Anda pasti pernah dengar ungkapan2 seperti ini: “Saya kan juga manusia”, “Seleb kan juga manusia”, “Presiden kan juga manusia”, “Polisi kan juga manusia” dan seterusnya. Jika kita teliti, maksud ungkapan2 itu tak lain adalah untuk meminta pemakluman atas keburukan, kejahatan dan sebagainya. Dalam ungkapan2 itu ada kesan bahwa manusia wajar2 saja berbuat buruk dan jahat. Bahkan, di balik ungkapan2 itu ada asumsi bahwa manusia itu sebenarnya makhluk buruk, lantaran keburukan dan kejahatan itu telah menjadi watak bawaannya.
Benarkah demikian?
Sebagai makhluk, manusia tentu punya banyak kelemahan. Tapi manusia bukan makhluk yang memiliki cacat bawaan, sehingga ada alasan untuk memaklumi keburukan manusia tanpa syarat. Poin ini pernah saya uraikan secukupnya dalam posting “Kado Maulid Nabi”.
Dalam ungkapan2 di atas terkesan ada imbauan untuk mewajarkan keburukan seseorang semata-mata karena dia adalah manusia. Sekiranya ada pemakluman tanpa syarat atas manusia sebagai makhluk paling sempurna di alam raya ini, maka pemakluman atas kelemahan2 sistemik lain menjadi lebih masuk akal. Timbul dalam benak orang bahwa kalau makhluk paling sempurna saja sudah memiliki cacat2 bawaan, bagaimana dengan makhluk2 lain yang secara esensial lebih rendah dibanding manusia.
Implikasi lanjutannya, muncul gugatan yang absah atas keadilan Ilahi: mengapa Allah yang diasumsikan sebagai Tuhan Maha Sempurna menciptakan tatanan yang penuh dengan kelemahan intrinsik seperti ini? Dan lebih gawatnya lagi, untuk apa kemudian Allah menetapkan balasan dan pahala bagi keburukan manusia yang sudah bawaan itu?
Pandangan yang menjatuhkan segala kelemahan dan keburukan pada manusia itu sebenarnya datang dari sikap nihilis dan absurdis. Bagi orang yang berpandangan seperti ini, manusia sejatinya adalah sebuah virus—mengutip ungkapan Agent Smith dlm film The Matrix. Ia hadir untuk merusak tatanan. Fungsinya tak lebih dari faktor penghambat, bukan pendorong, evolusi alam. Karenanya, kehidupan manusia pasti berakhir dengan kehancuran dan kemusnahan.
Sikap nihilis Agent Smith terhadap manusia itu sialnya menyusupi pandangan agama ihwal manusia. Dalam banyak literatur, kiamat itu digambarkan sebagai puncak perjalanan manusia menemui kehancurannya. Ada anggapan bahwa kiamat itu adalah malapetaka yang harus dipetik oleh kehadiran manusia yang asing di alam yang tertata sempurna ini.
Benarkah manusia itu adalah faktor penghambat evolusi alam? Benarkah takdirnya dipastikan menjadi biang kerok kerusakan di bumi dan alam raya? Jika tidak, apakah makna kiamat itu? Mengapa ada gambaran kehancuran bumi dan segala isinya di hari kiamat itu?
Pada kesempatan lain kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu demi satu. Untuk sekarang, cukuplah kita memahami bahwa arti harfiah “kiamat” yang dipakai oleh teks-teks suci al-Qur’an dan hadis itu adalah “kebangkitan”, dan bukan “kehancuran” atau “kemusnahan”.
Ada banyak cara kita memandang manusia. Tapi cara paling nista adalah dengan mengutuk manusia itu sendiri dan membebankan segala keburukan dan kesalahannya pada pola kejadiannya sendiri. Cara ini bakal berujung dengan pembebasan setiap orang yang bersalah dari segala keburukan pribadi, dan mengembalikan semuanya pada Tuhan yang menciptanya.
Salah satu langkah paling jitu untuk mengubah pandangan nihilis tentang manusia itu dengan secara lugas menyebut pribadi yang berbuat salah sebagai “binatang”, atau dalam istilah al-Qur’an, “lebih sesat daripada binatang”. Dengan begitu, kita telah mengembalikan keburukan manusia pada kegagalan individu mendidik dirinya dan mengolah dimensi kebinatangannya secara produktif.
Sebaliknya, kita harus memakai ungkapan “Saya kan juga manusia”, “Presiden kan juga manusia”, dan sebagainya sebagai pujian atas prestasi seseorang. Maksudnya, kita tujukan pujian pada aspek kemanusiaan orang yang telah berhasil lolos dari tarikan kebinatangan dalam dirinya.
Inilah pandangan saya, karena SAYA KAN JUGA MANUSIA!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar