Selasa, 24 Maret 2009

Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam

Sama tujuan, beda pandangan. Ini juga terjadi dalam memahami dan menggali ekonomi Islam. Ekonom Islam telah membuat garis damarkasi yang jelas antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam. Keduanya tidak mungkin dikompromikan, karena keduanya didasarkan pada paradigma yang berbeda. Namun ketika kepada mereka disodorkan bagaimana menjelaskan dan mengkonsep ekonomi Islam itu, muncullah perbedaan pendapat yang tajam.

Setidaknya, sampai saat ini, seperti disampaikan pakar ekonomi Islam Adiwarman A Karim, pemikiran ekonom muslim kontemporer terbagi dalam tiga kubu dengan cara pandang yang khas dan berbeda satu sama lain. Mereka adalah madzab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif-kritis.

Madzhab pertama dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui buku fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Belakangan muncul tokoh-tokoh pendukung yang ikut mempopulerkan madzhab ini seperti Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasan, Kadim as-Sadr, Iraj Taotounchian dan Hedayati.

Dalam buku Iqtishaduna, Baqir memaparkan betapa ilmu ekonomi (economics) tidak akan pernah sejalan dengan Islam. Secara ketat dia menegaskan, ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak bisa disatukan karena terlahir dari filosofi yang secara diametral bertentangan: anti-Islam dan Islam.

Perbedaan yang tajam itu mencuat pada mencoloknya perbedaan pandangan dalam melihat dan memetakan masalah ekonomi. Sebagai misal, dalam melihat problema mendasar dari ekonomi. Ilmu ekonomi menjelaskan persoalan ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tak terbatas, sementara sumberdaya yang bisa digunakan untuk memuaskan keinginan itu sangat terbatas.


Madhzab Baqir menolak pandangan ini. Mereka menyebut Islam tidak mengenal adanya sumberdaya yang terbatas. ''Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.'' Dalil yang mereka petik dari Alquran 54:49 itu menjadi rujukan betapa sumberdaya sudah diciptakan Allah dalam ukuran yang tepat. Dengan demikian segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, karena Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh ummat manusia di dunia.

Akan halnya sumberdaya yang terbatas yang mereka tolak, mereka juga menampik pandangan bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Sebagai contoh, manusia akan berhenti minum setelah dahaganya terpuaskan. Contoh yang sangat mudah dimengerti ini, bahkan dalam literer ilmu ekonomi konvensional dikenal dengan Hukum Gossen.

Lalu apa persoalan ekonomi yang sebenarnya? Madzhab Baqir menjelaskan, persoalan ekonomi muncul sebagai akibat adanya sistem ekonomi yang membolehkan adanya eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Mereka yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga seolah menggenggam kunci untuk membuka sumberdaya untuk terus memupuk kekayaannya. Sedangkan yang lemah tidak memiliki akses yang sama sehingga terus terkepung oleh kemiskinan yang terus-menerus membuatnya makin papa.

Dalih inilah yang mereka ajukan untuk menjungkirbalikkan argumen ekonomi konvensional dan seklaigus menandaskan, persoalan ekonomi bukanlah karena sumberdaya yang terbatas. Persoalan ekonomi muncul karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Berdasarkan gambaran ini, mereka menolak istilah ilmu ekonomi Islam. Istilah itu mereka katakan sebagai bentuk yang menyesatkan dan kontradiktif, dan kerenanya penggunaan istilah ilmu ekonomi Islam harus dihentikan. Alternatifnya, mereka mengusulkan istilah Iqtishad yang berakar dari terminologi Islam sendiri.

Istilah Iqtishad bukanlah sekedar mengalihbahasakan ekonomi dalam kosakata Arab. Sebab, menurut mereka, istilah itu dalam bahasa aslinya merujuk pada arti ''keadaan sama'', ''seimbang'' atau ''pertengahan'' yang dalam bahasa ekonomi lebih dikenal dengan ekuilibrium.

Upaya penggantian istilah kemudian berlanjut pada radikalisasi yang mengerucut pada penolakan dan pembuangan seluruh ilmu ekonomi konvensional. Sebagai pengganti, mereka menuliskan sendiri teori-teori ekonomi yang digali dan dideduksi dari Al-quran dan As-Sunnah.

{Madzhab Mainstream}
Berbeda dengan Baqir, Madzhab Mainstream malah mendukung rumusan yang telah digulirkan ilmu ekonomi konvensional. Persoalan ekonomi, menurut madzhab ini, terjadi karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tak terbatas.

Uniknya untuk mendukung teorema ini, tak kalah dengan Baqir, mereka juga merujuk dari dalil Alquran. ''Dan Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.'' Jelaslah betapa sumberdaya memang terbatas seperti diakui sendiri oleh Al Quran 2:155 itu.

Lebih konkret lagi mereka mencontohkan, total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia memang akan berada pada titik ekuilibrium. Namun kenyataan itu akan berbeda bila dilihat dari sisi tempat dan waktu. Pada sisi ini akan sangat mungkin terjadi kelangkaan sumberdaya. Dan inilah yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, lebih langka dibanding dengan yang ada di Thailand. Keterbatasn sumberdaya ini yang menurut mereka tidak bisa dinafikan.

Permasalahan bagi ilmu ekonomi adalah bagaimana menata skala prioritas. Ilmu ekonomi konvensional menyerahkan penataan ini pada selera manusia. Prinsip ini tidak bersesuain dengan prinsip Islam karena manusia bisa terjerumus pada apa yang disebut oleh Al-Quran dengan 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Pandangan madzhab Mainstream tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Titik pangkal persoalan ekonomi menurut mereka adalah kelangkaan sumber daya (scarcity). Namun meskipun sama-sama memandang kelangkaan sebagai titik masalah, tentu saja madzhab Mainstream tetap berbeda dengan ekonomi konvensional.

Perbedaan itu terletak dalan menyelesaikan masalah. Kesulitan yang hadir karena sumber daya yang terbatas di satu pihak dan keinginan manusia yang tak terbatas di sisi lainnya, memaksa manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.
Dalam pandangan ekonomi konvensional pola penentuan skala prioritas itu didasarkan pada pandangan selera masing-masing.

Mereka boleh mempertimbangkan tuntutan agama, pun boleh mengabaikannya. Dengan kata lain pilihan prioritas itu diserahkan pada keinginan mereka yang bebas atau yang dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Di sinilah bedanya. Madzhab Mainstream menegaskan pilihan dalam menata prioritas ekonomi itu tak bisa diatur semaunya saja. Sebab, perilaku manusia dalam segala aspeknya tak terkecuali masalah ekonomi, diatur dan dipandu oleh Al-Quran. Pandangan inilah yang dipopulerkan oleh antara lain Umer Chapra, MA Mannan, dan M Nejatullah Siddiqi.

Banyak pendukung madzhab ini yang bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Karena mereka memiliki akses ke berbagai negara, ide-idenya lebih cepat dan mudah tersebar. Kebanyakah dari mereka adalah doktor yang belajar dan sekaligus mengajar di universitas-universitas Barat.

Sangat wajar bila mereka tidak pernah membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Menurut mereka, usaha mengembangkan ekonomi Islam tidak berarti harus memusnahkan semua hasil analisis yang berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional. Sebab, mengambil hal-hal yang baik dan berguna yang dihasilkan oleh peradaban nonislam tidaklah diharamkan. Mereka merujuk pada hadits Nabi yang mengatakan hikmah itu bagi ummat Islam ibarat barang yang hilang di mana saja ditemukan, ummat Islamlah yang paling berhak untuk mengambilnya.

Madzhab alternatif-kritis
Dua madzhab sebelumnya: madzhab Baqir dan Mainstream sama-sama bermasalah. Setidaknya, itulah yang memicu lahirnya paham ketiga dalam memandang ekonomi Islam. Madzhab ini lebih dikenal sebagai madzhab Alternatif-Kritis. Di antara pelopornya adalah Timur Koran (ketua Jurusan Ekonomi University of Southern California), Jomo (Yale, Cambride, Harvard, Malaya) dan Muhammad Arif.

Mereka mengkritik madzhab Baqir hanya berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain dengan menghancurkan teori lama dan menggantinya dengan perspektif yang baru. Sedang madzhab mainstream menurut mereka sekedar 'jiplakan' dari teori ekonomi konvensioanl dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.

Sesuai namanya, mereka mencoba kritis baik terhadap sosialisme dan kapitalisme ataupun kepada Islam sendiri. Mereka yakin bahwa Islam tentu benar, tapi ekonomi Islami belum tentu benar karena itu digali dari penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan As-Sunnah yang nilai kebenarannya tidak mutlak lagi. Oleh karena itu, tandas mereka, ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Prinsip-prinsip umum
Meskipun berbeda dalam memformulasikan pandangan dalam memahami ekonomi Islam, namun ketiga madzhab di muka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip inilah yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam yang bisa digambarkan sebagai bangunan rumah dari mulai dasar hingga atapnya (lihat gambar).

Fondasi dari bangunan ekonomi Islam dibangun di atas lima dasar: tauhid (keimanan), 'adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma'ad (hasil). Kelima elemen inilah yang menjadi dasar inspirasi untuk menyususn proposisi dan teori ekonomi Islam.
Agar teori yang kuat ynag digali dari ke lima elemen itu bisa diterapkan dan memberi dampak bagi kehidupan ekonomi maka harus disusun menjadi sebuah sistem.

Karena itulah dari kelima dasar itu kemudian dieksplorasi dan kemudian diturunkan menjadi tiga prinsip derivatif yang menjadi cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga unsur ini adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan untuk berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice).

Baru sebagai atap yang memayungi semua nilai dan prinsip itu ditempatkan konsep akhlaq. Kenapa demikian, karena akhlaq menjadi sentral dari dakwah nabi untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Jadilah akhlaq ini yang menjadi panduan dan pedoman bagi pelaku ekonomi dalam menjalankan segenap aktivitas bisnisnya.

Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam. Asalkan, tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman). Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Sebuah bangunan rumah setidaknya dibangun dari fondasi yang kuat, disangga dengan pilar-pilar yang kokoh, dilengkapi dengan atap yang menahan terik maupun hujan. Demikian juga dengan konstruksi teori ekonomi Islam. Fondasi untuk pembentukan ekonomi Islam dilandaskan pada lima nilai pokok. Yakni, keimanan (tauhid), keadilan ('adl), kenabian (nubuwwah) dan pemerintahan (khilafah).

Kelima dasar yang membentuk teori ekonomi Islam ini selanjutnya diturunkan dalam tiga prinsip yang membentuk sistem ekonomi Islam. Ketiganya adalah kepemilikan multijenis (multitype ownership, kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice) yang menjadi pilar penyangga. Sebagai atapnya, konstruksi ekonomi Islam memilihkan 'bahan' yang kita kenal dengan akhlaq. Berikut kupasan ringkas dari masing-masing nilai itu.

Keesaan Tuhan
Esensi paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid artinya, meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS 2:107, 5:17,120, 24:33). Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS 6:1-3) sekaligus pemilik dan pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia sekedar amanah dari Allah, yang diberikan sebagai batu ujian bagi manusia.

Segala sesuatu yang ada tidaklah diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS 23:115). Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Dalam kerangka ini, segala tindak manusia yang berhubungan dengan alam (sumberdaya) dan manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Allah. Karena, kepada Allahlah nantinya segala perbuatan -- termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis -- akan dipertanggungjawabkan.

Keadilan
Sifat adil ('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal. Sebagai wujud keadilan itu, Allah tidak membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan, tapi siapa yang paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan di dunia, Allah menitahkan manusia untuk memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia (QS 2:30).

Dengan cara itu, semua manfaat dari sumberdaya dapat didistribusikan secara adil. Adil secara sederhana diartikan sebagai "tidak menzdalimi dan tidak dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti setiap usaha pelaku ekonomi tidak boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain atau merusak alam.

Bila nilai keadilan hilang, maka manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, di mana kelompok yang satu bisa menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada taran ini nilai keadilan digantikan dengan kerakusan.

Kenabian
Manusia bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil, tidak bisa dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah, pertunjuk Allah untuk bisa memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat sampai kepada manusia. Mereka juga sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi manusia di masanya.

Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan Allah adalah Nabi Muhammad. Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah memperlihatkan empat sikap konsisten yang menjadi modal dasar dalam bernegara, berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.

Siddiq
berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim. Kehidupan di dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh yang Mahabenar. Dari konsep ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai tujuan yang tepat) dan efisiensi (melakukan kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Mubazir dalam Islam adalah temannya setan. Dan setan selalu menjadi lawan dari kebenaran.

Bila visi muslim kebenaran, maka perwujudannya dalam keseharian adalah bentuk sikap amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap muslim. Amanah dalam bentuk sederhananya adalah tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas. Muslim yang amanah berarti dia akan selalu berusaha dalam segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas, bisnis yang sedang dirancang atau sudah dijalani akan hancur.

Visi dan misi saja belum cukup. Untuk melengkapinya, seorang muslim harus cerdas dan bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan mendalam, seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi ekonomi dari sifat fathonah adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan berdasarkan ilmu, kecerdikan dan menggunakan semua potensi akal untuk meraih tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim dituntut untuk bersikap work hard and smart.

Untuk menunjang tiga sifat dasar di muka, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan pemasaran. Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Nabi dibekali dengan sifat tabligh. Sifat itu bisa meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila sifat tabligh sudah mendarah daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi pemasar-pemasar tangguh.

Pemerintahan
Manusia diciptakan untuk menjadi kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi. Itu artinya, mereka mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pemakmur bumi. Sifat manusia pada dasarnya sebagai pemimpin. 'Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, demikian sebuah petikan sabda Nabi. Dengan demikian, apakah dia sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai individu pun mereka adalah pemimpin. Ini mendasari sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok agar kekacauan dan keributan bisa dihindarkan.

Dalam Islam pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Di pundak pemerintah dipikulkan tugas untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, di samping untuk memastikan agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu bertujuan untuk mencapai maqashid syar'i (tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia. Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.

Hasil
Prinsip dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad berarti "kembali". Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan "kembali" kepada Allah. Ini mengajarkan betapa hidup tidak saja di dunia, tapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah kenapa dalam Islam dunia dipandang tak lebih dari sekedar ladang bagi akhirat. Dunia sekedar wahana untuk menyebarkan benih-benih kebajikan yang hasilnya akan dituai di akhirat kelak. Karena lebih kekal, tentu saja akhirat lebih baik ketimbang dunia. Karena itu Allah melarang manusia untuk terikat pada dunia. allah menegaskan, kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila dibanding dengan kenikmatan akhirat (QS 87:17).

Allah memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat. Dari sini konsep ma'ad diartikan sebagai imbalan atau ganjaran. Dalam kehidupan ekonomi, motivasi para pelaku bisnis, menurut Imam Ghazali, adalah untuk mendapatkan laba: baik berupa ganjaran di dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam memberikan legitimasi untuk memdapatkan profit.

Sistem ekonomi Islam
Dari kelima nilai di muka, jelaslah semua elemen menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai-nilai itu, bisa diturunkan lagi dalam bentuk prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice). Berikut kupasan dari masing-masing prinsip.

Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, negaralah yang mengklaim kepemilikan itu. Islam berada di tengah-tengahnya dengan mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik untuk swasta, negara atau campuran.

Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang memayungi hanya Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola. Dia sekedar pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasa diakui, tapi untuk menjamin keadilan -- tidak ada eksploitasi satu dengan yang lain -- maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kepemilikan negara. Sistem kepemilikan campuran, baik campuran swasta-negara maupun swasta-domestik-asing, juga mendapat tempat dalam Islam.

Nilai nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang profesional dan prestatif dalam segala hal -- termasuk dalam bisnis. Pelaku bisnis akan tergerak untuk menjadikan Nabi sebagai model dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.

Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi setiap muslim, khususnya dalam usaha/bisnis. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi perekonomian yang sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam, asalkan tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman).

Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Menjadi tugas negaralah untuk menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara bertindak untuk mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi (muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar syariah dan menjadikan pihak lain sebagai pihak yang terzdalimi.

Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip keadilan sosial (social justice). Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin.


Akhlaq
Setelah memiliki landasan teori yang kuat, serta sistem ekonomi yang mantap, masih ada lagi yang kurang: perlunya panduan yang menuntut para pelaku ekonomi bertindak. Mereka harus bertindak sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali dari sumber-sumber Islam itu. Norma yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah akhlaq.

Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlaq secara profesional (ihsan) dalam bidang ekonomi. Baik dia posisinya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, atau sebagai pejabat pemerintah.

Teori sebaik apapun tidak akan mendapatkan hasil guna yang diharapkan bila manusia pelaksananya tidak berakhlaq. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para pebisnis melakukan usahanya dengan benar. Itulah kenapa nabi menegaskan, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq."

Prayudi

Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI


Kamis, 05 Maret 2009

Benarkah Puasa Asyura Diperintahkan Rasul saw Atau Rekayasa Politik?


Artikel dibawah ini secara singkat mengkritisi beberapa hadis dari segi historis, ternyata banyak hadis yang tidak sesuai atau kontradiksi dengan otentitas sejarah, diantaranya adalah hadis-hadis -Perintah Puasa Bulan Asyura, Usia Nabi saw dan Abubakar ra Berbeda jauh, Antum A’lamu biumuri Dunyakum, Abu Thalib Kafir.

Selamat membaca
-Kajian Islam-

___________

TARIKH NABI MUHAMMAD SAW: KRITIK HISTORIS

Pada sebuah lokakarya tentang model pengembangan intelek­tual Islam, seorang ulama berkata, “Tidak ada model yang paling baik selain model yang dicontohkan Rasulullah saw. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi saw. ketika, di Makkah. Dia mendidik para sahabatnya di rumah Al-Arqam, yang terletak di tempat sa’iy sekarang ini. Ketika berada di Madinah, dia mendirikan shufah di dalam masjid. Shufah adalah tempat pendidikan Islam. Di situ ber­kumpul kader-kader intelektual Islam yang pertama. Salah seorang di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia orang Anshar yang kaya. jangan mengira bahwa yang tinggal di shufah itu hanya orang-orang miskin saja.”

Inilah salah satu contoh yang menunjukkan pentingnya tarikh Rasulullah saw (biasanya disebut sirah) Berbeda dengan tarikh tokoh yang lain, tarikh Nabi sering dijadikan sumber rujuk­an untuk perumusan kebudayaan, pendidikan, sistem sosial. sistem, moral, sistem hukum dan segala cara hidup yang Islami. Nabi adalah. uswatun hasanah (teladan yang baik) tetapi, karena ini pula, maka tarikh Nabi saw. harus selalu dilihat secara kritis. Mengapa? Karena banyak orang mempertahankan kepentingan mereka, atau melegitimasikan mazhab mereka dengan tarikh Rasul­ullah. Tidak jarang “tangan-tangan kotor” mencemari sejarah Nabi; sehingga kaum Muslim mungkin saja menjalankan amal -yang mereka sangka sunnah Nabi- padahal hanya dinisbahkan saja kepadanya.

Ada gerakan Islam yang menyatakan bahwa dewasa ini umat Islam di Indonesia berada pada tahap perjanjian Hudaibiyah. Yang lain mengatakan kita sedang berada pada periode Makkiyah. Yang lain lagi berpendapat bahwa kita baru saja berada di Madinah, ketika Nabi saw. bekerja sama dengan orang Yahudi dalam aturan main yang disebut Konstitusi Madinah. Tentu saja apa yang harus kita lakukan sekarang haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi saw. pada periode-periode itu. Setiap kelompok merasa bahwa kelompoknya paling sesuai dengan sunnah Nabi.

Sayang sekali, umumnya orang yang belajar dari tarikh itu tidak memiliki pengetahuan sejarah yang memadai. Mereka tidak memiliki kitab-kitab tarikh. Lebih musykil lagi, mereka menerima apa saja yang dikisahkan oleh buku tarikh — yang selain ringkas dan sederhana, juga dalam banyak hal tidak dapat dipertanggung­jawabkan. Mereka dengan sangat menakjubkan mempertahankan peristiwa tarikh yang salah, atau bahkan buatan para pendongeng (al-qashashun).

Ulama — yang kita sebutkan di atas — dengan yakin me­mandang perlu adanya rumah yang menjadi markas pendidikan Islam. Ia menunjuk rumah Al-Arqam. Ia lupa bahwa rumah Al­ Arqam menjadi markas perjuangan Rasulullah saw. pada tiga tahun yang pertama dari kenabian. Waktu itu, Islam didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Rumah Al-Arqam adalah pusat gerakan bawah tanah yang sangat dirahasiakan. Tentu saja tidak logic menganalogikan rumah Al-Arqam dengan pondok pesantren di kota, yang diresmikan oleh walikota, misalnya. Apalagi bapak kiai itu keliru, ketika mengatakan rumah Al-Arqarn terletak di tempat sa’iy. Padahal rumah Al-Arqarn terletak di bukit Qubaisy. Peme­rintah Saudi telah menghilangkan peninggalan bersejarah ini. Di atasnya sekarang didirikan istana Shafa.

Tidak tepat juga menyamakan shufah dengan universitas. Shufah adalah tempat darurat yang disediakan Nabi saw sebagai pe­nampungan sementara untuk para Muhajir yang tidak mempunyai rumah. Karena itu, tidak ada orang Anshar yang menjadi ahli shufah. Bapak Kiai lupa bahwa. Sa’ad bukan orang Anshar. Ia Muhajir, yang tidak menjadi ahli shufah. Bapak Kiai mengambil pelajaran dari tarikh Nabi saw. tanpa melakukan kritik historis

Kritik Historis Itu Bagaimana?

Para ulama Islam telah mengembangkan metode kritik tarikh Nabi saw. Mereka menyebutnya `ulum al-hadits; termasuk di dalamnya ilmu musthalah hadits, ilmu perawi hadis, ilmu pe­riwayatan hadis. Tetapi Ulum al-hadits saja tidak cukup. Kita memerlukan metode analisis untuk menguji validitas internal dari riwayat, dengan meneliti inkonsistensi di dalamnya. Hanya riwayat yang lolos dari pengujian ini yang harus kita jadikan pelajaran.

Marilah kita lihat beberapa peristiwa yang terjadi ketika Rasulullah sampai ke Madinah pada peristiwa hijrah. Kita hanya mengambil riwayat yang menurut para ahli hadis sudah dianggap sahih. Dengan menggunakan kritik, historis kita akan menguji keabsahan riwayat-riwayat itu.

Dikenalnya Abubakar

Menurut Anas bin Malik, ketika Nabi saw. bersama Abu Bakar tiba di Madinah, penduduk Madinah hanya mengenal Abu Bakar. Abu Bakar sudah tua dan Nabi masih muda. Orang-orang bertanya:

“Hai Abu Bakar, siapakah anak muda di hadapanmu itu?” Abu Bakar menjawab: “la penunjuk jalan.” Orang mengira bahwa anak muda itu hanyalah “guide”; padahal yang dimaksud Abu Bakar adalah yang menunjuki jalan kebaikan”

(Shahih Bukhari Bab “Hijrah Al-Nabiy”, Sirah Ibnu Hisyam 2:109, Thabaqat Ibnu Sa’ad 1:222, Musnad Ahmad 3:287, Sirah Al-Halabiyah 2:46, 61, dan lain-lain)

Riwayat ini sahih menurut ilmu hadis. Sanad-sanadnya baik. Bila kita membandingkan riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang juga sahih, kita menemukan kejanggalan-kejanggalan­.

Pertama, para ahli tarikh Islam sepakat bahwa Nabi saw. lahir pada Tahun Gajah, sedangkan Abu Bakar lahir tiga tahun setelah Tahun Gajah. Ini berarti Abu Bakar tiga tahun lebih muda dari Rasulul­lah saw. (Lihat Ibnu Qutaybah, Al-Maarif, hal. 75). Bagaimana mungkin pada waktu hijrah, Abu Bakar sudah tua dan Nabi masih anak muda?. Sebagian ahli hadis mengatakan: “Abu Bakar sudah dipenuhi uban sedangkan Nabi belum beruban.” Argumentasi yang manis! Tetapi mereka juga meriwayatkan hadis dari Ibnu `Abbas. Pernah Abu Bakar melihat banyak uban pada Rasulullah saw. “Ya Rasul Allah, engkau sudah beruban,” tanya Abu Bakar. Nabi berkata: “Surah Hud dan Al-Waqi’ah membuatku beruban (H.R. Turmudzi, Al-Thabrani, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2: 343, Tafsir Al-Qurthubi 7:1; Tafisr Ibnu Katsir 2:435; Tafsir Al Khazin 2:335) Surah Hud dan Al-Waqi’ah keduanya turun di Makkah. Walhasil, Nabi sudah beruban sebelum hijrah. Anda mungkin membantah saya dengan mengatakan: “Nabi mungkin mencelup rambutnya ketika tiba di Madinah.” Jika demikian, maka Anda tidak lagi melakukan studi kritis, Anda sedang ber­andai-andai (kasarnya, sedang mengkhayal).

Kedua, amat mengherankan bahwa Nabi saw. tidak dikenal sama sekali. Bukankah sebelumnya Nabi saw. telah mem-bay’ah orang-orang Anshar di ‘Aqabah Mina sampai dua kali? Jumlah mereka lebih dari tujuh puluh orang? Bukankah Bani Najjar sangat mengenal Nabi, karena di situ banyak tinggal saudara-saudara Nabi saw.? Bukankah setiap musim haji, Nabi berdakwah kepada orang-­orang Madinah? Bukankah sebelum Nabi sampai di Madinah, para Muhajir sudah mendahuluinya hijrah ke Madinah? Bukankah Bukhari sendiri meriwayatkan bagaimana sambutan penduduk Madinah akan kedatangan Nabi saw. Mereka telah menunggunya ber­hari-hari di pinggiran kota Yatsrib. Ketika Rasul Allah saw. dan Abu Bakar muncul dari celah-celah bukit Wada`, para sahabat menyambutnya dengan lagu “Thala’al badru `alaina, min tsaniyya­til wada’. “

Antum A`lamu bi Umuri Dunyakum

Contoh lain adalah riwayat yang terkenal ini. Nabi saw. tiba di Madinah. Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw. melarangnya. Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon kurma itu tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi berkata: “Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu (Antum a’lamu bi umuri dunyakum)”

Hadis ini sahih menurut Muslim. Kita meragukan validitas riwayat ini karena beberapa hal; Pertama, mengherankan sekali bahwa Nabi saw. yang hidup pada masyarakat yang berkebun kurma lebih dari lima puluh tahun tidak tahu cara-cara mengawin­kan kurma. Dia seolah-olah baru menyaksikan perkawinan kurma itu dilakukan hanya oleh penduduk Madinah. Kedua, seandainya Nabi saw. tidak tahu apa-apa tentang perkebunan kurma, tidak mungkin dia memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dia ketahui. Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah itu Al-Quran. Al-Quran melarang Nabi saw. mengikuti sesuatu yang di situ tidak ada ilmunya (Surah Al-Isra’ ayat 36). Ketiga riwayat ini jelas-jelas memisahkan urusan dunia dari urusan agama — alasan yang kuat untuk membenarkan sekularisasi, Perbankan, kehidupan bernegara, kehidupan keluarga dan sebagainya tidak usah mengikuti sunnah Rasulullah saw.; karena itu semua urusan keduniaan. Dan “antum a`lamu bi umuri dunyakum.” Kesimpulan ini terjadi karena kita mempertahankan otentisitas hadis tetapi tidak menguji validitas-nya.

Puasa Asyura

Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh me­lakukan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10 Muharram) Mereka ingin mencontoh Rasulullah saw. yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadis tentang puasa Asyura dari Shahih Bukhari:

“Dari Ibnu ‘Abbas, ketika Nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi saw. bertanya: ‘Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi berkata: ‘Ini hari yang balk. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa a.s. berpuasa pada hari itu.’ Kata Nabi saw.: ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka Nabi pun melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.”

Bukhari menyatakan -hadis ini sahih. Tetapi marilah kita teliti dengan ilmu hadis dan kritik historis. Segera kita menemukan beberapa hal yang janggal.

Pertama. sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah ibnu ‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. jadi, ketika Nabi saw. tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Makkah dan belum menyelesai­kan masa balita-nya.

Dari mana Ibnu ‘Abbas mengetahui peristiwa, itu? Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita, sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa itu. Dalam ilmu hadis, perilaku seperti itu disebut tadlis (Pelakunya disebut mudallis)

Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan juga dari Ibnu ‘Abbas, Nabi saw. sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Asyura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu`awiyah, Nabi saw. memerintahkan puasa Asyura pada waktu haji wada [Shahih Bukhari]

Ketiga, Nabi saw. menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di Madinah. Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi`ul Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi`ul Awwal? Mungkinkah orang shalat Jum’at pada hari Senin?

Keempat, Nabi saw. diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa Asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasulullah saw. Begitu seringnya Nabi saw. mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, sampai seorang Yahudi berkata, “Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya)” [Lihat Sirah Al-Halabi­yah, 2:115]

Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal oleh sebagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentisitas dan validitasnya kita ragukan itu.

Berdasarkan penelitian di atas, banyak di antara kita dengan setia menjalankan sunnah Rasulullah saw yang tidak benar. Bila pe­nelitian historis ini kita lanjutkan kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa politik Bani Umayyah. Yazid bin Mu`awiyah berhasil membantai -keluarga Rasulullah saw. di Karbela pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi saw, hari itu adalah hari dukacita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Bani Umayyah menjadikan hari itu hari bersyukur. Salah satu ungkapan syukurnya ialah menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di atas ditambahkan juga riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Musa dari kejaran Fir`aun, menyelamatkan Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim, dari api Namrud, dan sebagainya.

Abu Thalib Kafir

Riwayat lain yang sangat popular di kalangan kaum Muslim. dan tampaknya juga hasil rekayasa politik adalah kisah kekafiran Abu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah-asuh Rasulullah saw. Dia membela Nabi saw. dengan jiwa raganya. Ketika Nab: saw. berdakwah dan mendapat rintangan, dia dengan tegar berkata, “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku.” Ketika Nabi saw. dan pengikut­nya diboikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saw. dengan setia. Ketika dia melihat ‘Ali shalat di belakang Rasul­ullah saw., dipanggilnya anaknya yang lain ja’far untuk juga shalat di samping-Nabi. Ketika mau meninggal dunia, Abu Thalib ber­wasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi saw. dan membelanya untuk memenangkan dakwahnya. Musuh Abu Thalib dan musuh besar Rasulullah saw. waktu itu adalah Abu Sufyan. Hampir sepanjang hidupnya Abu Sufyan memerangi Nabi. Sekarang apa yang kita ketahui tentang kedua tokoh ini? Menakjubkan. Kita menyebut Abu Thalib kafir dan Abu Sufyan Muslim. Sesudah nama Abu Sufyan, kita mengucapkan radhiyal­lahu `anhu (Semoga Allah meridhainya) Tentang Abu Thalib. kita meriwayatkan hadis bahwa dia ditempatkan di dalam neraka dengan siksaan yang paling ringan; yakni, kakinya berada di atas api neraka dan otaknya mendidih karenanya.

Untuk membuktikan bahwa Abu Thalib itu kafir, ditunjuk­kan riwayat dalam Bukhari dan Muslim: Menjelang wafatnya, Nabi saw. menyuruh Abu Thalib mengucapkan la ilaha illallah. Abu jahal dan ‘Abdullah bin Umayyah memperingatkan Abu Thalib untuk tetap berpegang pada agama Abdul-Muththalib. Sampai menghembuskan napasnya yang terakhir, dia tidak mau mengucap­kan kalimah tawhid itu. Maka, dia mati sebagai orang kafir. Nabi saw. merasa sangat sedih. Nabi ingin memohonkan ampunan bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat Al-Tawbah 113 — melarang Nabi memohonkan ampunan bagi orang musyrik. Nabi ingin sekali Abu Thalib mendapat petunjuk Allah, tetapi Allah menegurnya, “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai; sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya [al-Qashash 56]

Dengan menggunakan ilmu hadis dan memeriksa. rijal (orang­-orang yang meriwayatkan hadis ini), kita akan menemukan hadis ini tidak otentik. Tidak mungkin memerinci komentar Para ahli jarh {kritik rijal}. Di sini. Sebagai contoh saja, salah seorang perawi hadis ini yang berasal dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah. Di­sepakati oleh Para ahli tarikh bahwa Abu Hurairah masuk Islam. pada perang Khaibar, tahun ketujuh Hijri. Abu Thalib meninggal satu atau dua tahun sebelum hijrah. Di sini juga ada tadlis.

Surah ‘Al-Tawbah 113, menurut “para ahli tafsir, termasuk ayat yang terakhir turun di Madinah. Sementara itu, surah Al Qashash turun pada waktu perang Uhud. Sekali lagi kita ingatkan, Abu Thalib meninggal di Makkah sebelum Nabi berhijrah. jadi antara kematian Abu Thalib `dan turunnya kedua ayat itu ada jarak bertahun-tahun; begitu Pula ada jarak bertahun-tahun antara kedua ayat tersebut.

Telaah yang mendalarn tentang sejarah Rasulullah saw. dan riwayat Abu Thalib akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa Abu Thalib itu Mukmin. Lalu, mengapa Abu Thalib menjadi kafir sedangkan Abu Sufyan menjadi Muslim, Abu Thalib: adalah ayah `Ali. dan. Abu Sufyan adalah ayah Mu`awiyah. Ketika Mu`awiyah berkuasa, dia berusaha mendiskreditkan ‘Ali dan keluarganya. Para ulama disewa untuk memberikan fatwa yang menyudutkan keluarga Ali -lawan politiknya, Bagi ulama, tidak ada senjata yang paling ampuh selain hadis. Maka lahirlah riwayat-riwayat di atas.

Penutup.

Karena campur tangan politik tidak jarang mencemari ajaran-­ajaran Islam dan mengotori tarikh Rasul Allah saw., setiap studi kritis -tentang sirah Nabi saw harus digalakkan., Tujuan kita tidaklah untuk meragukan sunnah Nabi saw. Tujuan kita justru untuk memper­oleh sunnah Nabi yang meyakinkan kita. Lebih baik kita mernperoleh keyakinan setelah keraguan daripada keraguan setelah keyakinan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

[Artikel diatas diambil dari Tulisan Dr. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya "Islam Aktual", Penerbit, Mizan, hal; 162-169]


6 Responses to “Benarkah Puasa Asyura Diperintahkan Rasul saw Atau Rekayasa Politik?”

  1. luar biasa orang-orang yang mampu menghafal numeria sejarah. karena setiap inci kita berasal dari setiap inci ajarannya. demikiankah?

  2. saya masih kali ini membaca artikel mengenai kritik hadist pusa ‘asyura….manakah yang benar???

  3. untuk mba siti
    artikel ini emang shocky, mengejutkan. secara yang kita tau dan jalani adalah warisan nenek moyang. tau lah, jaman-jaman segitu belum ada metode KRITIK HISTORIS.
    tapi memeng ini bikin bingung. saya akui. sulit melepas ritual beresensi (sekalipun itu wujud legitimasi atas kebengisan?) warisan nenek moyang yang dikenal dunia.
    menanggapinya hanya akan mnjadikan diri sebagai alien. tapi keterwujudan alien adalah manifestasi dari manusia yang bisa melihat realitas, bukan terjebak dalam belitannya yang, diakui atau tidak, kian kabur dan mampu dengan mudah menenggelamkan kita

  4. saya sepakat dg artikel di atas,memang demi mmperkuat dinasty umayah,bnyak hadits2 yg dbuat2 guna memprkcl/menghilangkn peranan besar klrga Nabi SAW dlm da’wah Islamiyah. Blm lg hadits2 yg dbuat2 oleh dinasty abbasiyah. Tak segan2 pr pmalsu hadits itu mendiskridtkn pribadi2 klrga Nabi SAW yg tlah brjsa bg umat ini,trmsk mslh Abu Thalib org yg bgtu bsar jasa-a kpd Nabi SAW & umat Islam dg merwyatkan klo akhr hayat-a bliau dlm keadaan kafir.

  5. Dalam tulisan Pak Jalal pada bagian Puasa Asyura, ada tertulis “Bila pe­nelitian historis ini kita lanjutkan kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa politik Bani Umayyah”.
    Apa data-data yg memperlihatkan bhw hadis-hadis puasa Asyura itu hasil rekayasa penguasa dari Bani Umayyah & para pendukungnya?
    Bisakah dikemukakan melalui pengungkapan data perawi hadis-hadis puasa Asyura? Mohon ditunjukkan bhw tiap hadis yg membahas puasa Asyura selalu ada perawinya yg tercatat dari pihak pendukung penguasa Bani Umayyah atau dari orang yg mencela Ahlul-Bait Nabi.
    Terima kasih atas bantuan analisisnya. Salam ‘alaykum.

  6. @badari

    Assalamu alaikum pak badari

    saya hanya pingin sharing sedikit info,

    hadis asyuro ini bau rekayasa politik bani umayah-nya sangat kental sekali, pertama kepalsuan hadis tersebut kelihatan sekali dengan kontradiksi satu sama lain mengenai di syariatkannya puasa asyuro.

    dikatakan bahwa Nabi saw sudah berpuasa asyuro pada zaman jahiliyah, kemudian dikatakan Nabi saw baru mengetahui puasa Asyuro ketika hijrah ke Madinah melihat orang yahudi berpuasa Asyuro (sebagaimana disebutkan penulis diatas) dan riwayat-riwayat lain yang saling berbeda ketika menerangkan awal di syariatkannya puasa Asyuro?

    kalo Hadis Bukhari yang dikatakan Shahih Semua, telah meriwayatkan hadis yang kontradiksi satu sama lain tentang di syariatkannya puasa asyuro lalu mana yang benar? mungkinkah semua di shahihkan?

    dalam periwayatan hadis-hadis asyuro akan saudara temukan nama-nama perawi pembenci Ali ra. dan ahlul bait seperti Muawiyah, Zuhri, Urwah dll.

    dan bukan hal yang aneh peramu hadis rezim bani umayah sering menisbahkan hadis-hadis yang bertentangan dengan pendapat Ali ra atau mendiskriditkan Ali ra. dan keluarganya, dipalsukan atas nama Ali ra. sendiri, keluarganya atau orang-orang pendukung/pecinta Ali ra. seperti Ibin abbas dll

    dibawah ini saya berikan beberapa data (link) tentang hadis Asyuro:

    1. RIWAYAT ZUHRI DAN URWAH -pembenci Ali ra- (di syariatkan puasa asyuro sebelum puasa ramadhan, JADI BUKAN GARA-GARA NABI saw. MELIHAT YAHUDI BERPUASA ASYURO)

    http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&ID=42453&SearchText=صوم%20عاشوراء&SearchType=root&Scope=all&Offset=120&SearchLevel=QBE

    2. RIWAYAT MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN -musuh Ali ra-

    http://hadith.alislam.com/Display/Display.asp?Doc=9&ID=46906&SearchText=صوم%20عاشوراء&SearchType=root&Scope=all&Offset=100&SearchLevel=QBE

    3. RIWAYAT URWAH -pembenci Ali- dari Aisyah, PUASA ASYURO SDH DIJALANKAN NABI saw. PADA ZAMAN JAHILIYAH (entah dari mana Aisyah ra. mengetahui hal ini padahal Aisyah ra belum lahir pada masa itu)

    dalam hadis ini dijelaskan bahwa Nabi saw sudah berpuasa pada zaman Jahiliyah, dan terus berpuasa ketika hijrah ke Madinah dan ketika di syariatkan puasa ramadhan beliau saw. meninggalkan puasa asyuro. JADI LAGI-LAGI BUKAN GARA-GARA MELIHAT YAHUDI BERPUASA ASYURO DI MADINAH.

    silahkan merujuk hadisnya disini:

    http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&ID=102458&SearchText=صوم%20عاشوراء&SearchType=root&Scope=all&Offset=140&SearchLevel=QBE

    4. Di syaritakan puasa asyuro di Madinah (hadis yang sering kita dengar)

    http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=9&ID=48725&SearchText=صوم%20عاشوراء&SearchType=root&Scope=all&Offset=160&SearchLevel=QBE

    JADI JELAS UNSUR-UNSUR BANI UMAYAH PEMBENCI ALI ra DAN KELUARGANYA TERLIBAT DALAM PERIWAYATAN HADIS INI. dan bukti lainnya tentang kepalsuan hadis tersebut adalah saling kontradiksi satu-sama yang lain (yang kami sebutkan itu hanya dalam riwayat Bukhari belum riwayat-riwayat yang lain).

    Akhirnya coba pak Badari masuk ke situs milik pak jalal ( http://www.jalal-center.com/ ) dan menayakan hal tersebut kepada beliau.

    wassalam

    CATATAN
    Link hadis-hadis shahih Bukhari tentang puasa asyuro diatas kami dapatkan dari situs pemerintah kerajaan Saudi Arabia.

Rabu, 04 Maret 2009

BAB 15 ISU-ISU SEPUTAR IBADAH



A. Tawassul (Memohon Melalui Perantara)
Beberapa orang mengklaim bahwa meminta bantuan kepada selain Allah adalah perbuatan politeisme. Orang-orang ini tidak pernah pergi ke dokter apabila mereka sakit, karena itu adalah perbuatan syirik. Pergi menemui dokter adalah salah satu cara mencari bantuan kepada seorang ahli meskipun mereka tidak mengatakan dengan lidah mereka bahwa mereka mendapat pertolongan dari dokter. Perbuatan syirik sudah mencukupi. Mereka juga tidak harus bertanya apapun kepada orang lain atau meminta sesuatu pun karena semua ini adalah perbuatan syirik. Kalau begitu, mereka tidak harus makan karena mereka tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Apabila mereka mengatakan bahwa kami melakukan hal tersebut karena Allah memerintahkan kami melakukannya, kalau begitu menurut ajaran mereka Allah juga musyrik. Naudzubillah.
Ini adalah sesuatu yang ganjil. Apabila kami meminta bantuan dari orang lain, kami melakukan ruzya dengan mengetahui bahwa ia sendiri Jika Allah tidak berkehendak demikian. Apabila seseorang memohon bantuan kepada Nabi Muhammad atau Iman Ali, ia sebenarnya memohon bantuan kepada Allah melalui perantara Nabi Muhammad atau para Imam, atau ia melakukannya dengan mengetahui bahwa Nabi atau Imam tidak memiliki kekuatan sendiri, tetapi yang mereka miliki ( yang tidak di miliki orang lain ) adalah kedudukan ruhani di mata Allah dan Allah tidak mengabaikan permohonannya mereka apabila mereka berdoa Kepada Allah atas diri kita. Imam Ali dan seluruh Syhuada masih hidup, sebagaimana yang di nyatakan dalam Quran dengan jelas. Meskipun mereka tidak ada di muka bumi ini, Maka. Janganlah memperlakukan mereka seperti mereka memperlakukan seperti mereka tidak mati. Allah bersabda dalam Quran, janganlah kalian kira bahwa orang – orang yang mati di jalan Allah itu telah mati. Mereka masih hidup dan mendapatkan penghidupan dari sisi Allah mereka. ( Qs. Ali Imran : 169 )
Sebenarnya para Imam kami, kecuali Imam Mahdi, telah menjadi Syuhada baik ditebas pedang atau diracuni, selain itu mereka adalah bukti yang sangat kuat dalam mazda Syi’ah maupun sunni bahwa Nabi Muhammad sendiri di racuni oleh orang yahudi di perang Khaibar. Dan secara berlahan – lahan racun itu bekerja di tubuhnya hingga akhirnya racun itu membunuhnya. Kami ketengahkan hadis dari Shahih al – Buchori Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ketika benteng Khaibar ditaklukan, semangkuk daging kambing yang berisi racun diberikan kepada Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Asiyah. Nabi dalam sakit yang mematikannya, karena mereka, menutur Quran, masih hidup. dengan demikian kita dapat bertawassul kepada mereka sebagaimana pengkikut Nabi Musa bertawassul kepadanya.
Dan takkala Musa memasuki kota. Pada saat ini penduduk kota tidak melihatnya. Ia melihat dua orang yang sedang berkelahi. Salah satunya adalah pengikutnya dan yang satunya dalah musuhnya. Pengikut musa itu berteriak meminta pertolongan kepada musa untuk melawan musuhnya
(Qs. Al-Qashash ; 15 )

Dua hal yang membedakan tawassul dan syirik perlu di perhatikan. Pertama. kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad SAW dan para Imam as memiliki kekuatan sendiri selain dari Allah. Kedua. Allah adalah satu – satunya yang menunjuk perantara. Para penyembah berhala sering menggunakan perantara yang salah. Dan itulah alasan lain mengapa hal itu di larang. Selai itu para penyembah berhala yakin bahwa berhala yang di semahnya dapat menyebabkan kehancuran atau dapat mendatangkan manfaat. Tetapi menyebut Nabi Muhammad dan para Imam dengan mengetahui bahwa mereka hanya dapat menjadi perantara kepada Allah. Bukanlah perbuatan syirik. Seluruh umat muslim sepakat pada hal ini semenjak zaman Nabi Muhammad hingga saat ini, kecuali kaum Wahabi. Ajaran mereka bertentangan dengan seluruh umat Muslim dan mereka menfitnah kau, muslimin. Mereka tidak mengijinkan siapa pun menyentuh makam nabi Muhammad SAW yang diberkahi.
Lebih jauh lagi, Quran memberi dukungan terhadap tawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hai Orang – orang yang beriman! Ingatlah kewajiban kalian kepada Allah, dan berusahalah mencari cara mendekatkan diri pada-nya. ( Qs. Al-Maidah : 35 )
Qurab menyatakan kepada kita bahwa ada suatu cara pendekatan al-wasilah bagi kita di setiap zaman. Yang berbeda – beda dan kita harus mencarinya apabila kita ingin memdekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya. Tawassul dan wasilah berasal dari akar yang sama. Ketika kita bertawassul, hal itu bahwa kita berharap karunia Allah melalui perantara yang lebih taat kepada Allah. Dengan demikian Allah akan lebih cepat mengijabahkan doanya dari pada doa kita. Allah akan mengampuni kita Karena keimanan dan kedudukan lelaki/wanita itu. Walau demikian, Tawassul tergantung kepada Allah. Siapakah yang dapat menjadi perantara kepada-nya kecuali orang yang di kehendakinya ? mereka ( para rasul dan para Imam ) tidak menyatakan sesuatu sebelum diperintah oleh-nya dan mereka berbuat sesuatu atau perintah-nya.ia lebih mengetahui segala sesuatu yang ada di depan dan belakang mereka dan mereka ( orang – orang suci ini ) tidak memberi syafaat kecuali pada orang – orang yang dikehendaki Allah, dan mereka takjub dan tunduk kepada kebesaran-Nya (Qs. Al- Anbiya : 27-28) sebagai mana yang anda lihat, terdapat kekecualian. Beberapa orang tentu akan memberikan syafaat atau menjadi perantara kepada Allah atas izin-nya. Tetapi hal ini tidak diberikan kepada setiap orang.
Sekarang kami ingin juga memberi referensi yang lebih banyak dari koleksi hadis Sunni mengenai hal ini. Referensi pertama adalah tawassul yang di lakukan oleh Imam Ali. Perhatikanlah bahwa Ibnu Abbas mengucapkan kalimat berikut setelah imam Ali syahid. Ia memohon pertolongan kepada orang yang telah di anggap meninggal. Ketika kematian Abdullah bin Abas mendekati ia berkata “ Ya. Allah Aku mendekatkan diri kepadamu dengan berwilayah kepada Ali bin Abi Thalib. “ 3
Perhatikanlah bahwa Ibnu Abbas wafat pada tahun 68/687. dua puluh delapan tahun setelah Imam Ali wafat. Apabila bertawassul kepada orang yang sudah meninggal dianggap perbuatan syirik. Ibnu Abas tidak akan berkata demikian dan Ahmad bin Hanbal tidak akan meriwayatkan peristiwa itu. Mengenai tawassul kepada orang yang masih hidup, Buchari meriwayatkan bahwa umar sering bertawassul kepada Abba untuk meminta hujan.
Dalam Shahih al-Buchori. Hadis 559, diriwayatkan oleh Anas :
Tatkala kekeringan melanda, Umar bin Khatab sering meminta diturunkannya hujan kepada Allah melalui Abbas bin Abdul Muthalib. Ia berkata “ Ya Allah, kami sering kali meminta hujan kepada Rasul kami untuk memohonkan kepada-Mu agar diturunkan hujan dan engkau kan mengabulkannya. Saat ini, kami meminta agar diturunkan hujan. Turunkanlah hujan kepada kami!” Dan hujan akan turun kepada mereka.
Persoalan yang berkaitan lainya adalah apakah mencium makam Nabi Muhammad dianggap berbuatan syirik? Apakah menghormati barang milik nabi juga perbuatan syirik? Dalam Shahih al-Buchori. Hadis 1373,7250 diriwayatkan oleh Abu Juhaifah:
Aku melihat Rasulullah berada dalam tenda berwarna kulit merah dan aku melihat Bilal tengah mengambil air bekas wudu yang digunakan Nabi. Aku melihat orang – orang berebut mengambil airnya dan menggunakannya. Siapa saya orang mendapatkan air itu. Ia akan mengusapakannya pada tubuhnya dan mereka tidak akan mendapatkannya. Kemudian aku melihat Bilal membawa sebilah Azna ( tongkat berujung tombak) dan menancapkanya pada tanah. Nabi melipat jubahnya dan memimpin orang – orang yang sholat dan melakukan sholat dua rakaat dan menjadikanya Azna itu sebagai – pembatas dalam shalatnya. Aku menyaksikan orang – orang dan hewan melintas di depan Nabi melebihi Azna.
Kita lihat, betapa para sahabat terkemuka sangat menghormati setiap tetes air yang telah di sentuh oleh Nabi Muhammad SAW. Sayid Syarifuddin MuSAWi; seorang ulama Syi’ah terkemuka, pergi melaksanakan ibadah Haji ke Kabah ketika pemerintahan di pegang oleh Raza Abdul Aziz bin Saud. Sayid adalah salah seorang yang di undang ke istana Raja untuk merayakan hari Idul Adha. Ketika giliran untuk berjabat tangan raja tidak, ia menghadiahi sebuah Quran yang terbungkus kulit domba. Raja mengambil Quran tersebut dan menyentuhnya ke dahi dan menciumnya. Sayid Syariffudi berkata “ Engkau benar! Kami melakukan hal yang sama ketika mencium jendela atau pintu rumah nabi. Kami tahu, jendela dan pintu itu terbuat dari besi dan tidak dapat mendatangkan mudharat atau manfaat, tetapi yang kami tuju adalah apa yang berada dalam besi dan kayu tersebut kami bermaksud menghormati Rasulullah dengan cara yang sama ketika anda mencium pembungkus Quran yang terbuat dari kulit domba “ orang – orang yang hadir terkesan dengan khutbah itu dan berkata “ Engkau benar “. Raja terpaksa mengizinkan para khalifah mendapatkan berkah dari bangunan Nabi, hinggan perintah ini di tarik oleh penggantinya.
Persoalannya bukannya orang – orang takut menyamakan sesuatu dengan Allah tetapi hal ini lebih merupakan persoalan politik yang bertujuan untuk membenci umat islam agar dapat menggabungkan kekuatan mereka dan menguasai umat Islam. Sejarah adalah Saksi atas apa yang telah mereka perbuat .
Diskusi mengenai tawassul akhir – akhir ini banyak di gelar dan hanya sedikit sekali orang – orang bodoh yang telah mengeluarkan fatwa pengutukan praktik tawassul, bahwa tawassul adalah perbuatan syirik, dari bukti – bukti, nampaknya Nabi Muhammad SAW mengajari umatnya untuk melakukan perbuatan syirik, demikian juga Khalifah Utsman bin Affan.

Memohon kepada Allah Melalui Perantara
Definisi tawassul adalah memohon kepada Allah melalui perantara. Baik melalui orang yang masih hidup, sudah meninggal, sebuah nama atau sifat Yang Maha Tinggi.
Kami ingin menyampaikan kedudukan tawassul, yang dibenarkan dengan adanya bukti hukum dari mayoritas kaum Sunni ortodoks mengenai tawassul. bahwa mereka tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa memohon kepada Allah melalui perantara, secara prinsip adalah sah. Pembahasan detail – detailnya hanya berkaitan dengan penguasaan yang melibatkan perbedaan antara mazhab, petanyan tentang keimanan dan kekafiran yang tidak di miliki kaitan, monoteisme atau syirik, persoalan yang terbatas pada boleh atau tidaknya bertawassul, serta tentang aturannya apakat tawassul di benarkan atau tidak. Tidak ada perbedaan dikalangan umat islam mengenai bolehnya tiga jenis tawassul kepada Allah; 1) Bertawassul kepada orang yang sangat dekat dengan Allah yang masih hidup. Contohnya pada hadis lelaki buta dan Nabi Muhammad SAW, yang akan kami jelaskan; 2) Bertawassul seseorang kepada Allah melalui perbuatan baiknya. Contohnya pada tiga orang yang terkurung oleh batu besar di sebuah gua Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya ( jilid 3, No. 418);3) Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui Zat-Nya, sifat – sifatnya dan lain- lain.
Karena legalitas tiga jenis tawassul ini telah di sepakati, tidak ada alasan untuk mengajikan bukti. Ketidak sepakatannya adalah bertawassul kepada seorang beriman yang telah meninggal mayoritas masyarakat Sunni Ortodoks percaya bahwa tawassul ini dibolehkan dan memiliki hadis yang membenarkanya. Kami merasa cukup dengna hadis tentang lelaki buta dan Nabi Muhammad, Karena hadis ini merupakan poros sentral pembahasan tawassul.
Tarmizi meriwayatkan melalui rangkaian perawi dari Usman bin Hunaif. Seorang lelaki buta dan menemui Nabi dan berkata “ Mataku tidak dapat melihat, aku memohon agar engkau mendoakanku”. Nabi Muhammad berkata” Ambillah air wudhu dan lakukan shalat dua rakaat lalu berdoa seperti ini; “ Ya Allah aku memohon dan menghadap kepadamu melalui perantara Nabi Muhammad, karunia semesta Allah! Wahai Nabi, aku bertawassul kepadamu agar Allah mengembalikan penglihatanku!( dan dalam versi lain’ agar terpenuhi hajatku. Ya Allah berikanlah syaf’aat kepadaku!”) nabi Muhammad menambahkan, “ Dan sekiranya engkau memiliki hajat, lakukanlah yang sama!”
Para ahli Quran menyimpulkan tentang sifat kebutuhan yang dianjurkan, ketika seseorang sangat membutuhkan sesuatu dari Allah Yang Maha Tinggi, melakukan sholat dan menghadap Allah dengan berdoa serta permohonan lain yang sesuai, yang lama atau sebaliknya menurut kebutuhan dan perasaan orang tersebut. Isi ungkapan hadis tersebut membuktikan keabsahan secara legal tawassul melalui orang yang masih hidup. (seperti Nabi Muhammad yang saat itu masih hidup). Secara implicit hal ini membenarkan keabsahan tawassul melalui orang masih hidup atau sudah meninggal bukan melalui tubuh fisik, kehidipan atau kematian tetapi melalui makna positif (Ma’na tayyib) yang melekat pada orang itu baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal Tubuh tidak lain merupakan kendaraan yang memuat makna, perlu dihormati baik ia masih hidup atau sudah meninggal; kata lain “ Yaa Muhammad” merupakan panggilan untuk seseorang yang secara fisik tidak ada. Dimana pernyataan masih hidup atau sudah meninggal sama saja; panggilan kepada makna, merasa cinta kepada Allah, terhubung dengan ruhnya, sebuah makna yang mendasari tawassul, baik melalui orang yang masih hidup atau orang yang sudah meninggal.

Hadis Mengenai Lelaki yang sangat Mebutuhkan
Lebih jauh lagi Tabarani, dalam bukunya al-Mu’jam as-Saghir, meriwayatkan sebuah hadis dari Utsman bin Hunaif bahwa lelaki mengunjungi Utsman bin affan berulang kali untuk mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan. Tetapi Utsman dapat memperhatikan dan memperdulikan kebutuhanya, Lelaki itu bertemu dengan Ibnu Hunaif dan mengeluhkan persoalannya. Hal ini berhasil setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan setelah kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Dengan demikian Utsman bin Hunaif, salah satu sahabat pengumpulkan hadis dan sahabat yang ahli dalam berkata :

Berwudulah, lalu pergi ke masjid. Lakukanlah sholat dua rakaat dan bacalah doa ini “ Ya Allah! Aku memohon kepadamu dan aku menghadapmu melalui Rasul Kami, Muhammad karunia serta Alam! Wahai Muhammad, aku minta tolong kepadamu agar engkau sampaikan kepada Tuhanku agar ia dapat memenuhi hajarku!” lalu sebutkanlah hajatmu. Setelah itu temuilah aku agar aku dapar pergi bersamamu (menemui Khalifah Utsman).

Lelaki itu pun pergi melakukan apa yang ia katakan. Kemudian ia menuju pintu rumah Utsman. Seorang penjaga menggandeng tanganya dan membawanya kepada Utsman Ibnu Affan lalu mendudukanya pada sebuah bantal di sisinya. Utsman berkata “ Apa keperluanmu?” Lalu lelaki itu menyebutkan apa yang ia butuhkan dan Utsman memenuhi kebutuhannya seraya berkata “ Aku tidak ingat kepeluanmu hingga tadi. Apapun yang engaku butuhkan, sebutka saja!” tambahnya. Lalu lelaki itu pergi, bertemu Utsman bin Hunaif dan berkata kepadanya “ semoga Allah membalas kebaikanmu! Ia tidak memperhatikan kebutuhanku atau pun memperdulikannya hingga engkau berbicara padanya”. Utsman bin Hunaif menjawab “ Demi Allah aku tidak berbicara padanya tetapi aku pernah melihat lelaki buta menemui Rasulullah dan mengeluhkan kebutaannya. Nabi Muhammad SAW Berkata “ Tidaklah engaku dapat bertahan dengan keadaanmu?” dan lelaki itu menjawab “ wahai Rasulullah, aku tidak memuliki siapapun untuk menyadi pengaruh jalanku dan ini sangat menyulitkanku!” Rasulullah bersabda padanya “ Pergilah berwudu dan laukan sholat dua rakaat. Lalu berdo’alah dan memohon permintaanmu!” Ibnu Hunaif melnjutkan. “ Demi Allah, kami pergi dan belum berbicara lama ketika lelaki itu kembali seolah – olah perhah terjadi sesuatu kepadanya. “
Hadis ini merupakan teks yang tegas ia jelas dari sahabat Nabi yang membuktikan keabsahan secara legal tawasul kepada orang yang telah wafat. Cerita ini diklasifikasikan ke dalah hadis yang sangat shahih oleh Baihaqi, Mundhiri dan haitami.
Syeh Muhammad Hamid, seorang ulama terkemuka Mazda Hanafi, menyatakan dalan Rudud’ala Abatil wa Rasa’il :
Sesungguhnya diperolehkan menyebutkan ( nida’) orang beriman yang secara fisik tidak ada dan bertawassul dan berdoa kepada Allah Yang Maha Besar melalui mereka, karena terdapat banyak bukti tentang kebolehan melakukan hal tersebut. Orang yang memanggil mereka untuk bertawassul tidak dapar di salahkan. Mengenai seseorang yang menyakini bahwa orang yang dipangil itu dapat memberikan pengaruh, manfaat atau mudharat. Yang mereka ciptakan sebagaimana yang dilakukan Allah, mereka adalah kafir dan telah berpaling dari Islam: semoga Allah menjadi pelindung kita! Selanjutnya, dan orang tertentu yang telah menulis artikel bahwa bertawassul kepada Allah melalui orang – orang saleh diharamkan tanpa bukti pendukung, sedang sebagian besar umat meyakininya. Halal sesunguhnya mereka adalah kosong. Ketika menyakini bahwa tawassul adalah hal yang diperbolehkan, kami tidak mendekati tepian jurang kemusyrikan ataupun mendekatinya. Karena keyakinan bahwa Allah maha Besar itu sendiri yangtelah mendekati pengaruh pad segala sesuatu secara lahir, merupakan suatu keyakunan yang mengalir kepada diri kami seperti aliran darah. Apabila tawassul adalah perbuatan syirik atau apabila terdapat kecurangan adanya syirik didalamnya. Nabi Muhammad tidak mengajari itu kepada lelaki buta ketika lelaki itu memintanya untuk berdo’a kepada Allah untuk dirinya, meskipun pada kenyataannya ia mengajari tawassul kepada Allah melalui dirinya Dan pernyataan bahwa tawassul hanya boleh di lakukan ketika Nabi masih ada yang melaluinya tawassul dilakukan tetapi tidakdi lakukan setelah ia wafat, tidak di dukung oleh dasar kuat dari Quran.4

B. Taqiyah
Saat ini, kami ingin menyajikan ‘konsep taqiyah’ (selanjutnya ditulis taqiytah) dalam pembahasan berikui ini. Topik ini sama sulitnya dengan topik sebelumnya, dan banyak orang mengalami kesulitan dalam memahaminya. Kami berdoa kepada Allah SWT semoga diskusi ini dapat membantu mengikis karat pemikiran yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun dalam pikiran orang – orang. Propoganda negatef yang berkelanjutan yang digembar-gemborkan oleh media masa membantu memupuk rasa kebencian kepada kekafiran trehadap Syi’ah. Selain itu. Hal tersebut pun meningkatkan penolakan secara terang - terangan terhadap kenyataan yang telah terbukti dan benar. Bagaimanapun, anda berkewajiban mencari berkewajiban mencari kebenaran. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan anda untuk mencari kebenaran. Namun, adalah hak anda untuk meyakini atau menyangkal segala sesuatu yang dinyatalan Syi’ah. Akan anda, atau di tempat lain pada suatu hari nanti, ingatlah diri kami, dan pertanyan orang yang sedang mendiskusikan topik ini. Hanya dengan itu anda akan memahami maksud kami, Insya Allah.
Kami ingin menunjukan dan membuktukan bahwa “ konsep taqiyah” adalah sebuah bagian dari Islam yang intergral, dan bukan sesuatu yang diciptakan kaum Syi’ah.
Seperti biasa, kami akan mengetengahkan dari sudut pandang, yakni dari kaum Sunni dan Syi’ah untuk menjaga tingkat kemurnian dan keutuhan dalam menjelaskan topik ini.
Istilah taqiyah secara harfiah berarti “menyembunyikan atau menutupi keimanan, keyakinan, pemikiran, perasaan, pendapat dan/atau mental. “Terjemahaannya adalah menyembunyikan “.
Definisi di atas haruslah dijelaskan secara rinci sebelum melanjutkan pendiskusian topik ini. Meskipun definisinya benar, tetapi tampaknya masih mengandung makna secara general dan kurang memiliki makna – makna sedtail mendasar yang harus diuraikan.
Pertama, Menyembunyikan keyakinan tidak berarti tidak mengharuskan peniadaan keyakinan tersebut. Perbedaan antara “ menyembunyikan : dan “ meniadakan “ harus di perhatikan.
Kedua, ada sejumlah kekecualian pada definisi di atas, dan kekecualian tersebut harus dinilai berdasarkan situasi ketika salah satu makna digunakan. Oleh karena itu, kita tidak boleh membuat sebuah generaliassi yang sempit yang mencakup seluruh situasi, agar mendapatkan makna sepenuhnya dari definisi itu.
Ketiga. Istilah ‘keimanan’ dan/atau ‘keyakinan’ tidak harus berarti keimanan dan/atau keyakinan ‘beragama’
Dengan penjelasan di atas, definisi yang lebih baik dan lebih tepar dari kata “ Taqiyah” adalah “ diplomasi”. Makna takiyah sesungguhnya lebih terwujud dalam sebuah kata “ diplomasi” karena kata itu mencakup spektrum prilaku yang luas yang dapat digunakan lebih jauh oleh seluruh pihak yang berkepantingan.

Taqiyah Menurut Kaum Sunni
Beberapa orang kaun Sunni menegaskan bahwa taqiyah merupakan tindakan keminafikan yang berfungsi untuk menyembunyikan kebenaran, dan menampaknan sesuatu yang sangat bertentang ( dengan kebenaran) lebih jauh lagi menurut orang – orang Sunni ini. Taqiyah mengandung arti minimnya keimanan dan keyakinannya untuk menyelamatkan siri dari ancaman bahaya laten adalah manusia yang penakut. Yang sebenarnya ia hanya harus takut kepada Allah SWT. Dengan demikian, orang seperti ini adalah seorang pengecut.
Penjelasan berikutnya, Insya Allah, menunjukan keberadaan ayat taqiyah dalam Quran, hadis, sunnah Nabi dan sunnah para sahabat Seperti biasa. Kitab – kitab kaum Sunni akan dijadikan argument selanjutnya. Hal ini sesuai dengan komitmen untuk mengungkapkan kebenaran dengan menunjukan bahwa kaum Sunni menolak argument kaum Syi’ah, padahal kitab mereka sendiri banyak memuat idiologi yang sama yang di pegang kaum Syi’ah! Meskipun beberapa kaum Wahabi menyangkal pernyataan mereka sebelumnya dan secara agresif mencemarkan nama Syi’ah dan menolak doktrin-dokrin mereka, mereka tidak dapat menjelaskan kebenaran argument mereka melalui keberadaan mereka doktrin-doktrin yang sama dalam kitab mereka sendiri, sebagiamana yang telah di tunjikan di seluruh bagian sebelumnya. Mereka yang menganggap diri sebagai pemeliharaan sejati sunnah Nabi Muhammad SAW dan satu – satunya penjaga agama islam, bagaimana mungkin menampakkan penyanghkalan mereka terhadapa upaya yang seharusnya mereka jaga? Menyangkal taqiyah berarti menyangkal Quran, sebagaimana yang akan ditunjuk berikui ini.

Sumber 1
Jalaluddin Suyuthi dalan kitabnya, al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’athur. Meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas, perawi hadis yang paling di hormati
dan di percaya menurut pandangan Sunni, mengenai taqiyah dalam ayat Quran,
janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai kawan dan pelindung lebih dari orang–orang beriman. Siapa yang melakukan hal itu, putuslah hubungan dengan Allah kecuali mereka siasat (tat-taqun)untuk melindungi diri (tuqatan)dari mereka (QS, Ali Imran : 28)4
Ibnu Abbad Berkata :
Taqiyah hanya diucapkan dengan lidah saja; orang yang telah di paksa menyatakan sesuatu yang yang membuat murka Allah SWT tetapi hatinya tetap beriman, maka ( ucapan yang terpaksa tersebut) tidak akan dirugikannya (sama sekali), Karena taqiyah hanya diucapkan dengan lidah saja ( bukan dengan hati)
‘Hati’ yang dinyatakan di atas dan setelahnya dalam pusat keimanan dalam diri seseorang. Hal ini banyak di sebutkan dalam Quran.

Sumber 2
Ibnu Abbas juga memberi penfsiran pada ayat di atas, sebagaimana yang riwayatkan dalam Sunan Baihaqi dan Mustadrak Hakim. Ia menyatakan, “ Taqiyah adalah ucapan dengan lidah, sedang hatinya tetap tehug beriman.” Artinya, adalah kita boleh mengucapkan sesuatu dengan lidah ketika diperlukan, sepanjang hati kita tidak terpengaruh, dan hari masih tetap teguh beriman.

Sumber 3
Abu Akarak Razi dalam Ahkam al-Quran menjelaskan ayat tersebut di atas “ … Kecuali karena siasat ( tat-taqun) untuk melindungi dir (tuqatan) dari mereka….( QA. Ali Imran : 28) dengan membenarkan bahwa taqkiyah harus dilakukan apabila seseorang takut jika hidup atau anggota tubunnya terancam bahaya. Selain itu, ia meriwayatkan bahwa Qutadah menyatakanlah berikut berkenaan dengan ayat di atas “seseorang boleh mengucapkan kata – kata ketidak berimanan saat taqiyah wajib dilakukan”
Sumber 4
Diriwayatkan oelh Abdurrazak, Ibnu Sa’d. Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim . Ibnu Mardawaih, Baihaqi dalam kitabnya al-Dalail. Dan dikoreksi oleh Hakin dalam kitabnya al-Mustadrak bahwa,” Orang-orang kafir menahan Ammar bin Yasin dan ( Menyiksa) hingga Ammar mengucapkan kata-kata selaan terhadap Nabi Muhammad SAW bertanya “ Apakah ada sesuatu yang ingin engkau utarakan? “ Ammar bin Yasin berkata “ Aku membawa berita buruk! Mereka tidak akan melepaskanku apabila aku tidak mencela dirimu dan memuji-muji Tuhan mereka!” Nabi Muhammad berkata “ Bagaimana dengan hatimu?” Ammar menjawab “ Aku tetapberiman. Lalu Nabi melanjutkan “ Kalau begitu, apabila mereka datang padamu. Lakukan hal yang sama!” Allah SWT pada saat itu menurunkan ayat, “….. Kecuali karena dipaksa, sedang hatinya masih tetap beriman …..(Qs. An-NAhl : 106 )”
Ayat – ayat seluruhnya yang dikutif sebagaiannya sebagai bagian dari hadis di atas adalah :
Orang yang mengucapkan kekafiran setelah beriman kepada Allah, kecuali mereka di paksa, sedang hatinya tetap teguh beriman, tetapi barang siapa yang melapangkan hatinya dengan kekufuran, murka Allah menimpa mereka, dan bagi mereka siksaan yang sangat pedih ( Qs. An-Sahl : 160)




Sumber 5

Diriwayatkan dalam dalam sunah baihaqi bahwa Ibnu Abbas menjelaskan ayat di atas. “ Orang yang mengucapkankekafiran setelah beriman kepada Allah, Menyatakan :
Makna ayat yang Allah sampaikan adalah bahwa orang yang menyatakan kekafiran setelah beriman, akan mendapatkan murka Allah SWT dan azab yang perih. Tetapi bagi orang – orang yang terpaksa, dan mereka mengucapkan kata – kata itu hanya di lidah mereka tetapi hati mereka mengucapkan kata – kata itu hanya dengan lidah mereka tetapi hati mereka tidak demikian, mereka tidak akan mendapat azab, tidak perlu merasa takut, karena Allah meminta tanggung jawab atas apa yang telah dinyatakan hatinya”.

Sumber 6
Penjelasan lain dari ayat di atas diberika oleh Jalaludin Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’athur. Ia menyatakan, Ibnu Abu Shaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujtahid, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan peristiwa berikut :
Sekelompok orang Mekhah masuk Islam dan menyatkan keimanan mereka. Kemudian . para sahabat di Madinah menulis surat kepada mereka yang isinya meminta mereka untuk hijrah ke Medinah. Apabila mereka tidak berhijrah, mereka tidak termasuk pada orang – orang yang beriman. Sebagai jawabannya. Sekelompok orang itu pergi tetapi sebelum sampai tujuan, mereka langsung di serang oleh orang – orang kafir. Mereka dipaksa untuk keluar dari agama Islam dan mereka melakukannya. Oleh Karena itu, ayat “ kecuali karena dipaksa, sedangkan hari mereka tetap teguh beriman 16:106) diturunkan

Sumber 7
Ibnu Sa’d dalam kitabnya at-Tabaqat al-Kubra, meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa Nabi Muhammad melihat Ammar bin Yasin menangis. Lalu, ia menghapus air matanya dan berkata :
Orang – orang itu menahanmu dan membenamkanmu ke dalam air sehingga engkau berkata seperti ini dan itu (ucapan kotor mengenai Nabi dan pujian kepada Tuhan – tuhan mereka untuk menghindari diri dari penganiayaan). Apabila mereka kembal. Katakanlah hal yang sama lagi!


Sumber 8
Diriwayatkan dalam as-Sirah al-Halabiyyah. 8 bahwa :
Setelah kota Khaibar ditaklukan oleh umat Islam. Hajaj Bin Alat memui Nabi Muhammad dan berkata. “ Wahai Rasulullah! Aku memiliki harta berlimpah dan keluarga dari Mekkah da aku ingin semua itu kembali kepadaku, apakah aku berdosa apabila aku berkata buruk tentangmu ( agar aku tidak dianiaya ) “. Nabi mengizinkan dan berkata “ katakanlah apa saya yang harus engkau katakana!”

Sumber 9
Diriwayatkan oleh Ghazali dalam kitabnya. Ihya Ulum ad-Din, bahwa :
“ Melindungi nyawa seorang muslim adalah kewajiban yang harus di perhatikan, dan berkata bohong diperbolehkan apabila nyawa seorang Muslim terancam.”

Sumber 10
Jalaludin Suyuthi dalam kitabnya, ash-Ashbah wa an-Nazha’ir”, menegaskan bahwa :
Di perbolehkan bagi seorang muslim untuk memakai bangkai dalam keadaan yang sangat lapar, melancarkan sepotong makanan yang masuk ke tonggorokan dengan alkohol ( karena takut tersendak dan takut meninggal ), mengucapkan kata – kata kekafiran, dan apabila seseorang tinggal di sebuah lingkungan di mana kejaharan dan kerusakan menjadi aturan measyarakatnya, sedang sesuatu yang halal dilarang dan jatrang ada, maka ia dapat menggunakan ssegala sesuatu yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumber tentang memakan bangkai hewan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hal – hal yang di larang pun menjadi halal pada waktunya darurat

Sumber 11
Jalaludin Suyuthi dalam kitabnya, al – Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’atsur, meriwayatkan bahwa Abdu bin Hamid dari Hasan berkata : Taqiyah boleh dilakukan hingga hari kiamat.

Sumber 12
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Abu Darda berkata, “ Sesungguhnya kami tersenyum kepada beberapa orang, padahal hati – hati kami mengutuk ( Mereka ) 10
Sumber 13
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, “ Wahai Aisyah! Orang yang paling buruk menutup pandangan Allah adalah orang - orang yang dijauhi oleh orang lain Karena kekerasan mereka yang sangat besar. 11
Artinya bahwa seseorang boleh melakukan diplomasi agar dapat bersama – sama dengan masyarakat. Hadist di atas diriwayatkan ketika seseorang meminta izin untuk bertemu Nabi Muhammad SAW dan sebelum beliau meminta izin, nabi berkata bahwa ia bukan orang baik, tetapi Nabi tetap akan menemuinya. Nabi bercakap-calap dengannya dengan penuh hormat. Karenanya, Aisyah bertanya kepadanya mengapa Nabi berbicara sifat yang buruk. Lalu nabi menjawab dengan kalimat di atas.

Sumber 14
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ( Versi bahasa Inggris), bab 1527,jilid 4, hal. 1373, hadis 6303 :
Humaidah bin Addurrahman bin Auf meriwayatkan bahwa ibunya, ummu Kutsum binti Uqbah bin Abu Mu’ait, salah satu orang Muhajirin yang pertama kali mambait Nabi Muhammad SAW, berkata bahwa ia mendengarkan Nabi berkata “ Seorang pendusta adalah seseorang yang tidak berusaha membawa kedamaian di antara umat dan berbicara hal – hal yang baik ( untuk mencegah timbulnya pertengkaran ), atau tidak menyampaikan kebaikan”. Ibnu Syihab berkata “ saya tidak mendengarkan bahwa pengecualian diberlakukan pada apapun yang orang katakana sebagai kesombongan kecuali pada tiga hal : dalam peperangan, mendamaikan orang dan pernyataan suami kepada isterinya dan pernytaan seorang isteri kepada suaminya ( dalam bentuk pernytaan sebaliknya untuk mendamaikan suami istrei itu ).12
Ahli tafsir Sunni, Abdul hamid Siddiqi, pada kitab Shahih Muslim, menyatakan penafsiran sebagai berikut :
Berbohong adalah sebuah dosa besar. Tetapi seorang Muslim boleh berbohong dalam beberapa kasus tertentu dan diperbolehkanya berbohong dilakukan pada tiga keadaan pada peperangan untuk mendamaikan umat Islam yang saling memusuhkan, dan mendamaikan suami dan isteri. Berdasarkan analogi dari ketiga keadaan ini para ulama hadist memberikan beberapa kekecualian lainya; menyelamatkan nyawa dan kehormatan orang tak berdosa dari tangan penguasa zalim dan penindas apabila seseorang tidak menemukan cara lain untuk menyelamatklan mereka.
Perhatikan bahwa hadis atua penafsiran Quran di atas tidak berhubungan dengan penerangan taqiyah kepada non-Muslim saja!13

Taqiyah Menurut Kaum Syi’ah
Kaum Syi’ah tidak menciptakan atau membuat – buat hal baru. Mereka hanya mengikuti perintah Allah SWT. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Quran, hadis penghulu Nabi Muhammad SAW. Bagaimanapun, harus di teliti juga apa pendapat kaum Syi’ah tentang taqiyah .
Syeh Muhammad Ridha Muzhaffat dalam kitabnya Aqa’id al Imamuyah, menuliskan bahwa :
Taqiyah harus sesuai dengan aturan khusus berdasarkan kondisi dimana bahaya besar mengancam. Aturan - aturan ini tercantum dalam banyak kitab fiqih, beserta seberapa besarnya atau kecinya bahaya yang menentukan keabsahan taqiyah sendiri. Taqiyah tidak wajib di lakukan setiapwaktu. Sebaliknya. Taqiyah bileh di lakuka kadang – kadang perlu untuk tidak bertaqiyah. Contohnya pada kasus dimana mengungkapkan kebenaran akan kelancaran tuhan agama, dan memberikan manfaat langsung bagi Islam, dan berjuang demi Islam. Sesungguhnya pada posisi demikian, hanya benda dan nyawa harus di korbankan. Selain itu, taqiyah boleh tidak dilakukan pada kasus yang berakibat pada tersebarnya kerusakan dan terbunuhnya orang – orang yang tidak berdosa, dan pada kasus yang akan mengakibatkan hancurnya agama, dan kerugian yang nyata akan menimpa umat Islam, baik menyesatkan mereka atau merusak dan menindas mereka.

Selain itu, sebagaimana yang di yakini kaum Syi’ah, taqiyah tidak menjadikan kaum Syi’ah sebagia organisasi rahasia yang berusaha mengahncurkan dan merusak, sebagaimana yang coba ditampilkan pembenci Syi’ah, kritik – kritik ini memperlihatkan serangan mereka secara verbal tanpa benar – benar memperhatikan persoalah dan berusaha memahami pendapat kami mengenai taqiyah.

Taqiyah juga tidak menjadikan bahwa agama beserta perintah – perintahnya menjadi sebuah rahasi dalam rahasia yang tidak dapat di ungkapkan pada orang – orang yang tidak menganut ajaran – ajaranya. Lalu bagaimana dapat, keyika kitab - kitab Imamiyah kaum Syi’ah yang membahas persoalan fikih kalam dan agama jumlahnya begitu banyak, dan telah melebihi batas publikasi mengharapkan negara lain menyatakan keyakinannya.

Imam Khomaini dalam bukunya “ pemerintahan Islam “ juga memberikan pendapatnya mengenai taqiyah. Ia menyakini bahwa taqiyah boleh dilakukan hanya apabila nyawa seseorang terancam. Sedangkan pada kasus dimana agama Allah SWT Islam, dalam keadaan terancam, taqiyah tidak boleh dilakukan walau akan menyebabkan menatian orang itu.
Para Imam, semoga kesejahteraan tercurah pada, mereka, memberikan peratura yang sangat penting bagi fikih dan memerintahkan untuk memikul tanggung jawab dan menjaga kepercayaan. Tidak dibenarkan untuk melakukan taqiyah dilakukan untuk melindung nyawa seseorang atau menjaga masalah pada cabang hokum. Tetapi. Apabila islam secara keselutuhan dalam bahaya. Taqiyah atau berdiam diri tidak boleh di lakukan. Apa yang harus di lakukan dsebuah aturan fikih apabila mereka memaksakan untuk membuat atau menciptakan hal – hal baru? Apabila taqiyah memaksa kita untuk, menhgikuti pihak penguasa maka taqiyah tidak boleh di lakukan meskipun hal tersebut akan menyebabkan kematian orang itu. Kecuali jika keberpihakannya kepada penguasa kan membantu memenangkan Islam dan umat Islam. Seperti pada kasus Ali bin Yaqiyah dan Nashirudin Thusi, semoga Allah memberikan kesejahteraan kepada jiwa - jiwa mereka.
Dalam bukunya, Islam Syi’ah ( diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Seyyed Hoessein Nast ) ulama Syi’ah Allamag Sayid Muhammad Husain Thabathaba’I mendifinisikan saebagia suatu kondisi dimana seseorang “ menyembunyikan agamanya atau amalan tertentu agamanya dalam situasi yang menimbulkan bahaya sebagia akibat dari tindakan orang – orang yang menentang agamanya atau amalan tertentu agamanya“
Bahaya besar yang menjadikan taqiyah menjadi boleh di lakukan merupakan persoalan yang telah di perdebatkan di antara banyak ulama – ulama Syi’ah. Menurut pandangan kami, praktik taqiyah di perbolehkan apabila ada bahaya yang nyata akan mengancam nyawa seseorang atau nyawa seseorang, aatua kemungkinan hilangnya kehormatan dan harga dirri isteri seseorang, atua kemungkinan hilangnya harta benda seseorrang sedemikian rupa sehingga menyebabkan kemiskinan dan membuat seorang lelaki dapat menopang dirinya dan keluarhganya.
Thabathaba’I meutip du ayat Quran sebagai rujuan taqiyah :
“ kecuali karena siasat ( ta’taqun ) untuk melindungi diri ( tuqatan ) dari mereka ( Qs. Ali Imran : 28 ) . mengenai ayat ini, Ulama sunni terkenal. Maududi, memberikan penafsirannya dalam mendukung taqiyah. Perhatikanlah pada ayat di atas . kata “ ttaqun “ dan “ tuqan “ memiliki akar kata yang sama, seperti taqaiyah. Ayat kedua. Barangsiapa yang kafir setelah beriman. Tetapi barangsiapa yang tetap teguh dalam kekafirannya, muria Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan yang pedih (Qs. An-Nahl : 106)

kemudian Thabathaba’I menjelaskan :

Sebagiamana yang disebutkan dalam sumber hadis kaum Sunni maupun kaum Syi’ah, ayat ini turun berkenaan dengan Ammat bin Yasin. Setelah hijrahnya nabi Muhammad SAW. Orang – orang kafir mekkah memenjarakan beberapa orang Muslim kota itu menganiaya mereka. Mereka memaksa orang – orang untuk meninggalkan Islam dan kembali kepada Tuhan mereka sebelumnya . Di antara orang – orang yang teraniaya di kelompok ini terdapat Ammar, ayahnya dan Ibunya. Orang tua Ammar menolak untuk keluar dari islam dan mereka meninggal dalam keadaan teraniaya. Tetapi Ammar, untuk menghindari diri dari penganiayaan dan kematian, pura – pura berpaling dari Islam dan menerima Tuhan – tuhan berhala. Ia, oleh karenanya menghindari dari bahaya. Setelah bebas ia meninggalkan Mekkah secara sembunyi – sembunyi untuk pergi ke Madinah. Di Madinah, Ia menemui Nabi Muhammad SAW apakah berbuatanya telah mengeluarkannya dari agama Islam. Kemudian Nabi Muhammad berkata bahwa kewajibannya adalah apa yang telah ia lakukan. Ayat di atas lalu diturunkan

Dua ayat yang di sebut diatas turun berkenaan dengan kasus – kasus khusus tetapi maknanya maliputi seluruh keadaan dimana pernyataan keyakinan agama atau praktek – praktek agama secara terang – terangan akan menimbulkan bahaya. Selain ayat – ayat ini, ada banyak hadis yang berasal dari anggota keluarga Nabi Muhammad, yang memerintahkan untuk melakukan taqiyah apabila ada bahaya yang mengancam

Beberapa orang mengkritik kaum Syi’ah bahwa bertaqiyah dalam agama bertentangan dengan keberanian. Dengan mempertimbangkan tuduhan ini, akan menjelaskan ketidak sahannya, karena taqiyah dilakukan pada suatu kondisi dimana seseorang menghadapi bahaya yang tidak dapat ia tanggung dan ia lawan.

Melindungi diri dari bahaya semacam itu dan ketidak mampuan melakukan taqiyah dalah situasi tersebut menujikan kecerobohan dan kebodohan, buka keteguhan hati atau keberanian. Kualitas keteguhan hati dan keberanian hanya brelaku ketika adanya bahaya yang nyata dimana tidak ada kemungkinan selamat, seperti minum air yang mungkin berisi racun atau melemparkan diri ke kayu yang sedang menyala atau berbaring di rel dimana kereta api sedang melintas. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang gila dan bertentangan dengan logika dan akal sehat. Oleh karena itu, kita dapat meringkasnna bahwa taqiyah harus dilakukan ketika dapat dihindari dan tidak ada harapan selamat dari usaha kita14

Dengan demikian, jelaslah dari kutipan di atas, bahwa kauk Syi’ah tidak menganjurkan kemunafikan, rahasia, dan kepengecutan, sebagaimana yang di atrikan segelintir kaum Wahabi.
Berikut ini breasal dari buku Mujan Momen, yang brejudul pengantar Menuju Islam Syi’ah Sejarah dan Doktrin Dua Belas Imam Syi’ah. Ketika membahas Imam ke enam ( Imam Penerus Nabi Muhammad ), Imam ja’far Shadiq. Ia menuliskan :
Ajaran taqiyah secara luas digunakan pada waktu itu. Taqitah berfungsi melindungi para pengikut Imam Shadiq sat itu berkata Khalifah Mansyur melakukan kampanye penindasan yang brutal terhadap para mengikut anggota keluarga Nabi Muhammad dan para pendukungnya.

Quran: Taqiyah versus Kemunafikan
Segelintir orang telah menjadi korban yang menyatakan artikan makna taqiyah dengan kemunafikan. Sebenarnya taqiyah dan kemunafikan adalah menyembunyikan keyakinan dan menampakan kekafiran, sedangkan kemunafikan adalah menyembunyikan kemunafikan dan menampakkan keyakinan, keduanya sangat bertentangan dalam fungsi, bentuk dan maknanya.
Quran menyatakan kemunafikan dengan ayat berikut :
“ ketika mereka bertemu dengan orang - orang yang telah beriman, mereka berkata “ kami telah Beriman !” tetapi tetapi ketika mereka kembali kepada setan – setan mereka, mereka berkata “ saesunguhnya kami berada di pihak dan kami hanya berolok – olok terhadap mereka. ( Qs. Al- Baqarah : 14 )

Quran kemudian menyatakan taqiyah deengan ayat berikut :

Seorang mukmin dari kalangan Fir’aun, yang menyembungikan keimanan berkata. “ Apakah kalian akan membunuh seseorang Karena ia mengatakan, Tuhanku adalah Allah ?”
( Qs. Al-Mu’min : 28 )

Selain itu :

Barangsiapa yang kafir setelah beriman, kecuali orang – orang ayang dipaksa sedangkan hatinya tetap beriman. Barang siapa yang teguih dalam kekafiran murka Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan yang pedih (QS, an-Nahl : 160 )

Dan ayat lain menyatakan :

Orang – orang beriman tidak boleh memiliki orang – orang kafir dari pada orang – orang yang beriman sebagai kawan dan pelindung. Siapa yang melakukan hal itu. Putusklah hubungna antara Allah kecuali karena siasat (tat’taqu ) untuk melindungi diri ( tuqatan ) dari mereka (Qs, Ali Imran : 28)

Dan ketika Musa kembali kepada kaumnya dengan marah bercampur sedih ia berkata. “ Betapa buruknya perbuatan kalian setelah aku meninggalkanmu. Apakah kalian akan mendahului urusan Tuhanmu ?” lalu ia meletakkan kepingan – kepingan batu, dan di pegangnya rambut kepala saudaranya, lalu direnggukan. Harun berkata “wahai putra Ibuku! Kaummu telah menindasku dan mereka akan membunuhnya! Janganlah engkau membuat senang musuh karena kemalanganku dan janganlah aku disamakan dengan orang – orang yang durhaka itu!
( Qs. Al-Raf : 15 )



Sekarang kita melihat bahwa Allah SWT sendiri telah berfirman bahwa salah satu hambanya yang setia menyembunyikan keyakinannya dan berpura – pura seolah ia dalah pengikut agama Fir’aun untuk menghindari diri dari penganiayaan, Kita juga melihat bahwa Nabi harum melakukan taqiyah ketika nyawanya dalam bahaya. Kita juga telah melihat bahwa taqiyah dengan nyata di perbolehkan ketika diperlukan. Sebenarnya Kitab Allah memberi perintah agar kita menghindari diri dari situasi yang menyebabkan kehancuran secara sia – sia, dan janganlah menjerumuskan dirimu ke dalam kebinasaa! (Qs. Al-Baqarah : 195 )

Alasan Logis dan Akal Sehat
Selain perintah Quran dan Hadis mengenai diperbolehkannya taqiyah, keharuskan itu juga datang dari sisi logis dan rasional. Bagi para peneliti cerdas manapun, adalah benar bahwa Allah SWT telah menganugrahkan ciptaan-nya mekanisme pertahanan khusus san nurani untuk melindungi dari dari bahaya yang mengancam. Meskipun taqiyah merupakan tingkah laku yang dipelajari. Bagaimana pun ia berasal untuk melanjutkan kelangsungan hidup yang melekat pada ciptaan. Artinya, tanpa rasa takut dan nurani untuk terus hidup, seseorang telah menyembunyikan sesuatu yang mungkin membahayakan keberadaannya. Adalah suatu fakta bahwa seseorang dapat mengatasi takut pada dirinya . tetapi ia harus juga mengatur prioritas dan menilai kapan pernyataan kebenarannya akan menjadi tujuan yang lebih tinggi dan kapan hal itu kana tetap sama.
Apabila seseorang akan dibunuh karena ia seorang Syi’ah, menyembunyikan keyakinannya adalah hal yang sangat penting. Apabila menyembunyikan keyakinan tidak menjadi ketidakadilan bagi orang lain. Contohnya apabila kami seorang Syi’ahh, menyangkal keyakinan untuk melindungi diri, dan akibatnya, orang yang tidak berdosa di salahkan, maka kami harus mengaku, meskipun resikonya dibunuh, untuk melindungi orang itu, Tetapi apabila menyangkal kami tidak akan menjadi ketidakadilan bagi siapapun, maka kita harus menyembunyikan keyakinan untuk melindungi diri.
Mekamisme pertahana diri adalah anugrah Allah SWT krpada makhluk ciptaannya. Dan Allah tidak akan membiarkan makhluknya tidak memiliki perlindungan. Demikian juga taqiyah adalah mekanisme pertahanan diri secara natural yang terlah Allah berikan kepada Manusia. Kemampuan menggunakan lidah seseorang untuk menghindari penganiayaan tentunya merupakan satu contoh perlindungan diri.
Kita pernah membaca pada sebuah buku Sufi bahwa “ islam adalah kebenaran tanpa bentuk “ memang islam demikian adanya dan Islam adalah agama Allah SWT yang alami. Ini adalah kebenaran primordial, satu – satunya agama yang sesuai dengan naluri mausia dan kecendungannya. Dengan demikian taqiyah merupaka kebenaran yang tidak dapat di sangkal karena memenuhi kebutuhan nalurinya untuk kelangsungan san kesejahteraan hidup.

Penafsiran
Telah ditunjikan dalam pembahasan Rujukan kaum Sunni sebagai landasan Taqiyah bahwa seseorang diperbolehkan berbohong untuk menyelamatkan diri. Sebagaimana yang dibenarkan Ghazali; ‘diperbolehkanya mengucapkan kalimat kekafiran‘ seprerti yang dinyatakan Suyuthi; dan ‘tersenyum kepada seseorang padahal hatimu mengutuknya seperti yang ditegaskan Buckhori; dan bahwa taqiyah versus kemunafikan, dan taqiyah di peraktikan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammada SAW yang paling terkenal. Ammar bin Yasin (Semoga Allah memberikan pahala yang berlimpah!), dan kita telah melihat bahwa Suruti meriwayatkan bahwa taqiyah boleh dilakukan hingga hari kiamat, dan seseorang dapat, mengatakan apapun yang ia inginkan, bahwa mencela Nabi Muhammad SAW apabila ia dalam keadaan bahaya dan keadaan mengancam, dan kita telah melihat bahwa Nabi Muhammad sendiri melakukan taqiyah dengan cara taqiyah dengan maksud menjalin hubungan yang baik antar umat. Selain itu, nabi Muhammad SAW tidak menyatakan misinya pada tiga tahun pertama kenabiannya, yang, sebenarnya, merupakan cara taqiyah lainya untuk menyelamatkan Islam ayng masih muda dari kehancuran.
Sekarang, pertanyaan kepada yang menentang kami adalah: Apabila sebagian besar kitab – kitab shahih anda secara eksplitis menganjurkan taqiyah , seperti yang telah di tunjukan, mengapa anda mengolok – olok kaum Syi ‘ah dan menuduhnya sebagai orang munafik ? Demi allah SWT, siap yang munafik sekarang?
Sekarang jelas bahwa tidak ada perbedaan antara kaum Sunni dan Syi’ah mengenai taqiyaha, kecuali bahwa kaum Syi’ah melakukan taqiyah karena takut dianianya, sedangkan kaum Sunni tidak.
Kau Syi’ah harus bertaqiyah sebagai bagian dari penganiayaan yang telah mereka derita sejak pertama wafatnya karunia Semesta Alam, Muhammad SAW. Cukuplah mengatakan “ Aku adalah seorang Syi’ah!” dan kepala anda di penggal bahkan saat ini di Negara – Negara seperti Saudi Arabia, mengenai kaum Sunni mereka tidak pernah melakukan apa yang di lakukan Syi’ah karena mereka selalu menjadi teman dari pemerintahan yang disebut pemerintahan Islam berabad – abad lamanya.
Komentar kami adalah bahwa kaum Wahabi sendiri melakukan taqiyah tetapi secara psikologis mereka telah diprogram oleh para pemimpin mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak mengenali taqiyah ketika mereka melakukannya. Ahmad Deedat berkata kepada umat kristiani telah diprogram sedemikian rupa sehingga mereka membaca kitab injil berjuta – juta kali tetapi mereka tidak pernah melakukan kesalahan! Mereka tetap menyakininya Karena para ulama mereka mengatakan demikian dan mereka membacanya pada permukaannya saja. Kami menyatakan hal ini juga terjadi terhadap orang – orang yang menentang taqiyah.
Dr. Tijani menulis peristiwa singkat saat di duduk bersebelahan dengan seorang ulama Sunni di kapal terbang ketika menuju London., keduanya akan menghadiri Konfrensi Islam, pada saat itu, ketegangan masih terasa karena persolan Salman Rusdie. Percakapan keduanya, mengalir membicarakan persatuan persatuan umat. Selanjutnya persoalan Sunni dan Syi’ah pun mengemukakan sebagai bagian dari percakapan itu. Ulama Sunni bertanya “ kaum Syi’ah harus melepaskan keyakinan dan kepercayaan tertentu yang menyebabkan perpecahan dan permusuhan di kalangan umat muslimin!” Dr. Tijani bertanya “ Seperti apa ?” Ulama Sunni itu menjawab “ Seperti gagasan taqiyah dan mut’ah”
Dr. Tijani segera memberikan banyak bukti dalam mendukung pernyataan ini tetapi imat Sunni tidak percaya. Ia berkata meskipun semua bukti tersebut semuanya shahih dan benar, kita harus membuang hadis – hadis itu demi persatuan umat. Ketika mereka tiba di London, petugas imigran bertanya kepada ulama Sunni “ apa tujuan kedatangan anda, Tuan ?” Ulama Sunni menjawab “ Berobat !” Kemudian Dr. Rijani ditanya dengan pertanyaan yang sama, dan ia menjawab “ mengunjungi teman “ Dr. Tijani berjalan disamping ulama Sunni itu dan berkata “ Bukannya benar kalau taqiyah dilakukan di sepanjang waktu dan untuk semua keadaan?” Ulama Sunni berkata “ bagaimana bisa ?” Dr. Tijani menjawab “ Karena kita berdua berdusta kepada pihak bandara, aku mengatakan bahwa kau akan mengunjungi teman dan engkau berkata akan ‘berobat’. Padahal kita kemari untuk menghadiri Konfrensi Islam”, Ulama Sunni tersenyum Bukannya Konfrensi Islam memberi penyembuh pada jiwa ?” Dr. Tijani langsung membalas,’ Dan bukankah juga memberi kesempatan kita untuk bertemu teman?”.
Anda lihat bahwa kaum Sunni mempraktekkan taqiyah, baik mereka mengakui pernyataannya ataupun tidak. Taqiyah merupakan bagian pembawaan fitnah manusia untuk menyelamatkan diri, dan kita sering melakukannya tanpa kita sadari.
Komentar kami mengenai hal ini adalah; siapakah dengan nama Allah SWT, ulama ini yang menyatakan bahwa meskipun banyak bukti diberikan kepadanya oleh Dr. Tijani semuanya shahih. Bukti – bukti itu harus disingkirkan dari kesatuan umat? Apakah anda benar – benar yakin bahwa umat akan bersatu dengan menyingkirkan perintah Allah? Apakah pertanyaan di atas memperlihatkan bahwa keutamaan pendidikan atau ungkapan lidah semata, kemasan bodohan dan kemunafikan ulama tersebut? Apakah kata – kata ulama yang menyatakan kata-kata ketidak pedulian tersebut pantas ditaati dan didengar? Siapakah dia, yang menyatakan kepada Allah, pencipta alam semesta, dan kepada Rasulullah SAW tentang yang benar dan yang salah? Apakah ia lebih mengetahui dari pada Allah SWT mengenai taqiyah? Yang maha tinggi Allah dari ketercelaan yang berasal dari mereka yang tidak sempurna akalnya untuk mengenali agama-Nya.
Imam Ja’far Shadiq berkata “ Taqiyah adalah agamaku, dan agama nenek moyangku!” Imam juga berkata, “ barang siapa yang tidak melakukan taqiyah berarti ia tidak menjalankan agamanya!”.
Kesimpulannya, kami sekali lagi mengajak anda untuk memahami apa yang kami nyatakan pada diskusi ini. Kaum Syi’ah adalah umat Islam, tidak ada keraguan tentang hal ini. Pikirkanlah dan buktikanlah apa yang kami nyatakan di sini! Lebih baik lagi, ingatkah semua ini dan temuilah ulama yang paling anda percaya! Mintalah ia untuk menyangkal apa yang di klaim kaum Syi’ah dan nilailah apa dia jujur atau tidak! Ingatlah, janganlah sampai ada kebingungan dalam beragama! Kebenaran sangat jauh dari kesalahan; barang siapa yang menolak taghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah mendapatkan pegangan yang kuat, yang tidak akan hancur ( Qs. Al- Bagarah : 256)

Komentar Lain mengenai Taqiyah
Seorang penanya dari mazhab menyatakan “ taqiyah artinya berpura – pura melakukan atau mengatakan sesuatu yang benar – benar bertentangan dengan keyakinan atau perasaan. “
Ini bukan definisi yang benar. Taqiyah tidak semata – mata sesuatu yang benar - benar bertentangan, meskipun untuk beberapa hal, memang dimiliki taqiyah adalah menyembunyikan keyakinan, Anda mungkin ingin menyegarkan ingatan dengan membaca artikel kami. Dimana kami menyatakan definisi taqiyah sebagai menyembunyikan atau menutupi keimanan, keyakinan, pemikiran, perasaan, pendapat dan/atau strategi pada saat terancam bahaya laten, baik ini atau nanti, untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan secara fisik dan atau mental.
Kami tidak memiliki hadis shahih yang menyatakan anda dapat bertaqiyah tanpa ada bahaya yang sedang mengancam. Jika anda berfikir sebaliknya, kutiplah hadis secara eksplisit menyatakan demikian! Ini adalah semua penafsiran guru anda dari hadis – hadis itu. Tidak ada hadis yang secara eksplisit guru anda dari hadis – hadis itu. Tidak ada yang secara eksplisit menyatakan demikian.
Keadaan bahaya mungkin ada saat itu atau saat yang akan datang. Selain itu, keadaan bahaya bisa terjadi pada anda atau pada orang lain yang berhubungan dengan anda hal demikian, Imam mungkin akan menyembunyikan beberapa informasi dari pada pengikutnya sendiri, jika ia mengetahui bahwa apabila mereka melakukan hal itu mereka akan terperangkap ke tangan penguasa. Sebenarnya, kami telah melihat beberapa orang Wahabi mengolok – olok Syi’ah dalam konsep taqiyah ini dengan merujuk dalam Ushul al-Kafi dan mengutip sebagian hadisnya di luar konteks untuk menyalah artikan konsep taqiyah bagi saudara Sunni. Hadis yang benar dari hadis yang mereka rujuk adalah sebagai berikut :
Ushul al-kafi hadis 195; Zurarah berkata.
“Saya menanyakan sesuatu kepada Abu Ja’far dan Imam menjawabnya. Setelah itu ada orang lain yang menemui Imam memberi jawaban yang berbeda. Kemudian orang ketiga datang dan menanyakan hal yang sama. Imam memberi jawaban yang masih berbeda dari pada jawaban yang diberikan kepadaku dan kepada orang kedua. Setelah keduanya telah pergi, saya berkata “ wahai putra nabi! Dua orang pengikutmu berasal dari Iraq bertanya padamu dan engkau memberi jawaban yang berbeda.” Mendengar hai ini, Imam menjawab “ Wahai Zurarah! Kedua jawaban yang berbeda itu adalah demi kepentingan kita dan mereka memberikan sumbangsih bagi stabilitas kami berdua (aku dan pengikutku). (pada kondisi – kondisi bahaya) jika kalian semua bersatu, hal ini akan memudahkan orang – orang itu, (para musuh dan penguasa) membenarkan ketaatan kalian kepada kami dan hal ini akan membahayakan diri kalian dan memperpendek hidup kalian (Syi’ah) juga hidup kita.”

Kami telah melihat bahwa orang – orang Wahabi ini mengutip bagian pertama hadis tersebut dan mengabaikan penjelasan Imam untuk menunjukan bahwa Imam melakukan taqiyah kepada para pengikutnya tanpa alasan. Dari hadis tersebut, tidak jelas apa sebenarnya pertanyaan dari pada pengikut Imam itu. Bagaimanapun penjelasan Imam pada bagian akhir menyiratkan bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan tindakan sosial dan politik yang digunakan penguasa saat itu untuk mengenali dan menjebak kaum Syi’ah. Untuk inilah sebenarnya taqiyah digunakan. Perhatikan bahwa Imam memberi penekanan bahwa ia tengah menyelamatkan nyawa para pengikutnya dan Ahlulbait!
Contoh lain dijelaskan oleh hadis lain; Imam ikut serta dalam shalat jenazah seorang pegawai pemerintahan Umayah yang munafik untuk mengecoh penguasa yang akan mengurangi penganiayaan terhadap Nabi Muhammad. Pernahkan anda berfikir mengapa Nabi taqiyah dan tidak mengutarakan misinya pada tiga tahun pertama kenabian? Karena apabila demikian, Islam sudah akan dihancurkan sejak awal. Tujuan utama taqiyah adalah menjaga Islam dan Mazhab pemikiran Syi’ah apabila mereka tidak terpaksa taqiyah, mazhab kami telah dihancurkan. Apabila Nabi Muhammad taqiyah pada tiga tahun kenabian dan menyembunyikan misinya, lalu mengapa kaum Syi’ah tidak boleh melakukan taqiyah untuk menghindari diri dari penganiayaan oleh pemerintahan yang disebut sebagai pemerintahan Islam? Apakah Nabi seorang pengecut? Atau apakah ia ingin menjaga Islam dari kehancuran?
Mengenai hal ini pula, kami akan memberikan contoh lain kepada anda dari rosul lain yang menyembunyikan keyakinannya. Quran mengatakan, atas perintah Allah. Musa menunjuk harun sebagai penggantinya (pemimpin) dan menyerahkan umat kepadanya untuk berangkat ke Miqqat (bertemu dengn Allah) selama empat puluh hari. Setelah Musa pergi, seluruh sahabatnya kecuali sedikit dari mereka berbalik melawan harun. Mereka diperdaya oleh Samiri, dan menjadi penyembah sapi emas (lihat Qs. Al-A’raf : 142 Thaha : 85-98).
Sepulangnya Musa dari Miqat, ia sangat murka karena Allah memberitahunya bahwa umatnya telah sesaat ketika ia pergi. Musa tiba dan mulai menghujani pertanyaan kepada saudaranya, Harun. Mengapa ia tidak mengambil tindakan untuk mencegah kehancuran ini, Quran menyatakan bahwa Nabi Harun menjawab “ wahai Musa, umat telah menindasmu dan mereka berusaha membunuhku. “
Apabila anda yakin bahwa Harun adalah nabi Allah, anda tidak akan menyebutnya seorang pengecut. Atau anda berpikir bahwa Harun adalah seorang Syi’ah? Sebenarnya ia adalah seorang Syi’ah (pengikut) Nabi Musa. Tugasnya menyelamatkan diri meskipun nampaknya kaum Wahabi berpikir bahwa seharusnya ia membunuh dirinya sendiri.
Sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah mengenai surat Ali Imran ayat 28, taqiyah dapat diterapkan kepada seorang non-Muslim hanya kepada sesama Muslim.
Seseorang yang disebut muslim yang menganiaya orang tak berdosa, tidak lebih baik orang yang non –Muslim. Apabila anda berkeliling dunia, mengunjungi Negara Arab Saudi, Iraq, Afganistan mayoritas orang – orang yang menganiaya umat Muslim menyebut dirinya Muslim juga. Juga, apabila anda melihat sejarah, mayoritas penguasa muslim yang menyebut dirinya orang Islam dan sebagai khalifah, adalah para penindas dan para tiran (seperti khalifah Umayah dan Abbasiyyah). Apakan anda menyarankan bahwa kami sebaiknya tidak menyelamatkan nyawa kami dari orang – orang zalim yang menanamkan dirinya sebagai umat Islam?
Selain itu, dengan pernyataan di atas, Ibnu Taimiyah tidak menganggap hadis shahih Muslim sebagai hadis yang shahih atau Ibnu Taimiyah telah menyangkal kesaksian Nabi Muhammad SAW. Bahkan Nabi Muhammad sendiripun melakukan taqiyah dalam bentuk diplomasi sebagai usaha untuk meningkatkan hubungan yang baik dengan masyatakat. Dalam shahih Muslim disebutkan hadis tentang kasus dimana ada pertengkaran antara dua orang Muslim sedemukian rupa sehingga dianggap sebagai bahaya yang besar, dan apabila usaha untuk mendamaikan mereka tidak berhasil, diperbolehkan untuk memutar balikan ucapan untuk mendamaikan mereka. Anda lihat, selalu ada kondisi bahaya dalam taqiyah. Contohnya, bahaya perceraian sepasang suami isteri yang bertengkar.
Seorang Sunni mengatakan: Surat an-Nahl ayat 106 hanya dapat di terapkan dalam ketika seorang muslim menghadapi situasi yang sama dengan situasi yang dihadapi Ammar bin Yasir, saat ia harus memilih antara mati dibawah penyiksaan seperti kedua orang tuanya atau berpura – pura menjadi orang kafir melalui mulut saja. Kasus ini aturan mati dibawah penyiksaan seperti mulut saja. Kasus ini bukan aturan dasar tetapi hanya kekecualian.
Kami menjawab: itulah aturan dasarnya! Apabila tidak, Allah tidak akan menyebutnya dibanyak surat salam Quran. Apabila seorang Muslim tidak terancam bahaya, ia tidak boleh taqiyah. Sebagaimana kami tidak taqiyah saat ini, tetapi sekiranya kami berada di Negara seperti Arab Saudi yang bisa mengancam jiwa, kami harus melakukannya.
Seorang Sunni mengatakan : Apabila seseorang, menganggap bahwa berdusta tentang Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslim untuk mencapai tujuan yang tidak jelas dan sesat adalah bagian penting dari keyakinannya. Apakah kita dapat mempercayainya? Dalam surat Ali Imram ayat 28 bukan hanya sebuah kekecualian yang dibatasai. Taqiyah tidak hanya dilarang dilakukan kepada kaum Muslimin, tetapi juga tidak dibenarkan berdusta kepada orang lain. Artinya, apabila anda menantang prilaku tertentu dan anda berada pada situasi dimana pengutukan dapat membahayakan Islam atau umat Islam, anda dapat berdiam diri tetapi anda tidak boleh berdusta.15
Kami menjawab; Ucapan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir bertentangan dengan firman Allah, barang kali yang mengucapkan kekafiran, setelah ia beriman kepada Allah, kecuali dalam keterpaksaan, sedang hatinya tetap beriman ( Qs. An-nahl : 106 ). Seperti yang anda lihat, Quran menyatakan, mengucapkan kekafiran “. Hal ini tidak berarti berdiam diri. “Mengucapkan” artinya berkata atau melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan keyakinan, Dusta apa yang lebih besar dari pada mengucapkan kekafiran? Selain itu juga apabila sebagian besar koleksi hadis Sunni yang Shahih seperti Bukhari dan Muslim mengajikan taqiyah, lalu mengapa kaum Wahabi bersikukuh sebaliknya? Bukankah ini merupakan anda kemunafikan itu sendiri?

C. Khumus ( Seperlima Bagian )
Ketahuilah bahwa dari segal sesuatu yang kamu peroleh. Seperlimanya adalah untuk Allah. Rasul-Nya, keluargannya, anak yatim, fakir miskin dan muisafir.. (Qs al-Anfal : 41)

Khumus ( yang artinya seperlima dari penghasilan) harus diberi kepada lima pihak berikut; Allah. Rasul-nya anak yatim, fakir miskin, orang yang jauh di kampung halaman (tidak memiliki uang untuk kembali ke tempat asalnya).
Banyak milik Allah diserahkan kepada Nabi untuk digunakan di jalan Allah. Setelah Nabi wafat, pada masa – masa kepemimpinan sebelas imam pertama, tiga bagian pertama diserahkan kepada para Imam Alhubait untuk digunakan di jalan Allah. Saat ini, kita tidak memiliki hubungan dengan Imam Mahdi as, maka tiga bagian pertama (yang merupakan setengah bagian dari keseluruhan jumlah khumus) diserahkan kepada ulama untuk digunakan di jalan Allah Rasul-Nya, Alhubait-Nya di jalan Allah seprti mengeluarkannya untuk kepentingan agama atau hal lain yang mereka rasa perlu untuk urusan agama. Selain itu apabila ulama tersebut tidak memiliki sember pendapatan dari manapun dan seluruh kerjanya hanya untuk kepentingan agama, ia dapat mengeluarkan satu bagian dari apa yang dia terima sebagai khumus untuk keperluan pribadinya yang memberinya sejumlah kebutuhan hidup standar atau hidup di bawah standar. Ulama tersebut tidak harus menjadi penerus Nabi yang menerima Khumus.
Sedangkan tiga bagian lain diserahkan kepada ulama. Bagian ini secara langsung dapat diberikan kepada fakir miskin yang tentunya harus berasal dari keturunan Nabi. Perhatikanlah bahwa tidak diperbolehkan memberikan zakat (pajak lainnya untuk kepentingan agama baik di Sunni maupun din Syi’ah ) dan sedekah kepada keturunan Nabi Muhammad. Harus di perhatikan bahwa selama zaman sejarah Islam hingga kini. Keturunan Nabi Muhammad dimanapun teraniaya dan terampas haknya. Di samping itu, hanya sedikit kaum muslim yang masih membayar Khumus yakni para Syi’ah yang mengikuti sunah Nabi ini) Dengan kata lain, hanya 20% dari seluruh kaum Muslimin yang masih membayar khumus yang mengurangi secara dramatis jumlah yang diterima fakir miskin dari keturunan Nabi (yakni 20% x ½ x 1/5 = 2% ) apabila dibandingkan dengan jumlah yang diterima fakir miskin yang bukan keturunan Nabi dari zakat keseluruhan kaum Muslimin (2,5%) ditambah seluruh sedekah yang jumlahnya melebihi 2,5%.
Pada ayat tentang khumus yang tersebut di atas. Kata “ghanimah” yang digunakan diterjemahkan dengan artinya “yang kamu peroleh“ sebagaimana yang di sebut di atas, Ghanimah artinya harta perolehan tertentun yang di peroleh seseorang sebagai kekayaan. Menurut para Imam Ahlubait harta perolehan tertentu tersebut adalah harta yang darinya perlu dikeluarkan biaya untuk khumus terdiri dari tujuh kategori; 1) Keuntungan atau kelebihan dari pendapatan; 2) Harta halal yang bercampur dengan harta yang haram; 3) Bahan tambang dan mineral; 4) Batu berharga yang terdapat di laut; 5) harta karun: 6) Tanah yang dibeli seorang kafir zhimmi dari seorang Muslim; 7) harta rampasan perang.
Tetapi ada segelintir orang yang mengartikan kata “ Ghanimtum “ dengan artinya “harta rampasan perang “ sehingga membatasi khumus sendiri. Tentu saja. Penafsiran ini dilakukan tanpa mengetahui kaidah bahasa arab, sejarah tentang khumus. Hukum Islam. Dan tafsir Quran. Ingatlah bahwa kata “ ghanimtum “ berasal dari kata ‘al-Ghanimmah “

Makna Kata Ghanimtum
Kamus bahasa arab al-Munjid ( Louis maluf dari Beirut) memberi definisi bahwa al-Ghanim dan al-Ghanimah artinya 1) harta yang terdapat dari pertempuran melawan musuh dari peperangan; dan 2) Seluruh pendapatan secara umum. Selain itu kalimat al-Ghunm bin Ghurm” (keuntungan terisah dari biaya) yang artinya orang yang memiliki harta dari satu – satunya pemilik keuntungan dan ia tidak berbagi dengan orang lain, oleh karenanya ia menanggung semua biaya dan resiko. Anda juga dapat melihat kamus seperti Lisan al-Arab dan al-Qamus.
Hal ini berarti bahwa bahasa arab, kata ‘al-Ghanimah’ memiliki dua makna: harta rampasan peperangan dan keuntungan. Kutipan pribahasa di atas juga membuktikan bahwa keuntungan bukan makna yang tidak umum. Ketika sebuah kata dalam Quran memiliki makna lebih dari satu, wajib bagi orang Muslim meminta petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW dan Ahlubait as.

Sejarah khumus
Khumus adalah harta yang diperkenalkan oleh Abdul Muthalib, Kakek Nabi Muhammad. Dan hal ini terus berlangsung terus dalam Islam ketika di turunkan dalam Quran. Abdullah Muthalib melaksanakan perintah Allah yang ia terima lewat mimpi. Ketika ia menemukan sebuah sumur Zamzam, Ia menemukan banyak harta berharga di dalamnya yang terkubur pada masa lalu oleh keluarga Ismail ketika mereka merasa takut musuh akan merampas harta mereka. Ketika Abdullah Muthtalib menemukan harta terpendam itu. Ia mengeluarkan seperlima bagian ( secara literal di sebut khumus) di jalan Allah dan menyimpan seperlima bagian untuk dirinya sendiri. Lalu hal tersebut menjadi kebiasaan dalam keluarganya. Dan setelah Nabi Muhammad hijrah, sistem yang sama diberlakukan dalam Islam. Dengan demikian, harta khumus pertama kali bukan dikeluarkan dari harta rampasan perang, tetapi dari harta karun yang terpendam.

Hukum Islam
Tidak ada mukzijat Islam manapun yang mengartikan “ ghanimah” sebagai harta rampasan perang. Selain harta rampasan perang. Khumus diperoleh dari harta – harta berikut :
Barang tambang; memenuhi syarat dalam mazhab Hanafi dan Syi’ah, dan harat karun memenuhi syarat bagi umat muslim. Istilah ghanimah pada ayat yang tengah didiskusikan, dengan jelas di tafsirkan oleh Imam kami dengan artian “ hasil keuntungan “ (fa’datul muktasabah).
Untuk menyimpulkan pembahasan ini, dapat kami nyatakan bahwa kata ghanimah tidak pernah diartikan sebagai harta rampasan perang oleh mazhab Islam manapun. Dan sejauh yang ditafsirkan Imam kami, istilah ini bermakna harta apapun selain harta rampasan perang sejak kekhalifahan Imam Ali, sebagaimana yang di tunjuk oleh banyak hadis shahih.
Kutipan diatas juga mendukung oleh praktek yang di lakukan Nabi Muhammad saw. Contohnya, Ketika mengurus Amat bin Hazm ke Yaman, Rasulullah memberikan perintah – perintah, dan salah satunya adalah mengumpulkan khumus.16 Dan ketika Kilal di Yaman mengirimkan khumus kepada Nabi Muhammad, Nabi menerimannya dan berkata “ Utusanmu telah kembali dan engaku telah membayar khumus dari harta kalian (al-Ghanaim).17 Sangat menarik untuk di perhatikan bahwa Bani Kilal mematuhi perintah Rasulullah dan mengirim Khumus dari pendapatan mereka padahal tidak ada peperangan yang terjadi antara kaum Muslim dengan orang – orang kafir, ini adalah petunjuk yang jelas bahwa khumus tidak di batasi hanya untuk harta rampasan perang oleh nabi Muhammad.
Pentingnya persoalan khumus menurut, Nabi dapat pula di lihat pada nasehatnya kepada utusan bani Abdul Qais. Tampaknya Bani Abdullah Qais (salah satu cabang dari suku Rabiah) bukan suku yang kuat. Untuk pergi ke Madinah mereka harus melintasi daerah ayang di huni oleh suku Muzar, suku yang sangat memusuhi kaum muslimin. akibatnya suku Abdul Qais tidak dapat melakukan perjalanan dengan aman ke Madinah kecuali pada bulan–bulan haram, bulan dimana perang diharamkan menurut tradisi bangsa Arab.
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :
Utusan suku Abdul Qais menemui Nabi dan berkata “ Ya. Rasulullah! Kami berasal dari suku Rabiah dan di antar kami dan engkau terdapat penghalang dari suku Muzar, karenanya kami tidak dapat menemuimu kecuali di bulan–bulan haram. Oleh karena itu berilah kami perintah yang dapat kami lakukan untuk diri kami dan mengajak kamu kami untuk melakukannya!” Nabi Muhammad berkata “ aku perintahkan kalian beriman kepada Allah (Rasulullah menunjukkan tangannya), melaksanakan sholat lima waktu. Membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan membayar khumus”
Dengan melihat kenyataan ini, bahwa mereka melakukan perjalanan di bulan - bulan haram (ketika perang diharamkan), suku Abdul Qais yang lemah dan berjumlah sedikit (terbukti dari perjalanan yang mereka lakukan di bulan haram) tidak ada ruang sedikitpun untuk mengartikan pengapliasian khumus pada hadis di atas hanya pada harta rampasan perang. 18

Hal lain mengenai khumus
Diskusi berikut ini diambil dari buku Tijani, Ma’a ash-shadiqin ( bersama orang – orang yang benar) Di samping itu, kami memakai sebuah kitab fiqih berdasarkan ajaran Ayatullah Khomaini untuk beberapa hal yang mendetail, kami juga memberi pendapat sendiri demi kejelasan.
Dan ketahuilah, dari harta yang kamu peroleh. Sesungguhnya seperlima bagiannya adalah milik Allah dan Rasulnya, keluarganya, anak yatim. Fakir miskin dan musafir… Apabila kamu benar – benar beriman kepada Allah dan kepada yan kami turunkan kepada hamba – hamba kami “
( Qs. Al-Anfal : 41 )
Ayat di atas merupakan perintah Allah SWT, pencipta alam semesta untuk mengeluarkan seperlima ( khumus ) dari harta yang di gunakan di jalan Allah kepada fakir miskin, anak yatim dll. Selanjutnya Nabi bersabda “ aku perintahkan kepada kalian untuk melaksanakan empat hal sebagai berikut : Beriman kepada Allah SWT mendirikan sholat, mengeluarkan zakat berpuasa di bulan ramadhan dan mengeluarkan seperlima dari harta yang kamu peroleh untuk dipergunakan di jalan Allah.
Persoalannya, penafsiran kalimat di atas adalah pada istilah “ ghanimah harta “ Kaum sunni menafsirkan kata ini sebagian “ harta rampasan perang “ artinya ini adalah bukan bahasa arab yang tepat. Bahasa Semit asal dari bahasa arab, didasarkan pada bentuknya kata kerja, bukan kata benda. Oleh karenanya, terjemahan kata “ghaniman ‘ tidak seluruhnya tepat apabila artinya “ harta rampasan “ digunakan.
Kaum Syi’ah sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya mengeluarkan 20% dari harta yang mereka dapat setiap akhir tahun. Selain itu. Penggunaan tata bahasa dari kata “ ghinimah” dalam bahasa Arab. Seperti yang di artikan kaum Syi’ah mengandung arti bahwa pendapatan tertentu yang di peroleh akum Muslimin dari keuntungan yang di hasilkan dari usaha yang halal atau usaha lainnya dianggap sebagai “ ghanimah” dan tunduk kepada aturan hukum.
Tentunya dalah hal tersebut ada kekhususan. Sebenarnya, khumus hanya dapat diberikan dalam dua bidang berikut; semua yang berasal dari tanah seperti emas, perak, besi, minyak dan hasil – hasil alam lain yang darinya harus di keluarkan untuk khumus. Nilai minimum harta yang berasal dari tanah adalah 20 dinat. Dan satu dinat = 3.45 gram emas apabila nilai minimum, tidak memenuhi syarat. Khumus tidak perlu dibayarkan 2) semua harta yang berasal dari karun. Apabila jumlahnya sesuai dengan syarat nilai minimum, darinya harus ada yang dikeluarkan untuk khumus. 3) kekayaan yang berasal dari laut seperti mutiara,batu karang dll. Apabila sesuai dengan syarat nilai minimum, dari harta ini harus ada yang di keluarkannya khumus di antaranya hadiah, pemberian, warisan, mahar, dll
Rincian khumus sangat rumit dan harus selalu ditanyakan kepada seorang mujtahid sebelum mengeluarkan khumus.
Kaum Sunni menolak ketentuan tersebut meskipun terdapat dalam kirab Allah SWT. Selain itu hal tersebut di riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari jilid 2. hal 136-137 bahwa Nabi Muhammad bersabda “ harta yang terkubur dalam tanah pada zaman jahiliah berlaku ketentaun khumus “ selain itu. Ibnu Abbad. Perawi hadis paling terkenal dalam pandangan kaum Sunni, berkata bahwa mutiara yang berasal dari dalam laut terkena kewajidan khumus. Jelaslah bahwa khumus tidak terbatas pada harta rampasan perang semat. Sebagimana yang diklaim kaum Sunni, tetapi meliputi seluruh persoalan di atas.
Apabila sebuah negara Islam Sunni yang benar di tegakan, ia tidak akan dapar memenuhi kewajiban financialnya karena tergantung hanya pada zakat. Yakni hanya 25% dari kekayaan seseorang. Secara realitas, dapatkah sebuah Negara Islam. Sebagaimana yang diidamkan kaum Sunni. Bertahan dengan pendapatan 2.5% setahun dari umat Islam? Dapatkah Negara ini membangun infrastruktur yang akan mengokong dan lain- lain? Tentu tidak, karena 2.5% tidaklah mencukupi, walau hanya dalam selintas imajinasi saja.
Khumus juga menjadi tujuan yang sangat penting dalam masyarakat Syi’ah saat ini. Khumus membantu para mujtahis mempertahankan kemerdekaan dan keterlepasan dari implikasi politik yang akan terjadi apabila seorang ulama menjadi tergantung kepada pemerintahan untuk memenuhi kebutuhannya. Para ulama Sunni di Negara – Negara Islam menerima pendapatan dari pemerintahan yang artinya mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata keberatan kepada kebijakan penguasa karena sumber pendapatan mereka akan terancam. Para ulama Syi’ah di sisi lain. Tidak menerima dana dari pemerintahan. Dengan cara ini, mereka bebas untuk mengabdikan hidup mereka bagi kaum keadilan umat.
Berikut ini pembahasan bagaimana kaum Syi’ah mengatur harta Zakar. Zakat menutur. Fikih Syi’ah hanya dalam kategori berikut, hewan ternak (unta, sapi, kambing, domba) perak, emas, kurma, gandum, Perlu diperhatikan meskipun zakat tidak wajib dalam bentuk yang seperti yang dikeluarkan untuk khumus, bagi kaum Asyi’ah, dianjurkan untuk mengeluarkan zakat dalam bentuk benda – benda selain bentuk yang disebutkan di atas dengan cara yang sama sebagaimana kaum Sunni mengatur zakat ( 2.5%).
Rincian zakat tidak serumit seperti khumus, tetapi ada detail yang harus di perhatikan. Contohnya, sejak kapan ladang gandum di panen. Diairi air hujan atau air biasa? Selain itu ada jumlah minimum untuk jumlah hewan ternak yang harus memenuhi syarat dikeluarkannya zakat. Ada juga zakat fitrah, yang di bayar pada hari pertama setelah puasa Ramadhan usai.
Kesimpulannya, kami ingin menggugat rasa keadilan, objektifitas serta rasa takwa anda kepada Allah SWT untuk mengetahui bahwa kaum Syi’ah adalah pengikut agama Islam sebagiamana agama ini harus di laksanakan. Ahli hukum Sunni telah mengubah banyak aspek agama Allah SWT, dan kami tidak membahasnya di sini untuk dicaci maki, tetapi berusahalah untuk berlaku adil dan menilai Syi’ah dengan objektif! Bukanlah kami melaksanajan Quran lebih baik daripada orang lain! Bukankah kami mematuhi Sunnah Nabi Muhammad daripada orang lain? Kami menggunakan alasan untuk menjelaskan keyakinan kami, dan bukan pengikut yang membabi buta? Bukankah demikian?

Catatan kaki :
1. Shahih al-Bukhari, hadis 5551
2. Shahih al-Bukhari, hadis 5713
3. Referensi hadis Sunni: fada’il ash-Shahabah,Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal 662,. Hadis 1129; ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhibuddin Thabari, jilid 3, bal. 167;Manaqib Ahmad
4. Sebagian besar diambil dari buku Reliance of the Traveller (Umdat as-salak) oleh Ahmad bin Naqib Misri (702/1302-769/13681), diterjemahkan oleh Noah Ha Min Keller.
5. Dua kata “ Tat-taquh” dan “ tuqatan” sebagimana yang disebutkan dalam bahasa Quran-nya, berasal dari kata yang sama, “ taqiyah”
6. Abu Bakar razi, Ahkam al-Quran, Jilid 2, hal 10
7. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’athun, jilid 2, hal 178
8. as-Sirah al-Halabiyyah, jilid 3, hal 61
9. Jalaluddin Suyuthi dalam kitavbnya, al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’athur. Jilid 2 hal 176
10. Shahih al-Bukhari, jilid 7, hal 102
11. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Julis 7 hal 81
12. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ( Versi bahasa inggri ) bab 1527, jilid 4 hal 1373 hadis 1303
13. Lihatlah Shahih Muslim, jilid 4 bab 1927, hadis 1303, hal 1373, hanya versi bahasa Inggris Abdul hamis Siddiqi
14. Islam Syi’ah Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i diterjemahkan oleh Sayid Husein Nasir, hal 223-225
15. Ibnu Taimiyah, Minhaj, jilid 213 dan Tafsir Ibnu Katsir
16. Ibnu Khaldun, Tarikh, jilid 2, bag. II hal, 54 ( Beirut, 1971); Ibnu Katsir al-Bidatyah wa an-Nihayah, jilid 5, hal 76-77 ( Beirut, 1966); Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4. hal 179 ( Beirut 1975)
17. Abu Ubaid, al-Ammal, hal 13 ( Beirut, 1981); Haklim al-Mustadrak, jilid 1, hal 395 ( Hyderabad, 1340H); Ja’ far Murtadha Amili, Ash-Shahih if Sirat an-Nabi, jilid 3, hal 309 ( Qum, 1983)
18. Shahih al-Bukhari, Hadis 4327, jilid 4. hal. 212-213 ( Beirut); Abu Ubaid, al-Amwal. Hal 12 ( Beirut, 1981)
19. Shahih al-Bukhari, jilid 4, hal 44.