemahan kata tersebut secara umum sudah tepat. Bagaimanapun, kata dinding atau pagar sering digunakan karena paling bermakna dan bahkan secara jelas menjadi cara simbolik—dengan hanya tiga atau empat pengecualian—yang terlihat sangat signifikan dengan peristiwa yang dikenal sebagai al-Ghadir[1] dalam sejarah Islam.
Kemunculan pertama dari kata tersebut terdapat pada kisah Bileam, nabi Persia kuno di dalam Bilangan 22. Nabi tersebut diminta untuk mengutuk hamba-hamba Tuhan. Bukannya menolak, dia malah bertanya kepada Tuhan apakah dia boleh melakukan hal itu ataukah tidak, seraya berharap bahwa Tuhan akan memberinya izin untuk mengambil upah yang ditawarkan kepadanya bagi perbuatan tersebut. Dia telah menentang perintah Tuhan. Inilah subjek yang ditunjukkan Bilangan 22:24[2]:

“But the angel of the LORD stood in a path of the vineyards, a wall (ghadîr) being on this side, and a wall (ghadîr) on that side.”

[“Kemudian pergilah Malaikat TUHAN berdiri pada jalan yang sempit di antara kebun-kebun anggur dengan tembok (ghadîr) sebelah-menyebelah.”]

Bileam tidak melihat malaikat itu tetapi keledainya, yang tengah berusaha memutar arah, menabrakan kakinya ke dinding. Sejak kejadian itu, ghadîr (GDUr) menjadi simbol dari dinding tempat Tuhan menyingkapkan jalan kebenaran, dan juga dinding tempat mereka yang sesat akan melukai pergelangan kaki mereka karena menabraknya. Teks lain yang menggunakan kata tersebut dalam makna pagar atau dinding untuk menunjukkan jalan yang benar terdapat di dalam Ayub 19:8[3].

Kata tersebut juga digunakan sebagai rujukan kepada keturunan Simeon yang menghancurkan sisa-sisa orang Amalek atas perintah Tuhan. Hal ini dikatakan di dalam 1 Tawarikh 4:39-40[4]:

“And they went to the entrance of Gedor, even unto the east side of the valley, to seek pasture for their flocks.”

“And they found fat pasture and good, and the land was wide, and quiet, and peaceable; for they of Ham had dwelt there of old.”

[“39 Oleh sebab itu mereka pindah ke arah Gedor sampai ke sebelah timur lembah untuk mencari padang rumput bagi kambing domba mereka.”]

[“40 Mereka menemui padang rumput yang gemuk dan baik; negeri itu luas, aman dan sentosa; orang-orang yang diam di sana sebelum mereka berasal dari Ham.”]

Para penulis teks Masoretik secara arbitrer telah memvokalisasi kata tersebut menjadi Ghedor tetapi kata tersebut di dalam teks aslinya persis seperti yang terdapat di dalam Bilangan 22. Bagian ini mengisyaratkan adanya simbolisme tahap lanjut bagi kata Ghadîr. Inilah sumber yang tidak diperkirakan mengenai kesempurnaan dan kebahagiaan. Simbolisasi padang rumput bagi hewan ternak telah dikenal lama di dalam teks-teks suci Ibrani dalam hubungannya dengan bimbingan Tuhan, seperti yang terlihat di dalam Mazmur 23 yang terkenal.

Kata Ghadîr tersebut divokalisasikan lagi seperti itu di dalam Ezra 9:9[5].

“For we were bondmen; yet our God hath not forsaken us in our bondage, but hath extended mercy unto us in the sight of the kings of Persia, to give us a reviving, to set up the house of our God, and to repair the desolations thereof, and to give us a wall in Judah and in Jerusalem.”

[“Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem.”]

Pendirian tembok di dalam teks tersebut memiliki makna literalnya tetapi ekspresinya, secara khusus di sini, penuh dengan muatan-muatan simbolik. Hal ini diisyaratkan melalui ungkapan to give (‘memberi’). Dinding lahiriah di Yerusalem dibangun melalui tangan manusia tetapi Ghadîr itu sendiri adalah sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan. Apa yang dianugerahkan adalah penegakan kembali pusat keimanan dan otoritas. Harus diperhatikan bahwa ghadîr dalam situasi tersebut telah ditentang oleh orang-orang Samaria. Dari sudut pandang Islam—meskipun dalam beberapa aspek Islam mempunyai banyak kesamaan dengan Samaritanisme ketimbang Yudaisme—ghadîr di sini muncul sebagai hal yang benar dan sah. Orang-orang Samaria tidak mengakui beberapa nabi yang disebutkan al-Quran sedangkan Yahudi pada masa itu mengakui nabi-nabi tersebut. Maka, ghadîr di Yerusalem dan Yehuda inilah yang membedakan antara otoritas yang diakui Tuhan dengan otoritas kaum Samaria yang tidak diakui (Tuhan). Dengan demikian, terdapat suatu keserupaan yang paripurna antara ghadîr-nya Ezra dan ghadîr yang dikenal dalam sejarah Islam. Teks tersebut juga menyebutkan perihal hubungan dengan orang-orang Persia, yang juga disebutkan di dalam Bilangan 22.

Terdapat dua nubuat lainnya yang bernilai signifikan dalam hubungannya dengan kata ghadîr. Yang pertama ialah Yesaya 58:12[6] yang konteksnya berbicara tentang puasa. Ungkapan relevan yang terdapat di dalamnya ialah “repairer of the breach” (‘yang memperbaiki tembok yang tembus’). Kata tersebut diindikasikan sebagai godeer, sebuah participle (kata kerja yang berposisi sebagai ajektiva atau nomina—peny.) sehingga berarti ‘the one who is fencing up the breach’ (orang yang memagari tembok yang tembus’). Mungkin kata tersebut merupakan bentukan dari kata ghadîr yang berarti ‘the fencing up of the breach’ (‘pemagaran tembok yang tembus’). Apa pun maknanya, kata tersebut merujuk kepada seorang figur manusia. Di dalam ayat 5, kata-kata sang nabi ditujukan kepada kaum yang gagal melaksanakan perintah Tuhan secara benar. Kegagalan itu tampak dari perilaku mereka yang tetap zalim meskipun mereka kerap melaksanakan berbagai bentuk (ibadah) puasa. Kata ganti ye (‘kalian’) berubah menjadi bentuk tunggal[7] (thou ‘kamu’) di dalam ayat 7, dan berawal pada ayat inilah seorang figur manusia dari ghadîr tersebut dijelaskan. Kata-kata yang ada sejak ayat ke 7 tersebut, secara khusus, sangat bermakna apabila diterapkan kepada Imam Ali as, yang diangkat (Nabi saw) di al-Ghadîr[8].

Yesaya 58:7: “Is it not to deal thy bread to the hungry, and that thou bring the poor that are cast out to thy house? when thou seest the naked, that thou cover him; and that thou hide not thyself from thine own flesh?

8 Then shall thy light break forth as the morning, and thine health shall spring forth speedily: and thy righteousness shall go before thee; the glory of the LORD shall be thy rereward.

9 Then shalt thou call, and the LORD shall answer; thou shalt cry, and he shall say, Here I am. If thou take away from the midst of thee the yoke, the putting forth of the finger, and speaking vanity;

10 And if thou draw out thy soul to the hungry, and satisfy the afflicted soul; then shall thy light rise in obscurity, and thy darkness be as the noonday:

11 And the LORD shall guide thee continually, and satisfy thy soul in drought, and make fat thy bones: and thou shalt be like a watered garden, and like a spring of water, whose waters fail not.

12 And they that shall be of thee shall build the old waste places: thou shalt raise up the foundations of many generations; and thou shalt be called, The repairer of the breach, The restorer of paths to dwell in.”

[“7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!

8 Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.

9 Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah,

10 apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.

11 TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.

12 Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan. Engkau akan disebutkan ‘yang memperbaiki tembok yang tembus’, ‘yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni.”]

Semua ungkapan pada kutipan ayat-ayat di atas dengan sangat baik merepresentasikan karakter dan tindakan-tindakan Imam Ali as. Terdapat banyak riwayat yang mengungkapkan tindakan Imam Ali as memberi makan orang yang kelaparan. Dia juga mengabdikan dirinya untuk ikut mengangkat beban kesulitan manusia dan menghilangkan fitnah serta kepalsuan. Teks tersebut juga menggarisbawahi adanya bimbingan langsung Tuhan yang dianugerahkan kepada sang Imam.

Kemudian, dua bagian di dalam Yehezkiel menyampaikan pesan yang agak berbeda. Keduanya terutama berbicara tentang kegagalan bangsa Israel dalam melaksanakan peran kepemimpinan yang telah dianugerahkan Tuhan untuk menyebarkan monoteisme kepada dunia.

Yehezkiel 13:5[9]: “Ye have not gone up into the gaps, neither made up the hedge for the house of Israel to stand in the battle in the day of the LORD.”

[“Kamu tidak mempertahankan lobang-lobang pada tembokmu dan tidak mendirikan tembok sekeliling rumah Israel, supaya mereka dapat tetap berdiri di dalam peperangan pada hari TUHAN.”]

Ayat ini memunculkan konteks pentingnya proklamasi al-Ghadîr. Baik Yahudi maupun Kristen, keduanya sama-sama gagal dalam menunaikan mandat Tuhan. Oleh karena itu, kegagalan mereka perlu diperbaiki melalui pewahyuan al-Quran, dan penegakan “pagar/tembok” atau ghadîr untuk memelihara tegaknya hukum Tuhan di muka bumi. Teks tersebut juga menyebutkan bahwa bangsa Israel nantinya harus mempertanggungjawabkan kegagalan mereka pada Hari Pengadilan.

Kegagalan yang dimaksud bahkan lebih jelas ditunjukkan di dalam Yehezkiel 22:30[10];

“And I sought for a man among them, that should make up the hedge, and stand in the gap before me for the land, that I should not destroy it: but I found none.”

[“Aku mencari di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.”]

Dengan demikian, prinsip Imamah secara khusus mendapatkan keabsahannya bersama Imam Ali as pada peristiwa al-Ghadîr.

Mazmur 62, yang terdiri dari dua belas ayat, merupakan salah satu Mazmur-mazmur yang bernuansa Imamah. Kata ghadîr muncul di dalam ayat 3, salah satu dari rangkaian dua belas yang biasanya mengisyaratkan peristiwa yang dialami Imam Husain as. Keseluruhan Mazmur 62 berkaitan erat dengan topik otoritas Ilahiah. Namun ayat 3 menyentuh persoalan tentang penerimaan atau—dalam hal ini—penolakan terhadap seseorang yang telah ditetapkan Tuhan untuk merepresentasikan otoritas-Nya di muka bumi.

Mazmur 62:3(4)[11]: “How long will ye imagine mischief against a man? ye shall be slain all of you: as a bowing wall shall ye be, and as a tottering fence.”

[“(62-4) Berapa lamakah kamu hendak menyerbu seseorang, hendak meremukkan dia, hai kamu sekalian, seperti terhadap dinding yang miring, terhadap tembok yang hendak roboh?”

Di sini, ghadîr diterjemahkan sebagai ‘fence’(pagar atau tembok dalam terjemahan Alkitab versi LAI). Kata YSh atau ‘a man’ (seseorang) sebagaimana sering digunakan di dalam Mazmur-mazmur memiliki implikasi Imamah, sebagaimana terlihat jelas di dalam Mazmur 1:1[12]. Maknanya ialah bahwa siapa pun yang berniat untuk berbuat jahat terhadap “a man” atau sang imam dan hendak membunuhnya, maka dengan sendirinya ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Di sini, sang imam dianalogikan secara langsung dengan ghadîr atau ‘pagar’tembok’ yang membimbing ke jalan yang benar.

Peringatan yang ditujukan kepada mereka yang melanggar kesepakatan al-Ghadîr diulang kembali di dalam Pengkhotbah 10:8[13]:

“He that diggeth a pit shall fall into it; and whoso breaketh an hedge, a serpent shall bite him.”

[“Barangsiapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular.”]

Sang nabi (dalam ayat di atas) berjanji bahwa barangsiapa yang menistakan kesepakatan al-Ghadîr akan disengat ular. Referensi sebelumnya mengenai lubang (pit) tentu saja bermakna ‘merencanakan makar’ terhadap orang lain. Bagaimanapun, keseluruhan ayat tersebut memiliki sebuah nuansa makna eskatologis, baik yang mengisyaratkan hukuman di alam kubur karena kegagalan mengenal sang imam ataupun hukuman pada Hari Kebangkitan.

[1] Al-Ghadir adalah sebuah peristiwa dalam sejarah Islam, terjadi pada 18 Zulhijjah, ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya. Dalam sebuah riwayat yang mutawatir, di antara bagian terpenting dari khotbah itu adalah, “Wahai manusia! Allah adalah Maula-ku (maula: tuan) dan aku adalah Maula orang yang beriman dan aku memiliki hak yang lebih atas hidup mereka. Dan inilah Ali Maula bagi mereka yang menjadikanku Maula. Ya Allah! Cintailah orang yang mencitainya dan bencilah orang yang membencinya.”

[2] VY'yMD ML'aK YHVH BMSh'yVL HKUrMYM GDUr MZH VGDUr MZH. (Bilangan 22:24 dalam transliterasi dari Ibrani)

[3] Ayub 19:8 :'aUrChY GDUr VL'a 'a'yBVUr V'yL NThYBVThY ChShK YShYM. (transliterasi dari Ibrani); “He hath fenced up my way that I cannot pass, and he hath set darkness in my paths.” (KJV); Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. (LAI)

[4] VYLKV LMBV'a GDUr 'yD LMZUrCh HGY'a LBQSh MUr'yH LTSh'aNM. (1 Tawarikh 4:39 dalam transliterasi dari Ibrani)

[5] KY-'yBDYM 'aNChNV VB'yBDThNV L'a 'yZBNV 'aLHYNV VYT-'yLYNV ChSD LPhNY MLKY PhUrS LThTh-LNV MChYH LUrVMM 'aTh-BYTh 'aLHYNV VLH'yMYD 'aTh-ChUrBThYV VLThTh-LNV GDUr BYHVDH VBYUrVShLM. (Ezra 9:9 dalam transliterasi dari Ibrani)

[6] VBNV MMK ChUrBVTh 'yVLM MVSDY DVUr-VDVUr ThQVMM VQUr'a LK GDUr PhUrTSh MShBB NThYBVTh LShBTh. (Yesaya 58:12 dalam transliterasi dari Ibrani)

[7] Dalam bahasa Inggris klasik kata ganti ye dapat diaplikasikan, baik kepada orang kedua tunggal maupun jamak. Sebaliknya, kata ganti thou hanya dapat diaplikasikan kepada ‘orang kedua tunggal’—peny.)

[8] Kata al-Ghadîr di sini merujuk kepada sebuah danau yang berjarak 3 mil dari al-Juhfa. Di tempat inilah Muhammad saw dan para sahabatnya diriwayatkan berhenti dalam perjalanan pulang mereka dari Mekkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di sini pulalah, Muhammad saw menyampaikan khotbah terakhirnya.

[9] L'a 'yLYThM BPhUrTShVTh VThGDUrV GDUr 'yL-BYTh YShUr'aL L'yMD BMLChMH BYVM YHVH. (Yehezkiel 13:5 dalam transliterasi dari Ibrani)

[10] V'aBQSh MHM 'aYSh GDUr-GDUr V'yMD BPhUrTSh LPhNY B'yD H'aUrTSh LBLThY ShChThH VL'a MTSh'aThY. (Yehezkiel 22:30 dalam transliterasi dari Ibrani)

[11] 'yD-'aNH ThHVThThV 'yL 'aYSh ThUrTShChV KLKM KQYUr NTVY GDUr HDChVYH. (Mazmur 62:3 dalam transliterasi dari Ibrani)

[12] 'aShUrY-H'aYSh 'aShUr L'a HLK B'yTShTh UrSh'yYM VBDUrK ChT'aYM L'a 'yMD VBMVShB LTShYM L'a YShB. (Mazmur 1:1 dalam transliterasi dari Ibrani); [“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.”] (Mazmur 1:1 dalam terjemahan Alkitab versi LAI)

[13] ChPhUr GVMTSh BV YPhVL VPhUrTSh GDUr YShKNV NChSh. (Pengkhotbah 10:8 dalam transliterasi dari Ibrani)
* Dikutip dari Thomas McElwain, 2006, The London Lectures, Penerbit Citra: Jakarta

Senin, 01 Desember 2008

Mengenal Agen Mossad Dalam Gerakan Islam

Risalah Mujahidin Edisi 7 Th I Rabiul Awal 1428 H / April 2007 M, hal. 42-46
Lihat catatan redaksi *)
imageFAKTA ini tentu amat mengejutkan, bahkan sulit dipercaya. Betapa kelompok Salafy yang selama ini dikenal sebagai kelompok Islam yang berdakwah untuk Ihyaus Sunnah (menghidup-hidupkan sunnah Nabi SAW), gerakan dakwah mereka ternyata didanai oleh jaringan intelejen Israel, Mossad. Tujuannya untuk menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan kaum Muslim.

Badan intelejen Palestina mengijinkan harian Al-Hayat dan Televisi Libanon, LBC, untuk mewawancarai orang-orang Palestina yang menjadi agen Mossad, dan sekarang ditawan oleh pemerintah Palestina. Mereka telah menyebabkan terbunuhnya sejumlah Mujahidin. Dalam sebuah wawancara, salah seorang agen mengungkapkan cara perekrutan mereka serta peranan yang mereka lakukan dalam memantau para mujahidin dan memicu fitnah lewat perselisihan, perpecahan, dan kebencian demi merealisasikan kepentingan strategis Zionisme.

Wawancara ini diterbitkan oleh tabloid An-Nas nomor 127 mengutip harian Al-Hayat yang terbit di London dan juga ditayangkan televisi LBC. Tabloid Al-Basya’ir kembali menyiarkan wawancara tersebut mengingat pentingnya fakta-fakta yang diungkapkan oleh agen ini. Wawancara di bawah ini, yang diterjemahkan oleh Jati Utomo Dwi Hatmoko, M.Sc. , mahasiswa Structural Engineering and Construction Management University of Newcastle Upon Tyne United Kingdom, dan dikutip dari Hidayatullah.com, laporan Bahrum A. Rambe. Berikut hasil wawancara dimaksud:

Wartawan: Bagaimana para zionis itu dapat memperalat anda untuk kepentingan mereka dalam konspirasi dan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara anda?

Agen: Awalnya saya membaca iklan di koran lokal tentang adanya pusat studi strategis kemasyarakatan yang bertempat di Singapura, mereka membutuhkan reporter di Tepi Barat untuk melakukan studi sosial dan publisistik tentang lingkungan, kemiskinan, dan lain-lain.

Lalu saya kirim biodata dan ijazah saya. Setelah dua pekan, datang balasan penerimaan saya di lembaga tersebut yang ternyata dikendalikan oleh intelejen zionis Mossad, dan dilaksanakan oleh orang-orang Palestina yang bekerja sama dengan zionisme untuk merekrut orang Arab Palestina dengan cara jahannam yang tidak terpikir oleh siapapun.

Mereka meminta kepada saya untuk menyiapkan laporan kemasyarakatan strategis. Mereka memberi imbalan uang yang cukup banyak. Dari situ, Pusat Studi Strategis palsu itu meminta tambahan laporan-laporan sensitif. Dan saya memenuhinya dengan teratur. Dengan memperhatikan permintaan-permintaan mereka saya mengetahui bahwa lembaga ini ada di bawah Mossad. Tapi saya tidak bisa mundur karena saya sudah memberi laporan-laporan yang sangat sensitif tentang keamanan nasional, tokoh-tokoh Mujahidin, posisi tempat tinggal mereka, dan keberadaan mereka. Informasi ini memudahkan mereka untuk membunuh para Mujahidin terbaik dari Hamas dan Jihad Islami.

Kondisi berkembang sedikit demi sedikit sampai permainan ini tersingkap, mereka memberi kepada saya lisensi untuk menemui orang-orang penting di Tel Aviv. Di sana mereka menyambut saya di sebuah hotel bintang lima. Mereka memberi saya seluruh sarana kenikmatan, tapi ternyata mereka merekam saya ketika berada dalam kondisi memalukan dengan seorang wanita. Hal ini sebagai salah satu cara mereka untuk memperbudak dan mengendalikan saya di kemudian hari.

Dari sini pekerjaan menjadi lebih akurat. Mereka melatih saya seluruh dasar kerja intelejen. Dan komunikasi kami lewat internet, mengirim informasi lewat telepon seluler yang mereka berikan. Dari sini saya mulai mengumpulkan informasi yang paling akurat dan vital tentang tokoh-tokoh intifadhah secara rutin. Posisi saya sebagai reporter, membuat saya dapat bergabung dengan seluruh unsur Mujahidin.

Saya mendapatkan informasi yang sangat penting karena saya dianggap sebagai pejuang. Karena kedekatan saya dengan para pemimpin perlawanan dan pantauan saya terhadap posisi gerakan dan tempat tidur mereka saya telah memudahkan banyak pembunuhan melalui pesawat, penangkapan malam hari atau dengan menembak kendaraan. Dan saya telah merekrut banyak orang untuk kepentingan zionis dengan upah rendah tidak lebih dari 1500 chikel per bulan.

Wartawan: Kami mengetahui bahwa anda dapat mengintervensi beberapa jamaah Islamiyyah, bagaimana itu?

Agen: Sesungguhnya zionis sudah memanfaatkan kepolosan dan ketidak hati-hatian orang-orang Palestina. Kami ditugaskan membuat beberapa situs dengan nama: Palestine Islamiyyah, al-Jihad al-Muqaddas, Tahrir al-Quds, Syababul Intifadhah, dan lain-lain. Dengan situs-situs ini kami berhubungan dengan banyak anak muda yang memiliki semangat jihad. Kami janjikan kepada mereka untuk membiayai mereka dengan uang dan senjata, dengan menyebutkan bahwa dana tersebut bersumber dari orang-orang kaya dari Teluk dan aktivis Islam di Mesir, Yordan dan Kuwait.

Begitulah, kami dapat menembus banyak mata rantai Mujahidin dan merasuk ke dalam tubuh mereka dengan mengatasnamakan Islam dan jihad. Dan yang lebih berbahaya, kami dapat memperalat orang-orang yang bersemangat tinggi, khususnya orang-orang Salafiy untuk menyebarkan buku-buku yang menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat Islam. Buku-buku ini, sebenarnya dicetak dan dibiayai dengan biaya dari Mossad untuk membuat pertempuran marginal antara aktivis Islam, khususnya antara Syi’ah dan Sunnah di Palestina, Pakistan, Yaman, dan Yordan.

Puluhan judul buku-buku yang menyerang Syi’ah dengan cara menjijikkan, dan buku lain yang menyerang Sunnah, sudah dicetak. Dan dimanfaatkan juga orang-orang yang fanatik dari kedua belah pihak, setelah diyakinkan bahwa buku-buku tersebut dicetak oleh para dermawan Teluk dengan cetakan lux. Selebihnya, pekerjaan akan dilakukan oleh mereka yang teripu dari kelompok fanatik Sunnah seperti Salafiyyin dan lain-lain. Tujuan utama dari pencetakan dan penyebaran buku ini, adalah menimbulkan fitnah dan kebencian serta saling mengkafirkan antarpihak dan menyibukkan mereka dengan pertarungan sampingsan sesama mereka, agar Israel dapat merealisasikan tujuannya, yaitu menghancurkan Islam, menelan tanah air, menghapus identitas generasi muda melalui penyebaran dekadensi moral, atau menggunakan orang-orang yang tersingkir di luar kehidupan, fanatik dan keras kepala. Hati mereka penuh dengan kebencian terhadap saudara mereka sesama Muslim, baik Sunnah atau Syi’ah.

Dalam hal ini, jaringan Mossad telah cukup sukses menjalankan missinya. Anda dapat melihat kira-kira semua masjid dan perkumpulan anak muda di Yaman, Pakistan, dan Palestina tenggelam dengan buku-buku ini, yang dicetak dan dibagikan secara gratis; yang dikesankan seolah-olah dibiayai dari kocek para donatur kaya Arab Saudi, padahal Mossad ada di belakang semua ini. Sayang sekali, banyak orang-orang yang tidak menyadari, termasuk para imam masjid, khatib-khatib, dan da’i-da’i yang menyibukkan diri secara ikhlas dan serius dengan menyebarkan buku-buku beracun minimal bisa dikatakan buku-buku lancang dan fitnah. Fitnah lebih berbahaya dari pembunuhan. Karena pikiran mereka sempit, maka mereka tidak berpikir tentang tujuan sebenarnya dari penyebaran buku-buku ini, yang meniupkan kebencian, perpecahan dan fitnah khususnya hari-hari belakangan ini.

Buku-buku ini telah mulai menuai pengaruhnya di Pakistan. Orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Ahlu Sunnah wal jama’ah, membentuk Tentara Shahabat dan menyerang kaum Syi’ah dalam ritual dan rumah-rumah, membunuh mereka ketika shalat Shubuh.

Sebuah pembantaian ganas yang menyedihkan meninggalkan ribuan mayat. Di lain pihak membentuk Tentara Muhammad bereaksi dengan balasan yang lebih keras, ratusan orang terbunuh di kedua belah pihak tiap bulan. Pembantaian berdarah, kedengkian, membuat-buat pertempuran sampingan, fitnah yang berbahaya dengan pahlawan Khawarij zaman sekarang, dimanfaatkan oleh Mossad untuk menyulut fanatisme, pengkafiran, pembunuhan, untuk melemahkan negara Islam pertama yang memiliki bom atom, Pakistan.

Sedangkan rencana mereka di Yaman, sampai saat ini pekerjaan masih berjalan dengan serius dan hasilnya sebentar lagi akan bisa dilihat. Namun sangat disayangkan, khusus tentang pemicu fitnah di Palestina, seluruh tujuan tidak tercapai seperti di Pakistan dan Yaman.

Wartawan: Sekarang apakah anda menyesal? Di mana mata hati anda ketika anda menunjukkan tempat-tempat persembunyian tokoh-tokoh perlawanan kepada zionis, agar dibunuh dengan keji beserta keluarga mereka dengan pesawat Apache dan roket-roket mereka?

Agen: Apalah gunanya penyesalan. Saya merasa sedih ketika mereka memusnahkan sebuah bangunan beserta penghuninya hanya untuk membunuh salah seorang Mujahidin yang dicari, di mana operasi ini menyebabkan terbunuhnya 17 anak kecil dan wanita juga sang Mujahid yang dicari. Sayalah penyebabnya, sungguh sayang. Karena itu, saya berhak dihukum dengan hukuman yang diputuskan pengadilan, yaitu eksekusi.

Mengenal Gerakan Agen Mossad
Semangat menghidupkan sunnah Nabi SAW di satu segi, dan memposisikan gerakan Islam di luar komunitasnya sebagai bid’ah, khawarij, dan tuduhan lain yang jauh dari kesan Islami; tanpa dibarengi dengan wawasan ilmu, pemahaman syari’ah dan siyasah secara memadai, membuat mereka mudah diprovokasi dan diperalat musuh-musuh Islam. Banyak gerakan Islam, dalam melawan zionisme dan hegemoni AS, justru diperalat oleh musuh dengan mengusung doktrin zionis tanpa disadari, sehingga mudah dihancurkan.

Penting bagi aktivis Islam untuk mengenal di antara karakteristik ormas, orpol, maupun gerakan Islam, yang kadangkala tanpa disadari menjadi alat musuh untuk menghancurkan Islam. Berdasarkan kajian dan pengalaman karakteristik mereka itu dapat dikenali antara lain:
  1. Mendukung kekuasaan rezim yang zhalim secara apriori, selama penguasa tersebut masih melakukan shalat. Alasannya, karena Nabi memerintahkan taat kepada penguasa Muslim yang masih shalat sekalipun berbuat durhaka atau zhalim. “Enam puluh tahun di bawah penguasa zhalim, lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin,” kata mereka. Sementara mereka mengabaikan ayat Al-Qur’an yang melarang membantu orang-orang zhalim yang berkhianat kepada Allah dan rasul-Nya.


  2. Mengklaim pahamnya paling benar tanpa mau diajak dialog mendengarkan hujjah dari pihak Muslim yang dikategorikan sesat.


  3. Mengajak umat untuk menjauhi politik, dan memfokuskan diri dalam aqidah dan ibadah dalam pengertian sempit.


  4. Gemar mengabaikan hujjah lawan sekalipun hujjah itu dari Al-Qur’an dan hadits shahih hanya karena hujjah tersebut tidak berasal dari syeikh-nya.


  5. Mempersempit sumber-sumber pemahaman agama, dan hanya menerima dari ulama panutannya atau pemahaman dari kelompoknya sendiri secara terbatas, dengan menganggap pemahaman jalur lain sebagai bid’ah.


  6. Sangat mengecam perilaku yang dikategorikan tasabbuh dengan golongan kafir dan musyrik. Tapi, mengikuti cara berpikir dan kepemimpinan golongan zionis dengan menempatkan pendapat ulama panutannya melebihi Al-Qur’an dan hadits.


  7. Menampilkan identitas tertentu untuk membedakan diri dengan kelompok lain secara fanatik sebagaimana halnya dengan sekte-sekte di lingkungan Yahudi dan Kristen.


  8. Mengambil ajaran agama dengan mengutamakan hal-hal yang bersifat personal dan keluarga, tapi mengabaikan masalah kenegaraan dan jihad. Hal ini sejalan dengan doktrin Kristen: “Berikan hak Kaisar kepada Kaisar, dan hak Tuhan kepada Tuhan.”


  9. Sangat membenci, bahkan memusuhi gerakan Islam yang menuntut pemberlakuan Syari’ah Islam secara kaffah, terutama ajaran amar makruf nahyu mungkar dan jihad.

Jumat, 28 November 2008

Disertasi tentang Almarhum Ustadz Husein Al-Habsyi


ustadzhusein

Disertasi Bapak Muhammad Tamimi, berjudul “Habib Husein al-Habsyi dan Perannya dalam Perkembangan Syiah di Bangil” baru saja dinyatakan lulus dalam ujian pendahuluan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Ustadz Husein Al-Habsyi lahir di Surabaya pada tanggal, 21 April 1921 M. Pada usia yang masih belia beliau sudah harus berjuang sendiri karena ditinggal wafat orang tuanya. Ayah beliau adalah Sayid Abu Bakar Al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan dengan Sayid Ali Al-‘Uraidy putra Imam Ja’far Shodiq a.s. Selanjutnya beliau diasuh, dididik dan ditempa oleh pamannya yang ‘Alim dan wara’, yakni Ustadz Muhammad Baraja’.

Beliau masuk pendidikan dasar di Madrasah Al-Khairiyah, sebuah lembaga pendidikan diniah tertua di Surabaya. Pada umurnya 10 tahun beliau sudah aktif mengikuti pengajian rutin yang membahas masalah-masalah fikih, tauhid dan lainnya. Setelah lulus, beliau mengajar di Madrasah tersebut bersama kakaknya, Ustadz Ali Al-Habsyi, yang kemudian bersama-sama hijrah ke Pinang Malaysia. Beliau pernah berguru kepada Ust. Abdul Qadir Balfaqih (seorang ulama besar dan ahli hadis), Syekh Muhammad Robah Hassuna (seorang ulama dari Qolili, Palestina yang berkhidmat mengajar di madrasah Al Khairiyah), Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad (seorang mufti kerajaan Johor Baru, Malaysia), Sayid Muhammad Muntasir Al-Kattani (Ulama’ Maghribi, Maroko), dll.

Di Johor beliau juga mengajar di madrasah Al-Aththas dalam kurun waktu yang cukup lama. Berbagai peristiwa politik semasa penjajahan Inggris atas semenanjung Malaysia memaksa beliau untuk meninggalkan negeri tersebut dan kembali ke kampung halamannya di Surabaya .

Sepulang dari Malaysia, Ustadz Husein Al-Habsyi memulai aktifitas dakwah dan banyak berkecimpung di dunia politik. Dalam menapaki jenjang karirnya, beliau sempat menduduki kepengurusan teras bersama DR. M. Natsir dalam Partai Syuro Muslimin Indonesia. Bahkan, beliau terpilih sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia.

Sekian lama setelah beliau tidak aktif dalam partai, Ustadz Husein mulai berpikir bahwa perjuangan Islam lebih “absah” melalui pendidikan agama bukan “politik praktis”. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam.

Pada tahun 1970 beliau mendirikan Pondok Pesantren di kota Bondowoso Jatim. Keberadaan beliau di Bondowoso membawa banyak pengaruh bagi perkembangan pendidikan masyarakat di sekitarnya. Setelah dari Bondowoso, karena berbagai hal, akhirnya beliau hijrah ke Bangil. Dan akhirmya membuka Pesantren-Putra di Kenep-Beji, Pesantren-Putri, dan TK di Kota Bangil. Dari kehidupan beliau, hampir seluruh Waktu, tenaga dan pikirannya beliau tercurah untuk kemajuan para santri. Selain mengawasi jalannya seluruh perkembangan di Pesantren, beliau juga mengajar para santri dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Bahasa Arab, Ushul Fikih, Tafsir, Tauiyah, dan lain-lain. Metode pembelajaran beliau pun mampu membuahkan hasil yang luar biasa bagi anak didiknya. Hal tersebut terlihat dari alumni-alumni yang mampu tampil sebagai tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain mereka juga dapat dengan mudah melanjutkan pendidikan di berbagai pendidikan tinggi di luar negeri seperti; Mesir, Pakistan, India, Qatar, Saudi Arabiyah dan negara-negara timur tengah lainnya.

Dalam ceramahnya ustadz Husein Al-Habsyi, baik di hadapan santri maupun di hadapan kaum muslimin selalu menekankan akan pentingnya persatuan kaum muslimin, toleransi antar mazhab, menekankan kebebasan berfikir.

Untuk tujuan dakwah, Ustadz Husein Al-Habsyi telah meluangkan banyak waktunya untuk mengadakan safari dakwah dengan menyisir daerah-daerah terpencil kaum muslimin, seperti Sorong, pedalaman Ambon, beberapa daerah di Kalimantan, dan Sulawesi dan Sumatera. Bahkan, di masa akhir hayatnya beliau juga menyempatkan pergi ke negeri Jiran demi meniupkan ruh keterbukaan dan semangat da’wah Islam.

Fitnah demi fitnah dilontarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai beliau dan misi Islam yang sedang beliau perjuangkan. Sehingga tidak jarang beliau harus berhadapan dengan penguasa pada zaman itu sampai dijebloskan ke dalam penjara. Namun semua itu beliau hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan, dan ruh tawakkal yang luar biasa.

Setelah berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri demi Islam dalam dunia pendidikan dan dakwah, beliau memenuhi panggilan Ilahi pada hari Jum’at 2 Sya’ban 1414/14 Januari 1994 di rumah beliau. Beliau dimakamkan pada hari Sabtu 3 Sya’ban 1414/15 Januari 1994 di belakang Masjid Tsaqalain yang terletak di komplek Pesantren Putra “Al-Ma’hadul Islami” YAPI, Desa Kenep Beji Pasuruan.

Kamis, 27 November 2008

Misteri Kehidupan Rumah Tangga Rasulullah saw



Keluarga sakinah adalah idaman setiap manusia. Tapi tidak jarang dari
mereka menemukan jalan buntu, baik yang berkecupan secara materi
maupun yang berkekurangan. Apa sebenarnya rahasianya? Mengapa
kebanyakan manusia sulit menemukannya? Mengapa sering terjadi
percekcokan dan pertengkaran di dalam rumah tangga, yang kadang-kadang
akibatnya meruntuhkan keutuhan rumah tangga?

Padahal Allah swt menyebutkan perjanjian untuk membangun rumah tangga
sebagai perjanjian yang sangat kuat dan kokoh yaitu “Mîtsâqan
ghalîzhâ. Allah swt menyebutkan kalimat “Mîtsâqan ghalîzhâ hanya dalam
dua hal: dalam membangun rumah tangga, dan dalam membangun missi
kenabian. Tentang “Mîtsâqan ghalîzhâ dalam urusan rumah tanggah
terdapat dalam surat An-Nisa’: 21. Adapun dalam hal missi kenabian
terdapat dalam surat An-Nisa’: 154, tentang perjanjian kaum nabi Musa
(as); dan dalam surat Al-Ahzab: 7, tentang perjanjian para nabi: Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa (as).

Bangunan rumah tangga bagaikan bagunan missi kenabian. Jika bangunan
runtuh, maka maka runtuhlah missi kemanusiaan. Karena itu Rasulullah
saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah murkai adalah
perceraian.” Sebenarnya disini ada suatu yang sangat rahasia. Tidak
ada satupun perbuatan halal yang paling dimurkai Allah kecuali
perceraian.

Mengapa ini terjadi dalam perceraian? Tentu masing-masing kita punya
jawaban, paling tidak di dalam hati dan pikiran. Dan saya tidak akan
menjawab masalah ini, perlu pembahasan yang cukup rinci dan butuh
waktu yang cukup lama. Tentu perlu farum tersendiri.

Keluarga sakinah sebagai idaman setiap manusia tidak mudah diwujudkan
sebagaimana tidak mudahnya mewujudkan missi kenabian oleh setiap
manusia. Perlu persyaratan-persyaratan yang ketat dan berat. Mengapa?
Karena dua persoalan ini bertujuan mewujudkan kesucian. Kesucian
berpikir, mengolah hati, bertindak, dan generasi penerus ummat
manusia.

Karena itu dalam bangunan rumah tangga, Allah swt menetapkan hak dan
kewajiban. Maaf saya mau pinjam istilah AD/ART. Bangunan yang lebih
kecil missinya dari bangunan rumah tangga punya AD/ART, vissi dan
missi. Bagaimana mungkin bangunan yang lebih besar tidak punya AD/ART,
Vissi dan Missi bisa mencapai tujuan? Tentu AD/ART, Missi dan Missi
dalam rumah tangga, menurut saya, tidak bisa dibuat berdasarkan
mu’tamar atau kongres atau musyawarah seperti layaknya organisasi
umumnya.

Dalam hal rumah tangga kita jangan coba-coba buat AD/ART sendiri,
pasti Allah swt tidak ridha dan murka. Karena itu Allah swt menetapkan
hak dan kewajiban dalam bangunan rumah tangga. Tujuannya jelas
mengantar manusia pada kebahagiaan, sakinah, damai dan tenteram sesuai
dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Menurut pemahaman saya, tidak cukup AD/ART itu dalam bentuk tek dan
buku, perlu sosok contoh yang telah mewujudkan AD/ART itu. Siapa
mereka? Ini juga perlu farum khusus untuk membahasnya secara detail
dan rinci. Tapi sekilas saja saya ingin mengantarkan pada diskusi
contoh keteladanan rumah tangga yang telah mewujudkan keluarga
sakinah. Dan ini tidak akan terbantah oleh semua kaum muslimin. Yaitu
rumah tangga Rasulullah saw dengan Sayyidah Khadijah Al-Kubra (sa),
dan rumah tangga Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dengan Sayyidah Fatimah
Az-Zahra’ (sa).

Disini sebenarnya ada hal yang sangat menarik dikaji, khususnya bagi
kaum wanita dan kaum ibu. Apa itu? Fakta berbicara bahwa Rasulullah
saw banyak dibicarakan oleh kaum laki-laki bahwa beliau contoh
poligami, kemudian mereka melaksanakan dengan dalil mencontoh
Rasulullah saw. Tapi kita harus ingat kapan Rasulullah saw
berpoligami? Dan mengapa beliau melakukan hal ini?

Fakta sejarah berbicara bahwa Rasulullah saw tidak melakukan poligami
selama beliau
berdampingan dengan Sayyidah Khadijah sampai ia meninggal. Mengapa?
Kalau alasannya perjuangan. Bukankah di zaman dengan Khadijah beliau
tidak berjuang? Justru saat-saat itu perjuangan beliau sangat berat.

Dimanakah letak persoalannya? Lagi-lagi menurut saya, pribadi Khadijah
yang luar biasa, sosok seorang isteri yang benar-benar memahami jiwa
dan profesi suaminya. Sehingga Rasulullah saw tidak pernah melupakan
pribadi Khadijah walaupun sudah meninggal, dan disampingnya telah ada
pendamping wanita yang lain bahkan tidak satu isteri.

Kaum wanita khususnya kaum ibu, kalau ingin membangun keluarga sakinah
harus mempelajari sosok kepribadian Sayyidah Khadijah (sa), supaya
suaminya tidak mudah terpikat hatinya pada perempuan yang lain.

Sekarang tentang keluarga Imam Ali dengan Fatimah Az-Zahra (sa).
Sejarah bercerita pada kita bahwa Rasulullah saw sangat menyukai rumah
tangga puterinya dengan kehidupan sederhana bahkan sangat sederhana.
Saking sederhananya, hampir-hampir tidak mampu dijalani oleh
ummatnya, khususnya sekarang. Sama dengan Rasulullah saw, Imam Ali bin
Ab Thalib (sa) selama berdampingan dengan Fatimah puteri Nabi saw
beliau tidak berpoligami. Beliau berpoligami setelah Fatimah Az-Zahra’
wafat. Ada apa sebenarnya dengan dua sosok wanita ini, sepertinya
mereka dapat mengikat laki-laki tidak kawin lagi?

Apakah Rasulullah saw dan Imam Ali (sa) takut pada isterinya? Tentu
jawabannya tidak. Mereka tidak pernah takut dan gentar dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan. Lalu mengapa mereka tidak
berpoligasi saat itu? Di sinilah terdapat misteri kehidupan rumah
tangga yang perlu kita gali butiran dan mutiara hikmahnya.

Perempuan sumber sakinah
Perempuan adalah sumber sakinah bukan laki-laki. Mari kita perhatikan
firman Allah swt:

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kalian
isteri dari species kalian agar kalian merasakan sakinah dengannya;
Dia juga menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.
Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berpikir.” (Ar-Rûm: 21).

Dalam ayat tersebut terdapat kalimat “Litaskunû”, supaya kalian
memperoleh atau merasakan sakinah. Jadi sakinah itu ada pada diri dan
pribadi perempuan. Laki-laki harus mencarinya di dalam diri dan
pribadi perempuan. Tapi perlu diingat laki-laki harus menjaga sumber
sakinah, tidak mengotori dan menodainya. Agar sumber sakinah itu tetap
terjaga, jernih dan suci, tetap mengalir pada kaum bapak juga anak-
anak sebagai anggota rumah tangga, dan gerasi penerus.

Kita bisa belajar dari fakta dan realita. Kaum isteri yang sudah
ternoda mata air sakinahnya berdampak pada anak-anaknya sebagai
penerus ummat Rasulullah saw. Siapa yang paling berdosa? Jelas yang
mengotori dan menodainya.

Merayakan Lebaran di Idul Ghadir


1.jpgHari ini, 18 Dzul-Hijjah kaum Muslimin merayakan sebuah hari raya, bahkan merupakan hari raya terbesar di antara hari-hari raya Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Qurban. Hari itu adalah hari imamah, khilafah dan hari kesempurnaan agama dan kemanusiaan. Hari dimana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dinobatkan sebagai imam dan khalifah kaum Muslimin pasca Rasulullah Saw. Hari itu sepanjang perjalanan sejarah kaum Muslimin dikenal sebagai hari Ghadir.

Apabila Ghadir bermakna kembalinya ingatan pada perubahan besar dalam sejarah umat manusia, di tengah budaya kaum Muslimin, hari Ghadir layak untuk diperingati sebagai hari raya akbar umat manusia khususnya bagi kaum Muslimin.

Lantaran perubahan besar dalam sejarah umat manusia berlangsung pada hari ini. Dan sebagaimana kita mendengar dari lisan riwayat, bahwa pada hari ini kesempurnaan agama dan kebahagiaan manusia telah distempel dan dijamin.

Seluruh agama-agama samawi, sebagai pendahulu agama Islam telah sempurna pada hari Ghadir. Dan Tuhan semesta alam (Rabbul ‘Alamin) telah rela dengan agama Islam.

﴿اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي

وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلامَ ديناً﴾

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)[1]

Dan tidak satu pun peristiwa yang lebih signifikan melebihi sempurnanya agama pada kehidupan manusia. Dan oleh sebab itu, tidak ada hari yang lebih layak untuk diperingati dan dimeriahkan melebihi hari Ghadir.

Dan persis dengan alasan yang sama, Rasulullah Saw pada hari ini ia umumkan sebagai hari ied dan meminta kepada kaum Muslimin untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya.

Rasulullah Saw bersabda:

هنئوني ، هنئوني إن الله تعالى خصني بالنبوة

وخصَّ أهل بيتي بالإمامة

“Berikan ucapan selamat kepadaku, berikan ucapan selamat kepadaku. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepadaku kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imamah) kepada keluargaku.”[2]

Dan ia juga bersabda:

يوم الغدير أفضل أعياد أمتي وهو اليوم الذي أمرني الله تعالى ذِكره

بنصب أخي علي بن أبي طالب عَلَماً لأمتي يهتدون به من بعدي

وهو اليوم الذي أكمل الله فيه الدين وأتم على

أمتي فيه النعمة ورضي لهم الإسلام ديناً

Hari Ghadir merupakan hari ied yang paling afdhal. Pada hari itu, Allah Swt menugaskan kepadaku untuk memperingatinya dengan melantik saudaraku ‘Ali ibn Abi Thalib bagi umatku; sehingga selepasku mereka menemukan hidayah. Allah Swt menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat bagi umatku pada hari itu dan ridha Islam sebagai agama merekanya.”[3]

Oleh karena itu, memperhatikan hari Ghadir sebagai salah satu hari ‘ied dalam Islam memiliki akar pada masa Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw mengumumkan pada hari itu sebagai hari ‘ied dan ia pada hakikatnya merupakan pencetus hari ‘ied ini.

Selepas Rasulullah Saw, para imam maksum sangat memberikan perhatian khusus terhadap hari Ghadir sebagai hari ‘ied.

Amirul Mukminin ‘Ali As pada hari Ghadir yang bertepatan dengan hari Jum’at menyampaikan khutbah. Dan khutbah tersebut adalah sebagai berikut:

“Semoga Allah Swt merahmati kalian! Hari ini bagikanlah kepada keluarga kalian uang belanja. Dan bersikap santunlah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat ini kepada kalian. Senantiasalah kalian bersama sehingga Allah Swt mengumpulkan orang-orang yang berpisah di antara kalian. Berbuat baiklah kepada sesama kalian, sehingga Allah Swt mendatangkan rahmat dengan keakraban dan perkumpulan ini.

Dan demikianlah Allah Swt menganugerahkan nikmat kepada kalian, ganjaran atas ‘ied hari ini dilipatgandakan atas hari-hari ied yang lain. Dan di antara nikmatnya adalah bahwa sesama kalian hendaknya saling membimibng. Berbuat baik pada hari ini akan memperbanyak rizki dan memanjangkan usia. Bersikap pemurah pada hari ini akan mendatangkan cinta dan kasih Tuhan.”[4]

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa khilafah Amirul Mukminin ‘Ali As banyak di antara sahabat Rasulullah Saw ikut hadir dalam perayaan Ghadir. Dan mereka mendengar sabda Imam ‘Ali ini; apabila ‘ied tidak pasti bagi mereka, niscaya mereka akan menyampaikan protes.

Selepas Amirul Mukminin As, sejauh yang dapat direkam oleh para perawi, para imam maksum sangat memberikan perhatian terhadap hari ‘Ied ini. Mereka merayakan dan memeriahkan hari tersebut. Pada hari ini mereka menunaikan puasa. Dan mereka meminta kepada para sahabat dan kerabatnya untuk menunaikan puasa juga sebagaimana mereka.

Tsiqâtul Islâm Kulaini dalam al-Kâfi, yang meriwayatkan dari Salim:

Aku berkata kepada Imam Shadiq As: “Apakah kaum Muslimin memiliki hari ‘ied selain hari Jum’at, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha?”

Ia bersabda: “Iya, ‘Idul akbar (hari raya yang paling besar).”

Aku bertanya lagi: “Hari apa itu wahai Imam?”

Imam bersabda: “Hari tatkala Rasulullah Saw menetapkan wilâyah Amirul Mukminin As dan bersabda: “Man kuntu mawlahu, fa ‘Aliyun mawlahu.”[5]

Dan juga diriwayatkan dari Hasan ibn Rasyid yang mengajukan pertanyaan kepada Imam Shadiq As. Ia berkata: “Semoga diriku menjadi tebusanmu wahai Imam! Apakah kaum Muslimin memiliki ‘ied selain ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha?”

Imam bersabda: “Iya. Lebih besar dan lebih utama dari keduanya.”

Aku berkata: “Hari apakah itu wahai Imam?”

Imam bersabda: “Hari ketika wilâyah Amirul Mukminin ‘Ali As ditetapkan.”

Aku berkata: “Semoga diriku menjadi tebusanmu!” Pada hari ini, apa yang harus kami lakukan?”

Imam As bersabda: “Berpuasa dan bershalawat ke atas Nabi Saw dan keluarganya. Tunjukanlah rasa penyesalan dari orang-orang yang engkau tindas. Para nabi Ilahi memerintahkan kepada para khalifah mereka bahwa pada hari penetapan khalifah dirayakan sebagai hari ‘ied.”

Aku berkata: “Apa ganjaran bagi orangyang mengerjakan puasa pada hari ini?”

Imam As bersabda: “Ganjarannya adalah sebanding dengan enam ratus bulan berpuasa.”[6]

Demikian juga, Furat ibn Ibrahim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa Imam Shadiq As ditanya: “Apakah kaum Muslimin memiliki ‘ied yang lebih utama daripada ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari Jum’at dan hari ‘Arafah?”

Imam As bersabda: “Iya. Lebih utama, lebih mulia dan lebih besar dari seluruh ied di sisi Allah. Dan hari itu adalah hari dimana Allah Swt menyempurnakan agama-Nya, dan menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya:

﴿اَلْيَوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَليكُم نِعْمَتي

وَرَضِيتُ لَكُم الِإسْلامَ ديناً﴾

Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)

Seorang perawi berkata: “Hari apakah itu?”

Imam bersabda: “Para Nabi Bani Israel tatkala menetapkan khalifah dan pengganti mereka, mereka merayakannya sebagai hari ied. Dan hari ‘ied untuk kaum Muslimin adalah hari dimana Rasulullah Saw menetapkan wilayah Imam ‘Ali As. Dan pelbagai ayat turun berkaitan dengannya, dan menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat-Nya atas kaum Mukminin.”[7]

Demikian juga, ia bersabda: “Hari ini adalah hari ibadah, hari shalat dan hari memanjatkan syukur. Lantaran Allah Swt telah menganugerahkan nikmat wilâyah kami kepada kalian. Aku ingin engkau laksanakan puasa pada hari ini.”[8]

Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Fayyadh ibn Muhammad ibn ‘Umar Thusi, bahwa ia datang menghadap Imam Ridha As.

Aku melihat Imam sedang menjamu para sahabatnya dengan ifthâr (buka puasa) di rumahnya. Dan ia mengirimkan kepada mereka beragam hadiah berupa pakaian dan bahkan sepatu dan cincin. Di kediamannya, terdapat suasana yang berbeda.

Aku melihat para pembantu Imam memperbaharui semua yang mereka punyai dan bahkan temasuk peralatan-peralatan yang mereka gunakan sehari-hari.

Imam As menyampaikan khutbah tentang kemuliaan dan keutamaan hari itu kepada para hadirin.[9]

Terlepas dari itu, yang dapat kita manfaatkan dari catatan sejarah bahwa kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah yang berbeda memeriahkan dan merayakan hari Ghadir.

Abu Raihan Biruni dalam kitab al-Âtsar al-Bâqiyah menulis:

“Hari kedelapan belas merupakan hari raya (‘Ied) Ghadir Khum. Dan nama itu merupakan nama sebuah tempat dimana Rasulullah Saw selepas Hajjatul Wida’ berhenti dan mengumpulkan perlengkapan unta-unta dan mengambil lengan ‘Ali ibn Abi Thalib As. Kemudian ia menaiki mimbar (tumpukan kumpulan perlengkapan unta, AK) dan bersabda: “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka ‘Ali adalah mawlanya.”[10]

Dan Mas’ud dalam kitabnya at-Tanbih wa al-Asyrâf menulis:

“Putra-putri ‘Ali dan Syi’ah-nya merayakan dan memeriahkan hari ini (Ghadir).[11]

Dan Ibn Talha Syafi’i dalam kitabnya Mathâlib as-Su’ul menulis:

“Dan hari ini, disebut sebagai hari Ghadir Khum dan merupakan hari raya. Lantaran pada hari itu merupakan hari dimana Rasulullah Saw menetapkannya (‘Ali) pada kedudukan yang tinggi. Dan hanya ialah yang dapat mencapai kedudukan ini di antara semua orang.”[12]

Tsa’alabi dalam kitab Tsamâratul Qulûb, menyebut malam hari Ghadir termasuk malam yang paling khusus, menuliskan: “Malam hari Ghadir merupakan malam dimana Rasulullah Saw pada keesokan harinya yaitu pada hari Ghadir Khum menaiki mimbar yang terbuat dari pelana-pelana unta dan bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَولَاهُ فَعَلِى مَولَاهُ

اَللَّهُمَّ وَالَ مَنْ وَالَاهُ وَعٰادَ مَنْ عٰادَاهُ مَنْ نَصَرَهُ وَاخَذَلَ مَنْ خَذَلَهُ

Orang-orang Syi’ah merayakan malam itu dan mengerjakan ibadah-ibadah pada malam hari itu.”[13]

Demikian juga, Ibn Khallaqan dalam Syarh Hali al-Musta’li Fathimi ibn al-Mustanshir menulis:

“Pada hari raya (‘Ied) Ghadir yaitu bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 487 H, orang-orang memberikan baiat kepadanya.”[14]

Dan dalam Syarh Hâl al-Mustanshir Fâthimi menulis:

“Ia wafat pada Kamis malam dua belas hari tersisa dari bulan Dzulhijjah 487 H dan malam ini adalah malam ‘Idul Ghadir yaitu malam 18 Dzulhijjah adalah ‘Idul Ghadir Khum.”[15]

Sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai riwayat dan ucapan para sejarawan, hari Ghadir merupakan tahun-tahun terakhir usia Rasulullah Saw yaitu tahun ia menetapkan wilâyah Amirul Mukminin ‘Ali As dikenal sebagai hari raya dan pada tahun itu dan pada sahara itu juga Idul Ghadir, tersebar dari mulut ke mulut di sepanjang sejarah dan negeri-negeri Islam.

Dari persfektif sejarah, pada masa Imam Shadiq As wafat tahun 148, pada masa Imam Ridha As wafat tahun 203, pada masa ghaibah sughrah yaitu masa dimana Furat ibn Ibrahim Kufi dan Kulaini Razi hidup, pada masa Mas’udi wafat tahun 345, Tsa’alabi Naisyaburi wafat tahun 429, Talha Syafi’i wafat tahun 654, dan Abu Raihan Biruni wafat tahun 430 H, hari ini dianggap sebagai hari raya.

Dari sisi menjuntainya letak geografis, pada daerah-daerah Timur dunia Islam yaitu pada sekeliling an-nahr (daerah-daerah seperti Iran, Afghanistan, Tajikistan, Kazakstan, AK) yang merupakan tempat tinggal Abu Raihan dan Naisyabur yang merupakan tempat lahir Tsa’alabi, hingga kota kelahiran dan bermukim Kulaini, dan hingga kota Baghdad kota kelahiran dan besarnya Mas’udi, hingga Halab tempat tinggal dan wafatnya Ibn Thalha Syafi’i dan Mesir yang menjadi tempat tinggal dan wafatnya Ibn Khallaqan, orang-orang di tempat-tempat ini mengetahui tentang hari raya Ghadir dan mereka merayakan hari besar itu.

Hal ini apabila kita berasumsi bahwa masing-masing pembesar ini memberikan berita ini kepada orang-orang di sekitarnya; sementara kita ketahui bahwa pertama sebagian orang-orang seperti Mas’udi dan Biruni mengelilingi hampir seluruh negeri-negeri Islam; yang kedua dalam tulisan-tulisan mereka hari ini disebutkan sebagai hari raya kaum Muslimin.

Adab-adab dan Amalan ‘Idul Ghadir

Unsur asasi dalam menemukan setiap hari raya, di antara bangsa-bangsa, kejadian-kejadian yang memberikan kebahagiaan dan keceriaan, terjadi dalam lintasan perjalanan waktu, muatan kejadiannya telah dibuat berbeda sebelum dan setelahnya.

Kemudian masyarakat menyebut hari itu sebagai hari raya (‘ied) , selaras dan sejalan dengan budaya dan ajaran mereka, dan memperingatinya sepanjang abad dan zaman.

Dalam kultur dan budaya Islam, unsur asasi ini, disebut sebagai anugerah. Dan setiap insan berakal, ia memandang dirinya wajib untuk menyampaikan rasa syukur atas kebaikan yang diterimanya.

Atas alasan ini, salah satu tata-cara umum agama Islam dalam perayaan-perayaan ini adalah penetapan ibadah dan amalan-amalan khusus yang menjadi penyebab semakin mendekatnya manusia kepada Tuhan semesta alam – sang pemberi nikmat sejati.

Pada hari Ghadir juga sebagaimana ied-ied yang lain, orang-orang dianjurkan dan diprogramkan untuk mengerjakan ibadah-ibadah dan mengadakan perayaan-perayaan khusus.

Adab-adab hari raya besar ini memiliki dua tipologi nyata:

1. Adab-adab hari raya Ghadir tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan adab-adab hari-hari besar Islam; sedemikian sehingga dapat dikatakan: apa yang diriwayatkan tentang adab-adab pada hari Ghadir, termasuk model umum seluruh amal kebaikan, perbuatan-perbuatan terpuji, dan sebuah kehidupan ideal dalam skala personal atau sosial.

2. Menurut riwayat yang sampai ditangan kita dari para maksum As dalam masalah ini, masing-masing perbuatan memiliki nilai-nilai yang tinggi, dan atas alasan ini mendapatkan ganjaran yang melimpah.

Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan hari yang sangat bernilai dan hidup dan harus dirayakan.

Dan satu-satunya jalan untuk memperingati dan memuliakan hari ini, mengerjakan adab-adab yang telah dicontohkan oleh Ahlul Bait As.

Adab-adab ‘Idul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum

Amal Saleh

Kendati seluruh adab-adab hari raya Ghadir masing-masing merupakan amal saleh. Akan tetapi dalam sebuah aturan umum dan sebagai pendahuluan adab-adab ini yang terdapat dalam riwayat: “Setiap perbuatan baik (amal saleh) sama dengan perbuatan baik selama delapan puluh bulan.”[16]

Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan memiliki peran seperti bulan Ramadhan dan malam Qadhar.

Dari sini, dapat disebutkan bahwa amal saleh pada hari-hari dan malam-malam ini senantiasa berada pada keadaan terbuka. Pada saat-saat ini, layak kiranya bagi insan untuk memanfaatkan waktu ini secara maksimal sehingga ia dapat mengerjakan kebaikan dan amal saleh.

Menggemarkan Ibadah

Imam Ridha As bersabda: “Ghadir merupakan hari dimana Allah Swt akan menambahkan rizki terhadap orang-orang yang beribadah pada hari itu.”[17]

Definisi ibadah secara umum adalah seluruh perbuatan dilakukan dengan niat qurbah (mendekatkan diri) dan akan menjadi penyebab dekatnya hamba kepada Tuhan.

Dalam budaya Islam ibadah bermakna, dapat berbentuk perbuatan-perbuatan mubah; artinya apabila insan dalam perbuatan-perbuatan biasa dengan niat taqarrub dan untuk meraup keridhaan Allah, seluruh perbuatan kesehariaannya terhitung sebagai ibadah.

Ibadah yang dinasihatkan untuk dikerjakan pada hari Ghadir termasuk seluruh jenis ibadah yang kita kenal dalam Islam. Mengerjakan shalat, berpuasa, mandi, berdoa, memanjatkan puji dan syukur, berziarah, menyampaikan shalawat dan mengekspresikan barâ’at (berlindung) dari musuh-musuh, masing-masing merupakan satu adab dari adab-adab hari penuh berkah ini.

Berpuasa

Puasa merupakan sebuah bentuk ibadah disamping bersifat wajib pada bulan Ramadhan, juga ada yang bersifat mustahab yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun, selain hari-hari Idul Fitri dan Idul Qurban.

Akan tetapi pada beberapa hari tertentu sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dan riwayat-riwayat mengatakan nilai-nilai yang tinggi yang dikandung puasa-puasa tersebut. Dan salah satu puasa tersebut adalah puasa hari Ghadir.

Para Imam Maksum As tidak hanya mengharuskan diri mereka untuk berpuasa pada hari ini, akan tetapi mereka juga mengajurkan kepada para kerabat dan sahabatnya untuk mengikuti mereka berpuasa.

Demikian juga, dari riwayat yang dapat dimanfaatkan bahwa puasa pada hari ini adalah sunnah Rasulullah Saw yang diwariskan kepada kita.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa barang siapa berpuasa pada hari ke-18 Dzulhijjah, Allah Swt akan mencatatkan ganjaran sebanyak enam ratus tahun puasa.[18]

Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, sembari memberikan nasihat kepada orang-orang untuk berpuasa pada hari ini, ia bersabda: “Puasa pada hari ini sebanding dengan puasa selama enam ratus bulan.”[19]

Dan dalam riwayat yang lain, ia bersabda: “Puasa hari Ghadir Khum, sebanding amalan seratus haji dan seratus umrah di sisi Allah Swt.”[20]

Demikian juga ia bersabda: “Puasa pada hari Ghadir Khum, sebanding dengan puasa seumur dunia; apabila seseorang dapat hidup selama itu dan melakukan ibadah puasa seumur dunia.”[21]

Shalat

Demikian juga kebanyakan hari dan keadaan-keadaan khusus, ia mengerjakan shalat khusus untuk hari dan keadaan-keadaan itu. Dan untuk hari Ghadir dianjurkan melaksanakan beberapa jenis shalat beserta adab-adab khususnya.

Sayid Ibn Thawus Ra dalam kitab monumentalnya Iqbâl al-A’mâl menukil amalan tiga shalat hari Ghadir dari Imam Shadiq As.

Menurut salah satu riwayat ini, Hadrat Shadiq As bersabda: “Hari ini merupakan hari dimana Allah Swt mewajibkan ke atas seluruh orang-orang beriman untuk menghormatinya. Lantaran pada hari ini, Allah Swt menyempurnakan agama-Nya dan melengkapkan nikmat atas mereka, dan mengulang janji serta akad yang diambil dari mereka semenjak awal penciptaan dan setelah itu mereka lupakan, lalu memberikan taufik kepada mereka supaya mereka menerimanya dan tidak termasuk sebagai orang-orang yang ingkar.”[22]

Yang dimaksud ikrar (mitsâq) dalam hadits mulia ini adalah ikrar yang disebutkan dalam al-Qur’an ayat 172 surah al-A’raf. Dalam surah ini, Allah Swt berfirman: “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).”

Ikrar (mitsâq) ini adalah mitsâq yang diambil Tuhan atas tauhid dan keesaan dalam ibadah dari umat manusia.

Oleh karena itu, dari hadits ini dapat dikatakan bahwa Tuhan sebagaimana Ia mengambil janji dan ikrar dari manusia untuk menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, Ia juga mengambil janji dan ikrar dari manusia dalam hal wilayah.

Ikrar atas tauhid, apapun bentuknya, juga berlaku dalam masalah wilayah.

Apabila ada orang yang ingin seperti orang yang bersama Rasulullah Saw pada hari itu, berperilaku jujur sebagai sahabat Amirul Mukminin terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan pada saat yang bersamaan, ingin seperti orang yang syahid di sisi Rasulullah Saw, Amirul Mukminin As, Imam Hasan dan Imam Husain As, dan seperti orang yang berada di bawah panji Hadrat Mahdi Ajf di dalam kemahnya, dan dari kalangan orang-orang besar dan selamat, mendekati datangnya waktu Zuhur – yaitu saat-saat tatkala Rasulullah Saw beserta sahabat-sahabatnya tiba di Ghadir Khum – ia mengerjakan dua rakaat shalat, dan selepas shalat, ia mengerjakan sujud syukur dan seratus kali membaca: “

شُكْراً لِِلّه

(Syukur hanya kepada Allah)[23]

Kemudian Hadrat memanjatkan doa yang panjang dan mengajarkan kepada para hadirin ketika itu selepas mengerjakan shalat. Doa ini secara asasi memiliki beberapa fokus umum:

1. Pengakuan terhadap akidah yang sehat dan benar Islam, seperti tauhid dan nubuwwah;

2. Bersyukur dan berterima kasih atas nikmat wilayah;

3. Harapan untuk gigih dan istiqamah di jalan kebenaran (haq);

Di antara salah satu untaian doa ini kita membaca:

Tuhanku! Dengan kemurahan dan kelembutanMu yang membuat kami mendapatkan taufik untuk menyambut seruan nabiMu dan membenarkannya; Kami beriman kepada Amirul Mukminin dan mengingkari thagut dan para penyembah berhala. Setelah Engkau memilih kami untuk berwilayah, jadikan mereka sebagai wali kami dan dikumpulkan bersama para pemimpin kami di hari Masyhar, dimana kami dengan keyakinan yang kami tambatkan kepada mereka, kami pasrah kepada urusan mereka, lahir dan batin, syahid dan ghaib, hidup dan matinya mereka, dan kami rela dan ridha atas kepemimpinan mereka.

Mereka memadai menjadi wasilah antara kami dan Tuhan, tidak perlu kepada yang lain. Kami tidak menghendaki pengganti mereka, kami tidak mengambil selain mereka untuk menjadi teman setia dan tempat curahan rahasia-rahasia kami.[24]

Dalam frase yang lain dari doa ini disebutkan:

Tuhanku aku bersaksi bahwa agama kami adalah agama Muhammad dan keluarga Muhammad dan ucapan kami adalah ucapan mereka.

Agama kami adalah agama mereka. Apa yang kami ucapkan adalah apa yang mereka sabdakan dan mengikuti apa yang mereka ikut.

Apa saja yang mereka ingkari, kami turut mengingkarinya. Apa saja yang mereka cintai, kami juga mencintainya. Dan dengan siapa pun mereka bermusuhan, maka akan juga menjadi musuh kami. Siapa saja yang dilaknat oleh mereka, akan menjadi sasaran laknat kami. Dari siapa saja mereka muak, kami juga akan merasa muak. Dan kami mengirimkan rahmat kepada siapa saja yang mereka kirimin rahmat.[25]

Shalat ini merupakan manisfestasi ruh yang mengetahui anugerah Ilahi dan bersyukur secara hakiki dari segala nikmat yang diterima. Mendirikan shalat ini pada waktu menjelang shalat Zuhur pada hari Ghadir merupakan perlambang supaya orang yang mengerjakan shalat menjadi tahu bahwa pada saat-saat ini Malaikat Jibril Amin turun untuk menyampaikan pesan Ilahi.[26] Pesan yang merupakan pesan utama dan asasi. Turunnya Malaikat pembawa wahyu ini adalah membawa berita gembira kepada umat manusia berupa wilâyah.

Wilâyah merupakan penjamin kelestarian agama dan jiwa syariat dan menjadi penopang tauhid, risalah, pembela keutamaan takwa dalam komunitas umat manusia; utama karena menegakkan keadilan merupakan tujuan asli diutusnya seluruh rasul-rasul Ilahi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Dan menegakkan keadilan adalah sebagai tanggung jawab mereka. (Qs. al-Hadid [57]:25)

Utama lantaran apabila tidak disampaikan berarti pesan Ilahi (secara keseluruhan, AK) tidak disampaikan. (Qs. al-Maidah [5]:3)

Orang-orang yang mengerjakan shalat memberikan perhatian pada semua hal ini dan dengan maksud untuk menyampaikan rasa syukur, ia bersujud di atas tanah. Dan dalam keadaan bersyukur ia merapatkan keningnya di atas tanah dan dengan kerendahan hati bertawassul menengadahkan tangannya ke haribaan Tuhan yang senantiasa menjaganya pada kedudukan tinggi ini, dan terlepas dahaganya dari mata air rahmat pada seluruh kehidupannya. Dan demikianlah ia akan sederajat dengan para sahabat Rasulullah Saw dan satu kubu dengan para mujahid masa-masa awal Islam. Ia akan beserta dengan para syuhada yang berada di samping Amirul Mukminin, Imam Hasan, Imam Husain yang memeluk para syuhada dan ibarat seseorang yang menebaskan pedang di bawah panji Imam Mahdi Ajf dan berposko di kemahnya.

Berziarah

Ziarah merupakan sumber mata air yang meyemburkan air kepada para perindu yang terlupakan untuk melepas dahaganya. Dan memenuhi jiwanya dengan kebeningan dan mensucikan ruhnya dari panasnya perpisahan dalam arus kedekatan (qurb).

Ziarah merupakan buah rahmat dan ganjaran yang diberikan kepada para salik atas kesabaran yang??? . Doa ziarah adalah nasib yang tak terbaca dan media kucuran rahmat.

Apa yang dibacakan oleh para peziarah di Haram para Maksum As sebenarnya merupakan kumpulan keinginan dan kecintaan. Serta ajaran-ajaran benar yang ditunjukkan kepada para peziarah tatkala bersua dan bercengkerama dengan para Imam Maksum, dan meminta penegasan dari mereka.

Dan hal ini merupakan kebiasaan para salafusshaleh yang menjadi kenang-kenangan bagi kita.

Hari Ghadir merupakan hari wilayah dan wisayah. Hari yang merupakan milik Amirul Mukminin As dan dimeriahkan dengan namanya yang agung.

Dari sini, salah satu adab yang terpenting hari Ghadir adalah mengulang ikrar dan baiat, menciptakan hubungan maknawi dengan sang pemilik wilayah.

Orang-orang Syiah merindukan dapat berdiri di hadapan washi Rasulullah Saw dan menuruti perintahnya untuk memberikan baiat kepada khalifahnya. Dan setiap tahun, ia memperbaharui ikrar ini dan di haribaan Gerbang Ilmu Nabi, ia demonstrasikan imannya, dan membubuhkan stempel Imam Hammam pada surat keyakinannya.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As yang bersabda: “Dimanapun kalian berada, cobalah untuk merayakannya di sekitar Haram Hadrat Amirul Mukminin As. Karena Tuhan pada hari ini mengampuni dosa-dosa orang beriman selama enam ratus tahun. Dan melebihi dua kali pahala bulan Ramadhan, malam Qadhar, dan malam Idul Fitri, yang membebaskan orang-orang beriman dari neraka.”[27]

Apabila kita tidak dapat berziarah secara langsung di hadapan Haramnya, kita dapat berziarah dari kejauhan.

Diriwayatkan dari para imam suci bahwa pada hari Ghadir terdapat tiga ziarah. Dan ketiga ziarah tersebut dapat dibaca dari dekat atau dari tempat yang jauh.

Yang paling tersohor dari ketiga ziarah itu adalah doa ziarah AminuLlah yang pendek dan ringkas dari sisi matan (isi) sahih dan sarat dengan makna.

Dalam doa ziarah ini (AminuLlah), kita alamatkan kepada Amirul Mukminin As:

“Salam padamu wahai Amin dan Hujjatullah di muka bumi,

Aku bersaksi bahwa wahai Amirul Mukminin bahwa engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan (jihad), engkau telah mengamalkan kitab Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw; hingga Allah Swt mengganjarimu dengan sebaik-baik ganjaran, dan Ia memanggilmu dari dekat dan menempatkan ruh agungmu di samping-Nya. Dan meski engkau memiliki seluruh burhan bagi seluruh makhluk, Allah dengan kesaksianmu, Ia telah menamatkan hujjah atas musuh-musuhmu.

Tuhanku! Hati-hati orang yang khusyuk takjub kepadaMu, jalan ke arah para perindu ke kediamanMu terbuka; Mereka yang berhajat kepadaMu, memiliki ayat-ayat yang jelas. Hati mereka yang diperuntukkan untukMu, kosong selainMu. Bagi mereka yang menghendakiMu, suaranya meninggi. Dan gerbang ijabah terbuka baginya. Dan ia yang berkata jujur denganMu doanya terkabulkan. Taubat adalah ia yang kembali kepadaMu dan diterima. Barang siapa yang luruh air matanya karena takut kepadaMu, rahmat mengucur ke atasnya sebanyak cucuran air matanya; barang siapa yang mencari pertolongan dariMu, Engkau akan menolongnya; barang siapa yang ingin bantuanMu, Engkau akan membantunya; Engkau memenuhi janji yang Engkau berikan kepada para hambaMu, barang siapa yang menginginkanMu, Engkau akan mengindahkan kesalahan-kesalahannya.[28]

Berbuat Kebajikan

Salah satu adab Idul Ghadir adalah berbuat ihsan dan kebaikan kepada orang-orang Mukmin. Trdapat banyak riwayat yang datang dari para Imam As dalam bagian ini. Di antara tanda-tanda pentingnya ihsan (berbuat kebajikan) pada hari ini di antaranya:

Pertama: Dalam hadits dan riwayat, dengan tema yang beragam, dianjurkan untuk berbuat ihsan. Infaq, ihsan, menolong, muwasat, memberikan hadiah, bertamu, memberi makan, memberikan buka puasa, mengasihi dan mencintai serta berusaha memenuhi hajat-hajat orang beriman merupakan tanda-tanda yang dianjurkan dalam riwayat untuk dilakukan.

Kedua: Dinasihatkan, barang siapa yang tidak memiliki harta untuk berbuat ihsan, hendaknya ia meminjamnya dari orang lain. Imam ‘Ali As bersabda: “Barang siapa yang meminjam uang sehingga ia dapat membantu saudara mukminnya, aku menjamin bahwa apabila ia masih hidup, ia mampu membayar utang tersebut; dan apabila ia tidak dapat menunaikan hutangnya, lepas tanggung jawabnya.[29]

Sementara kita ketahui dari perspektif syariah bahwa berhutang bukanlah merupakan sebuah perbuatan yang baik, dan Islam sangat menghargai hak-hak manusia.

Pada suatu Jum’at yang bertepatan dengan hari Ghadir, Baginda Amirul Mukminin As menyampaikan khutbah. Khutbah yang disampaikan oleh Amirul Mukminin As di antaranya:

“Semoga Tuhan merahmati kalian! Tatkala kalian beranjak meninggalkan tempat ini dan bertebaran di mana-mana, tunaikanlah uang belanja keluarga kalian, berbuat baiklah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat kepada kalian. Berbuat baik pada hari ini akan menambahkan rezki dan memanjangkan umur. Dan sayangilah orang lain – semampu kalian – karena hal itu akan menurunkan rahmat dan cinta Tuhan. Apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamu, berbagilah dengan saudaramu.

Bersilaturahmilah kalian dengan suka dan cita. Dan bersyukurlah kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan kepadamu. Dan kepada orang-orang yang mengharapkanmu, berilah bantuan lebih banyak kepadanya. Sehingga kalian dapat berlaku secara adil di antara orang-orang papah dan lemah.

Pada hari ini berinfak dengan satu Dirham setara dengan dua ratus Dirham, dan lebih banyak dari itu apabila Tuhan menghendaki.

Barang siapa yang lebih dahulu berbuat baik kepada saudaranya, dan dengan antusias berbuat ihsan, maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang melakukan puasa pada hari ini.[30]

Merayakan dan Memeriahkan

Adalah terpuji bagi insan mukmin untuk berbeda pada hari ini ketimbang hari-hari biasanya – dalam batasan normal dan syar’i - ia hadapi hari ini dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Di antara tanda-tanda keceriaan yang terdapat dalam riwayat, adalah mandi, menggunakan minyak wangi, menghias dan mendandani diri, membersihkan rumah, mengenakan pakaian baru, merasa bangga dan suci, bersilaturahmi, menyampaikan ucapan selamat, berjabat tangan dan saling membagikan uang belanja.

Bergembira pada hari Ghadir, di samping sebagai contoh atas berbagi simpati dan empati dengan Ahli Bait, juga telah dianjurkan dan ditegaskan.

Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, setelah ia memaparkan peristiwa Ghadir dan menyebutkan sebagian adab-adab hari bahagia ini, ia bersabda: “Makan dan minumlah. Kendati ada orang-orang yang menyampaikan duka dan nestapa – semoga Tuhan melipatgandakan duka dan nestapanya – bergembiralah dan meriahkanlah hari ini.[31]

Adalah baik manakala seseorang berduka dan bersedih lantaran meninggalnya orang-orang yang dicintainya atau musibah yang menimpanya; pada hari ini ia tepikan pakaian hitam itu sebagai alamat duka. Imam Ridha As bersabda: “Hari ini adalah hari untuk mengenakan pakaian-pakaian baru dan menepikan pakaian-pakaian hitam.”[32]

Orang yang mengenakan pakaian-pakaian terbaik yang dimilikinya merupakan sebuah perbuatan terpuji. Imam Ridha As bersabda:

“Hari ini adalah hari berindah-indah. Barang siapa yang menghias dirinya demi memuliakan hari ini, Allah Swt akan mengampuni dosa besar dan dosa kecil yang pernah dilakukannya. Dan Ia akan menugaskan seorang malaikat untuk menulis kebaikan baginya hingga tahun yang lain. derajatnya akan ditinggikan dan apabila ia meninggal pada waktu ini, ia meninggal dalam keadaan syahid, dan apabila ia hidup, ia akan mendapatkan kebahagiaan.[33]

Demikian juga, adalah layak bagi seorang mukmin untuk bertemu dengan saudara seiman dengan riang dan gembira dan berusaha untuk menggembirakan semua orang.

Imam Ridha As bersabda:

“Hari ini adalah hari untuk tersenyum di hadapan orang-orang beriman. Barang siapa yang membagi senyuman kepada saudaranya, Allah Swt akan menatapnya dengan penuh rahmat pada hari kiamat. Memenuhi segala hajat yang dimilikinya dan membangunkan sebuah istana yang bergerbang putih untuknya dan membuat wajahnya penuh keceriaan.[34]

Doa

Berdoa merupakan salah satu ibadah yang terbesar yang disyariatkan dalam agama suci Islam. Doa adalah ibadah yang ditegaskan dalam al-Qur’an, “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.” Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka dalam keadaan hina dina.” (Qs. al-Mu’min [40]:60)

Doa adalah cengkerama manusia dengan Tuhannya, Sang Pencipta seluruh wujud. Doa menjadi penyebab timbulnya perhatian dan inayah Tuhan kepada para hambanya.

Al-Qur’an Karim menyebutkan:

﴿ قُلْ ماٰيَعبَؤُ بِكُمْ رَبِّي لَو لا دُعائُکُم

Katakanlah sekiranya kalau bukan dua kalian, Tuhanku tidak akan memperhatikan kalian.” (Qs. Al-Furqan [25]:77)

Doa merupakan hal yang urgen dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa doa ibarat gelombang yang bergemuruh dan pada akhirnya terhempas pada rawa-rawa dunia. Doa adalah senandung kehidupan atau denting genta kafilah yang beranjak menuju tujuannya. Kehidupan bak tunas, dengan doa tunas itu tumbuh bersemi dan menuai buah.

Oleh karena itu, terlepas dari apakah manusia memiliki hajat, atau telah terpenuhi hajatnya, doa merupakan program dawam dan selalu menjadi keperluan insan beriman; akan tetapi terkadang terdapat suasana dan keadaan khusus dimana doa mampu menyingkapnya, membuahkan hasil dan memberikan aroma manis terhadap wujud manusia.

Hari Ghadir merupakan waktu yang terbaik dan keadaan khusus untuk berdoa.

Imam Ridha As bersabda: “Hari Ghadir adalah hari dimana doa diterima (mustajabah).[35]

Atas alasan ini, di samping terdapat doa-doa yang dinukil dari riwayat pada ta’qib-ta’qib shalat mustahab dan berbagai acara pada hari ini. Juga terdapat doa yang dibacakan secara terpisah.

Fokus Doa-doa Ghadir

Fokus utama dalam doa-doa hari Ghadir adalah nikmat wilayah. Orang yang memanjatkan doa pada hari ini, dengan penjelasan yanga beragam, bercengkerama dengan Tuhannya ihwal nikmat agung ini.

Terkadang ia bersyukur kepada Tuhan atas nikmat agung ini yang telah dianugerahkan kepadanya. Terkadang ia meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil nikmat ini darinya dan sepanjang hayatnya ia mempertahankan nikmat ini dengan kokoh dan gigih.

Terkadang ia meminta kepada Tuhan sebagaimana Ia menganugerahkan karamah ini kepadanya dan menganggap layak baginya untuk menerima wilayah ini, ia meminta juga kepada Tuhan untuk memaafkan kesalahannya dan mengampuni dosa-dosanya.

Terkadang ia meminta untuk supaya Tuhan memberikannya taufik supaya ia memenuhi tuntutan-tuntutan wilayah ini; ketaatan murni dari wali yang merupakan syarat utama wilayah ini. Dan memberikan taufik kepadanya hingga ia memusuhi orang yang memusuhi para Imam Maksum As dan bersahabat dengan orang-orang yang bersahabat dengan para Imam Maksum As.

Dalam untaian doa waktu pagi hari Ghadir yang dikenal sebagai doa Zinat, kita membaca:

“Kami adalah pecinta ‘Ali dan pecinta orang-orang yang mencintai ‘Ali As; sebagaimana Engkau memerintahkan kami untuk mencintainya dan memusuhi musuh-musuhnya. Barang siapa yang membencinya, kami turut membencinya. Murka mereka kepadanya, murka kami kepada mereka. Mencinta mereka yang mencintanya.[36]

Dan terkadang menyebut kedudukan dan derajat para Imam Maksum As. Dan dengan menyebut mereka membuat hati menjadi bersih cingklong. Dan menyaksikan dari dekat puncak keagungan para awliya. Dan dengan mengirim salam berkelanjutan, ruh akan bersambung dengan ruh-ruh mereka yang suci dan terapung di samudera yang tak terbatas akan keutamaan manusia.

Dalam salah satu doa hari Ghadir Khum, kita membaca:

اللهم صل على محمد وآل محمد الأئمة القادة ، والدعاة السادة ،

والنجوم الزاهرة ، والأعلام الباهرة ، وساسة العباد ، وأركان البلاد ،

والناقة المرسلة ، والسفينة الناجية الجارية في اللجج الغامرة.

“Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Mereka adalah imam para pemimpin, pengajak pada kebahagiaan, bintang gemintang gemerlap, dan tanda-tanda yang terang. Merekalah yang mengatur urusan seluruh hambaMu, rukun-rukun negara, mukjizat yang dengannya orang-orang diuji, bahtera penyelamat yang berlayar di atas gelombang lautan.

Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; penjaga ilmu, singgasana tauhid dan pengesaan Tuhan, tiang agama dan sumber-sumber keteladanan, Mereka yang Engkau pilih di antara ciptaan-ciptaanMu dan hamba-hambaMu. Mereka adalah orang-orang bertakwa dan suci, orang-orang mulia dan baik; gerbang yang menjadi tempat ujian manusia; barang siapa yang memasukinya akan selamat dan barang siapa yang memalingkan diri, akan terjungkal.

Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Ahli dzikir yang Engkau firmankan adalah mereka tempat kami bertanya, keluarga yang Engkau titahkan untuk kami cintai, yang Engkau wajibkan untuk ditunaikan hak-haknya dan surga yang Engkau anugerahkan kepada mereka yang mengikutinya.

Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; lantaran mereka mendawuhkan untuk mentaatimu dan tidak bermaksiat kepadamu, dan mengajak hamba-hambaMu untuk mengesakanMu.[37]

Persaudaraan Islam

Salah satu kebanggaan Islam adalah menciptakan hubungan yang paling kokoh di antara orang-orang yang secara lahir tidak memiliki hubungan satu dengan yang lain. Persaudaraan adalah hubungan yang paling lekat dan terajut di antara dua orang.

Cinta persaudaraan merupakan cinta yang paling kokoh dan kuat di antara seluruh bangsa; akan tetapi di antara bangsa Arab – khususnya pada masa-masa lampau – persaudaraan memiliki penghormatan yang lebih; sedemikian sehingga menjadi kriteria hak dan batil, antara benar dan salah.

Dalam tradisi ini, saudara memiliki kebenaran dan harus ditakyid dan harus bangkit untuk membantunya; meski pada hakikatnya ia adalah seorang zalim dan pelanggar hak. Dan barang siapa yang menentangnya, ia harus dikalahkan; kendai ia berada pada kubu yang benar.

Dalam lingkungan seperti ini, Islam dengan definisi yang baru tentang persaudaraan membidik kepercayaan yang batil dan tidak benar ini. Dan menawarkan sebuah definisi baru sebagai berikut:

﴿إنَّمَا الْمُؤمِنُونَ إخْوَةٌ

“Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara”

(Qs. al-H.Ughafdaujurât [49]:10)

Oleh karena itu, insan non-mukmin dalam keluarga (Islam, AK) ini adalah seorang asing; walau ia lahir dan besar dalam keluarga ini.

Persaudaraan ini merupakan kaidah yang dibangun oleh al-Qur’an. Berdasarkan kaidah ini, seluruh orang-orang mukmin dalam keluarga besar ini adalah saudara.

Rasulullah Saw dalam dua periode – pra dan pasca hijrah – dengan maksud untuk menjaga keselarasan kaum Muslimin dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang mengancam pemerintahan baru dan masyarakat Islam, ia memberikan ainiyyat terhadap kaidah asasi ini. Ia menciptakan hubungan persaudaraan antara sesama Muslim dan menjalinkan masing-masing dua orang Muslim menjadi satu saudara.

Sekelompok besar sejarawan dan ahli hadits kawakan menulis:[38] “Kriteria Rasulullah Saw dalam menentukan saudara untuk masing-masing Muslim, kesesuaian derajat dan kualitas, dan kedekatan derajat iman.”

Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang yang memiliki kesamaan dan keserupaan satu dengan yang lain; misalnya, ‘Umar dipersaudarakan dengan Abu Bakar. Thalha dan Zubair, ‘Utsman dan Abdurrahman ibn ‘Auf, Abu Dzar dan Miqdad, putrinya Fatimah az-Zahra dan istrinya Ummu Salamah, masing-masing mengikat tali persaudaraan.

Atas alasan ini, Rasulullah Saw tidak mempersaudarakan Amirul Mukminin dengan siapa pun dari golongan Muslim. Dan ia mempersiapkan dirinya untuk merajut tali persaudaraan dengan Amirul Mukminin As.[39]

Rasulullah sendiri tidak memilih seseorang untuk ia persaudarakan, hingga Amirul Mukminin As datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Aku melihat engkau mempersaudarakan seluruh sahabat, akan tetapi tidak memilih seorang untuk menjadi saudaraku?” Rasanya ruh keluar dari ragaku dan seolah-olah pinggangku patah. Apabila engkau marah kepadaku, engkau memiliki hak untuk menghukumku.” Rasulullah Saw dalam menjawab kesah Amirul Mukminin bersabda: “Aku bersumpah demi yang telah mengutusku dengan haq, Aku sengaja menundanya supaya aku memilihmu sebagai saudaraku.”[40]

Pengaruh Persaudaraan Islam

Kaidah yang dibangun oleh Islam sebagai persaudaraan dan brotherhood, bukan hanya sebuah perkara konvensional dan bersandar pada rencana lahiriyah; akan tetapi persaudaraan ini merupakan sebuah realitas yang memiliki pengaruh ril dan hakiki.

Satu umat Muhammad dan keluarga besar ahli iman yang mengikuti satu sistem khusus. Setiap anggota dari keluarga besar ini, dalam berhubungan dengan anggota lainnya, ia memiliki tugas untuk saling memenuhi hak-hak anggota lainnya.

Terdapat banyak hadits yang bersumber dari Amirul Mukminin As yang menetapkan tugas dan kewajiban saudara-saudara seiman. Aturan praktis yang paling umum dalam bidang ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, dan kita menukilnya dari kitab Makâsib Muharramah, karya Syaikh Ansari Ra.

Syaikh Anshari menukil dari kitab Wasâil asy-Syiah, dari Kanz al Fawâid karya Syaikh Karajiki yang menukil dari Amirul Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Setiap Muslim memiliki hak sebanyak tiga puluh terhadap saudaranya yang lain. Dan ia tidak dapat menghindar dari hak kecuali ia penuhi atau orang yang mesti ditunaikan haknya memberi maaf kepadanya.

يَغْفِرُ زَلَّتَهُ 1.

Memaafkan kesalahannya

وَيَرْحَمُ عَبْرتَهُ 2.

Mengasihi cucuran air matanya

وَيَسْتُرُ عَوْرَتَهُ .3

Menutup aib-aibnya

وَيُقيلُ عَثْرَتَهُ 4.

Mengurangi kesalahannya

وَيَقْبَلُ مَعْذِرَتَهُ .5

Menerima maafnya

وَيَرُدُّ غَيْبَتُهُ .6

Membelanya tatkala ia tidak ada

وَيُديمُ نَصيحَتَهُ .7

Senantiasa menginginkan kebaikan darinya

وَيَحْفَظُ خَلََّتَهُ .8

Memelihara persaudaraan dan kecintaannya

وَيَرْعىٰ ذِمَّتَهُ .9

Memelihara orang yang berada dalam pengamanannya[41]

وَيَعُودُ مَرَضَهُ .‍10

Menengoknya tatkala sakit

وَيَشْهَدُ مَيِّتَهُ .11

Mengurus jenazahnya

وَيُجِيبُ دَعْوَتَهُ .12

Memenuhi undangannya

وَيَقْبَلُ هَدِيَتَهُ . 13

Menerima hadiah darinya

وَيُكَافى صِلَتَهُ . 14

Membalas kebaikan dan hadiah yang diterima darinya

وَيَشْكُرُ نِعْمَتَهُ . 15

Mensyukuri pemberian darinya

وَيَحْسُنُ نُصْرَتَهُ . 16

Menolongnya dengan baik

وَيَحْفَظُ حَلِيلَتَهُ . 17

Menjaga kehormatannya

وَيَقْضِى حٰاجَتَهُ . 18

Memenuhi hajatnya

وَيَسْتَنْجِحُ مَسْئَلَتَهُ . 19

Memenuhi keinginannya

وَيُسَمِّتُ عَطْسَتَهُ .0 2

Berkata AlhamduliLlah manakala ia bersin

وَيُرْشِدُ ضٰالَّتَهُ . 1 2

Membimbing orang-orang yang hilang darinya

وَيَرُدُّ سَلاٰمَهُ . 2 2

Menjawab salamnya

وَيُطِيبُ كَلاٰمَهُ . 3 2

Berbicara santun dengannya

وَ يَبَرُّ اِنْعٰامَهُ . 4 2

Menerima pemberiannya

وَيُصَدِّقُ اَقْسٰامَهُ . 5 2

Meyakini sumpahnya

وَيُواٰلى وَلِيَّهُ . 6 2

Mencintai orang yang mencintainya

وَلاٰ يُعٰادِيهِ .7 2

Tidak memusuhinya

وَيَنْصُرُهُ ظٰاِلماً وَمَظْلُومًا اَمّٰا نُصْرَتُهُ ظٰالِمًا فَيَرُدُّهُ عَنْ ظُلْمِهِ. 8 2

وَاَمّٰا نُصْرَتُهُ مَظْلُومًا فَيُعِينُهُ عَلىٰ اَخْذِ حَقِّهِ .

Menolongnya, baik ia berlaku aniaya atau dianiaya; artinya apabila ia berlaku aniaya, mencegahnya dari berbuat aniaya. Dan apabila ia teraniaya, membantunya untuk mendapatkan haknya.

وَلاٰ يُسَلِّمُهُ وَلاٰ يَخْذُلُهُ . 9 2

Tidak meninggalkannya sendiri tanpa pertolongan

َويُحِبُّ لَهُ مِنَ الْخَيْرِ مٰا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

وَيَكْرَهُ لَهُ مِنَ الشَرِّ مٰا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ .30

Mencintai baginya kebaikan apa yang dicintainya, dan membenci yang buruk apa yang buruk baginya.

Kemudian Baginda Amirul Mukminin ‘Ali As bersabda: “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

اِنَّ اَحَدُكُمْ لَيَدَعُ مِنْ حُقُوقِ اَخِيهِ شَيئًا فَيُطالِبُهُ بِهِ

يَوْمَ القِياٰمَةِ فَيَقْضىٰ لَهُ عَلَيْهِ

Terkadang di antara kalian tidak menunaikan hak-hak saudaranya dan ia akan menuntut hak-haknya yang telah dilalaikan pada hari kiamat dan ia (yang melalaikan) akan terhukum di hadapan mahkamah Ilahi.[42]

Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir

Almarhum Muhaddits Qummi dalam kitab Mafatihul Jinan, menganggap akad ukhuwah sebagai adab hari Ghadir, menulis:

“Sangat tepat kiranya pada hari ini membacakan akad ukhuwwah dengan saudaranya seiman. Dan cara-caranya seperti yang ditulis oleh syaikh kita dalam Mustadrak Wasâil[43] yang menukilnya dari kitab Zadul Firdaus seperti ini, tangan kanannya mengangkat tangan kanan saudara mukminnya dan membaca:

وَآخِيتُكَ فِي اللّه وَصٰافَيْتُكَ فِي اللّهِ وَصٰافَحْتُكَ فِي اللّه

وَعٰاهَدْتُ اللّه وَمَلاَئِكَتَهُ وَكُتُبَهُ وَرُسُلَهُ

وَأَنْبِيٰائَهُ وَالْأَئِمَّةَ المَعْصُومِينَ عَلَيهِمْ السَلامُ عَلىٰ

اَ نىِّ إنْ كُنْتُ مِنْ أَصْحٰابِ الْجَنَّةِ

وَالشَّفَاعَةِ وَاُذِنَ لى بِأَنْ أَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَا أَدْخُلُهٰا إِلَّا وَأَنْتَ مَعَى;

“Aku telah menjadi saudaramu karena Allah dan aku telah memilihmu karena Allah dan aku memberikan tanganku kepadamu karena Allah, dan aku mengikat janji kepada Allah, para malaikat, para rasul-Nya dan para imam maksum As bahwa sekiranya aku menjadi penduduk surga dan mendapatkan syafaat dan memiliki izin untuk memasuki surga, aku tidak akan memasukinya kecuali bersamamu memasukinya.

Kemudian yang diajak berikrar dan berjanji mengatakan: Aku menerimanya. Dan setelah itu berkata:

أَسْقَطْتُ عَنْكَ جَمِيعَ حُقُوقِ الْأِخْوَةِ مٰا خَلَا الشَّفٰاعَةَ وَالدُّعٰا وَالِزيٰارَةَ;

Kutinggalkan seluruh hak-hak persaudaraan darimu

Selain syafaat, doa dan ziarah.

Tugas-tugas setiap mukmin di hadapan saudara seagamanya terdapat dua jenis: sebagian memiliki hukum syar’i dan termasuk sebagai taklif; artinya setiap mukmin memiliki tugas untuk memenuhi hak-hak saudaranya seiman.

Sebagian yang lain adalah hak-hak yang masing-masing dimiliki oleh keduanya.

Dari sisi tidak terlepasnya hukum syariat, artinya tidak satupun yang dapat membatalkan hukum syariat. Oleh karena itu, apa yang batal dari akad ini, merupakan sisi sekunder, akan tetapi dari sisi bahwa masing-masing dari hak-hak ini yang merupakan bagian dari hukum-hukum syariat dan masing-masing bertugas untuk menunaikannya, maka hal ini tidak dapat menjadi batal.

Pengaruh Akad Persaudaran

Tanpa ragu bahwa akad ini dari kaca mata sosial akan menjadi sebab terekatnya hati-hati dan menimbulkan cinta dan menghidupkan mental untuk bekerja sama. Dari sisi maknawi, juga memiliki hasil yang sangat bernilai dimana hasil itu adalah janji untuk memberikan syafaat. Syafaat merupakan kaidah yang kita terima berdasarkan al-Qur’an yang kita yakini bersama; dan kita ketahui bahwa Allah Swt apabila Ia menghendaki, Ia dapat memberikan izin kepada orang untuk memberikan syafaat.[44]

Salah satu kelompok yang memberikan syafaat di hari kiamat adalah orang-orang beriman sesuai dengan izin Allah Swt.

Oleh karena itu, manusia dengan membaca ikrar dan akad ini pada hakikatnya membawanya kepada rahmat dan ridha Allah Swt. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pengaruh-pengaruh yang muncul dari persaudaraan nasabi (satu keturunan) dan susuan seperti mahramiyat (saudara sesusuan yang kemudian menjadi mahramnya, AK), warisan dan silaturahmi, tidak berlaku dalam hal persaudaraan seiman ini.

Dengan demikian, dua orang yang membaca akan persaudaraan hendaknya menjauhkan diri dari percampuran dengan maharim satu sama lain, dan harus diketahui bahwa akad ini tidak akan menjadikan keduanya menjadi mahram dengan saudari-saudari, putri-putri dan para ibu dari mereka masing-masing.

Akad Persaudarian di antara Wanita

Ukhuwwah dalam bahasa Arab tidak melulu semakna dengan mafhum persaudaraan; akan tetapi memiliki makna yang menjuntai dimana para wanita juga termasuk di dalamnya.

Ahli bahasa berkata: “Akh (saudara) artinya seseorang yang berasal dari sulbi dan rahim yang sama denganmu.” Oleh karena itu, akhwat, persaudarian juga termasuk di dalamnya.

Atas alasan ini sinonim akhwat dalam bahasa Arab adalah ukht, termasuk feminim akh. Dari sini, seluruh aturan-aturan yang mengulas tentang ukhuwwah mukminah dihitung sebagai sesuatu yang tunggal termasuk di dalamnya pria dan wanita.

Baginda Nabi Saw juga tatkala merajut tali persaudaraan di antara kaum Mukmin di Madinah, ia mempersaudarikan putrinya Fatimah az-Zahra dengan Ummu Salamah istrinya.[45]

Oleh karena itu, akad ukhuwwah pada hari Ghadir tidak hanya khusus untuk kaum pria saja, kaum hawa juga dapat membaca akad persaudarian. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berpegang teguh kepada wilayah Amirul Mukminin dan Imam Maksumin.[AK]

Semoga Hari Raya Idul Ghadir menjadi hari bahagia buat Anda.



[1] . Sebagaimana dinukil oleh Ibn Maghazali dalam Manâqib, hal. 19 dan Farâidh Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits 39 dan 40 bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir setelah penetapan Amirul Mukminin ‘Ali As.

[2] . Al-Ghadir, jilid 1, hal .247, yang menukil dari Syaraf al-Musthafa karya Abu Sa’id Khargusi Naisyaburi, wafat tahun 407 H.

[3] . Al-Ghadir, jilid 1, hal .283 dan Iqbâl al-‘Amal hal. 466.

[4] . Idem., jilid 1, hal. 284 dan Iqbâl al-‘Amal hal. 463.

[5] . Furugh Kâfi, jilid 1, hal. 148, bab Shiyâm Targhib, hadits ke-3.

[6] . Idem., hadits pertama.

[7] . Tafsir Furât, hal. 118.

[8] . Idem.,

[9] . Misbâhul Mujtahid, hal. 752.

[10] . Tarjameh Âtsar al-Bâqiyah, hal. 460.

[11] . At-Tanbih wa al-Irsyâd, hal. 221.

[12] . Mathâlib as-Su’ul, hal. 16, satr terakhir.

[13]. Tsamâratul Qulûb, hal. 636

[14] . Wafayâtul ‘Ayân, jilid 1, hal. 180.

[15] . Idem, jilid 5, hal. 230.

[16] .Iqbâl ‘Amâl, hal. 465, satr akhir.

[17] . Idem, hal. 464, satr 18.

[18] . Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 77, bab 13, hadits ke-44 dan Manâqib ibn Maghâzali, hal. 19, hadits ke-24.

[19]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 465, satr 29.

[20]. Al-Ghadir, jilid 1, hal. 275.

[21]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 463, satr 27.

[22]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 472, satr 7.

[23] . Iqbâl al-‘Amâl, hal. 472, satr 14.

[24]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 473, satr 8.

[25]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 473, satr 16.

[26]. Idem, hal. 472, satr 13

[27]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 467, satr 14.

[28]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 470.

[29]. Al-Murâqabât, hal. 464, satr 2.

[30]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 463, satr 20 dan seterusnya.

[31]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 475, satr 21.

[32]. Iqbâl al-‘Amâl, hal. 464, satr 28.

[33]. Idem, hal. 470.

[34]. Idem, hal. 464, satr 28.

[35]. Iqbâl al-’Amâl, hal. 464, satr 21.

[36]. Iqbâl al-’Amâl, hal. 474, satr 3.

[37]. Iqbâl al-’Amâl, hal. 492, satr 19.

[38]. Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadits ke-80, dan hal. 118, hadits ke-83.

[39]. Idem, jilid 1, hal. 116, hadits ke-80.

[40]. Farâidh as-Simthain, jilid 1, hal. 112, hadits ke-80, dan hal. 118, hadits ke-83.

[41] . Salah satu kewajiban dalam agama suci Islam yang memiliki dimensi social dan politik, memberikan perlindungan. Artinya bahwa apabila salah seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada seorang kafir dan berada dalam perlindungannya, sepanjang dalam masa ini tidak terdapat muslihat dan konspirasi, seluruh kaum musliminin memiliki tugas memberikan perlindungan kepada si kafir tersebut demi menghormati saudaranya yang memberikan perlindungan kepada si kafir. Dan hal ini adalah memelihara dzimmah (orang yang dilindungi) atau menghormati orang yang berada dalam pengamanan seorang muslim.

[42]. Makâsib al-Muharramah, hal. 48, Wasâil asy-Syi’ah, jilid 12, hal. 212, hadits ke- 6843.

[43]. Mustadrak al-Wasâil, jilid 6, hal. 278, hadits ke-6843.

[44]. Qs. Thaha (20): 109.

[45]. Al-Ghadir, jilid 3, hal. 113.